Sekelompok budayawan, sastrawan, akademisi yang berkumpul dalam forum diskusi yang bertajuk Mufakat Budaya Indonesia kembali meneguhkan bahwa Pancasila merupakan sari pati dari nilai luhur yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia.

Peneguhan kembali seperti itu tak ada buruknya, tentu saja. Itu seperti pertemuan majelis taklim yang selalu meneguhkan kembali dasar-dasar keimanan anggota-anggotanya.

Dengan cara demikianlah setiap orang selalu disegarkan kembali kesadaran dan penghayatannya atas nilai-nilai dasar yang diyakininya.

Yang jadi soal: apakah realitas psikologis dan sosiologis itu masih berkelindan atau tidak bersentuhan sama sekali? Yang pertama mengindikasikan bahwa tata nilai dan praksis keseharian dari entitas warga tidak berjarak, sedangkan yang kedua memperlihatkan bahwa apa yang diyakini dan yang diamalkan ada jarak, sekali pun tak sehiperbol bagai bumi dan langit.

Dalam sejarah ketatanegaraan yang terkait dengan dasar hukum negara, yakni Pancasila, pemberhalaan ideologi dasar itu pernah berlangsung berpuluh tahun.

Sebagai berhala, Pancasila saat itu diagungkan, diyakini punya kesaktian. Semua itu dipertontonkan secara verbal tapi nilai-nilai yang dikandungnya diwujudkan seperlunya, sejauh memberi keuntungan politis ekonomis bagi pengendali kekuasaan, yang juga memonopoli kebenaran.

Tak pelak lagi, akhirnya Pancasila dijadikan peranti ideologis, semacam parameter menentukan seseorang atau sekelompok orang itu mematuhi aturan yang didefinisikan maknanya oleh penguasa atau tidak.

Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam memandang Pancasila. Arah pendulum berbalik ke ekstrem lawannya: Pancasila sempat tak disebut-sebut dalam berwacana dan bernarasi tentang kenegaraan.

Namun, setelah sektarianisme mengeras, ancaman terhadap keberagaman semakin kuat, tibalah saatnya Pancasila dihadirkan kembali. Mulailah marak diwacanakan kembali untuk menjadikan Pancasila sebagai jangkar proses berbangsa dan bernegara.

Lalu pemerintahan Presiden Joko Widodo membentuk apa yang disebut sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yang dikepalai akademisi Yudi Latif, yang di kemudian hari pamit mengundurkan diri.

Memang agak disayangkan kenapa editor bersama buku bernas Bahasa dan Kekuasaan itu memilih mundur, mengingat rencana kerjanya cukup menjanjikan. Salah satunya adalah melibatkan komunitas-komunitas di berbagai kalangan masyarakat di berbagai daerah untuk memikirkan bersama dan mencari bersama-sama bentuk-bentuk operasionalisasi nilai-nilai Pancasila.

Sebagai sari pati nilai-nilai, Pancasila sudah selesai. Artinya, kompas atau panduan perilaku berbangsa dan berbegara itu tak perlu diseret-seret ke permukaan ketika ada problem dalam proses berbangsa dan bernegara. Institusionalisasi dalam bentuk pendirian wadah-wadah juga tak terlalu urgen.

Terbukti ketika Yudi Latif masih mengepalai lembaga yang ditinggalkan itu dan setelahnya tidak terjadi perbedaan substansial terkait dengan pengamalan Pancasila.

Para cerdik pandai yang berkumpul dalam forum diskusi Mufakat Budaya Indonesia juga mengingatkan bahwa janganlah terperosok kedua kali gara-gara menjadikan Pancasila sebagai bahan indoktrinasi. Pengingatan ini penting. Indoktrinasi sering dimulai dengan terbentuknya lembaga-lembaga.

Pancasila sudah cukup terabadikan dalam teks hukum dasar di bagian pembuka konstitusi. Butir-butir nilai yang berjumlah lima itu tak perlu lagi digaung-gaungkan. Telinga angkatan milenial juga tak hendak mendengar gaung yang demikian karena si pemilik kuping lebih menikmati gaung yang lain, yang bisa dinikmati sesuai dengan semangat zaman mereka.

Pancasila pertama-tama dan terutama harus menjadi fokus perhatian para pengambil keputusan perkara publik.

Mereka yang hendak merumuskan undang-undang, peraturan daerah perlu terus-menerus mendengar pesan-pesan Pancasila. Ini penting sebab godaan memasalkan aturan-aturan kenegaraan yang kurang pas dengan demokrasi dan condong ke arah teokrasi dirasakan mulai menggejala.

Menguatnya gejala sektarianisme dalam aksi menjadikan ukuran moralitas kelompok keimanan tertentu dalam bentuk hukum positif yang menjangkau keberlakuannya untuk segenap warga yang beragam sistem kepercayaannya juga kurang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila.

Di sinilah problem besar bernegara yang bisa dipandang sebagai antitesis terhadap nilai-nilai Pancasila.

Jika kerusakan moral personal, kebusukan mental pribadi-pribadi juga dikaitkan dengan Pancasila, kegawatannya tak semasif kontradiksi yang diperlihatkan kaum pengambil keputusan di lembaga pembuat undang-undang atau perda.

Sesungguhnya Pancasila itu adalah sebentuk formulasi khas para pendiri bangsa dan negara Indonesia atas pengakuan nilai-nilai hak asasi manusia, tata cara berdemokrasi ideal dan mimpi bersama tentang kesejahteraan bersama. Kurang lebih hampir semua negara bangsa di dunia ini meresepsi nilai-nilai itu.

Sebagai nilai-nilai dasar, tak perlulah mengaitkan problem riil aktual yang sedang dihadapi pemerintah saat ini, seperti misalnya maraknya operasi tangkap tangan kouptor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kegagalan warga mengamalkan Pancasila.

Tak perlulah menggugat-gugat aktualitas nilai-nilai Pancasila ketika sekelompok kaum radikal merangsek membakar rumah ibadah kaum liyan. Yang perlu digugat adalah efektivitas aparat keamanan dalam menjaga kaum minoritas dan rumah-rumah ibadah mereka.

Pancasila adalah kesepakatan nilai yang menjadi dasar rumah politik bersama. Para politikus di masa lalu pernah memanipulasinya untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Tentu tak cuma manipulasi berbasis pikiran semata. Ada penopangnya, berbasis kekerasan militer, yang menjadikan rakyat tak berkutik selama tiga dekade.

Pesan para budayawan, sastrawan, dan cendekiawan bahwa janganlah memberhalakan Pancasila dan mengindoktrinasikannya agaknya cukup sekali ini saja dan tak perlu diulang-ulang.

Sebab, pengulangan itu akan jadi paradoks. Artinya, para pemikir itu sendirilah yang mengindoktrinasi warga tentang larangan indoktrinasi. Tidak ilmiah dan sama sekali tak lucu, bukan?


Baca juga: Pimpinan MPR tegaskan perlunya PMP kembali diajarkan di sekolah

Baca juga: MPR dukung PMP diajarkan lagi di sekolah

Baca juga: Wapres: PMP tidak perlu dimasukkan kurikulum

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018