Beirut (ANTARA News) - Para korban selamat dan keluarga mereka yang tewas berkumpul di daerah pinggiran Beirut, Minggu, untuk memperingati 25 tahun peristiwa pembantaian ratusan warga sipil Palestina oleh milisi Lebanon dukungan Israel.
Ratusan orang mengambil bagian dalam peringatan itu di kamp pengungsi Shatila, yang bersama-sama kamp pengungsi Sabra yang berdekatan menjadi sasaran pembantaian tiga hari yang dilakukan milisi Kristen Lebanon selama penyerbuan Israel terhadap Beirut pada 1982.
"Adili para penjahat" dan "Kami tidak akan pernah lupa" termasuk diantara slogan-slogan dalam spanduk yang dibawa oleh massa demonstran.
Ketua gerakan pejuang garis keras Palestina Hamas di Lebanon menyampaikan pidato yang mendesak lebih dari 400.000 pengungsi Palestina di Lebanon diberi "perlindungan politik yang menjamin keselamatan dan hak-hak mereka".
Setelah pemberontakan 15 pekan yang dilakukan gerilyawan yang diilhami Al-Qaeda di kamp pengungsi Nahr al-Bared dekat kota pelabuhan utama Tripoli, Lebanon bagian utara, ada seruan-seruan baru agar militer mengambil alih keamanan di 12 kamp pengungsi di Lebanon.
Berdasarkan konvensi yang telah lama diterapkan, kamp-kamp itu dijaga keamanannya oleh kelompok-kelompok pejuang Palestina, namun Perdana Menteri Lebanon Fuad Siniora sudah menegaskan bahwa militer akan mengamankan paling tidak kamp pengungsi Nahr al-Bared.
Antara 800 dan 2.000 orang Palestina dan 100 warga lebanon tewas dibantai milisi di Sabra dan Shatila pada September 1982 yang disaksikan oleh pasukan Israel.
Pembantaian itu dilakukan setelah pembunuhan dua hari sebelumnya terhadap presiden terpilih Bashir Gemayel, sekutu paling penting Israel di Lebanon, yang membuat para pendukungnya menyerukan pembalasan.
Pada Februari 1983, Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel saat itu, dipaksa mengundurkan diri setelah sebuah komisi penyelidik yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Yitzhak Kahan menuduhnya gagal menghentikan pembantaian tersebut.
Komisi Kahan mendapati bahwa Sharon "secara tidak langsung" dan "secara pribadi" bertanggung jawab atas pembantaian itu dan menyalahkannya karena tidak memikirkan risiko pembalasan setelah Gemayel dibunuh, demikian laporan AFP. (*)
Copyright © ANTARA 2007