Batam, (ANTARA News) - Laut di Provinsi Kepulauan Riau, nampak tenang dan lengang di penghujung Musim Angin Utara, awal Februari 2018. Nelayan tradisional mulai bersiap melaut, setelah beristirahat sepanjang musim gelombang dan angin kencang melanda.
Kapal RI Sigurot-864 terus berjaga di perairan terdepan NKRI, mengawasi setiap gerak-gerik kapal yang mencurigakan. Semua berjalan normal, seperti biasa.
Hingga pada Rabu (7/2) malam, personel TNI yang berjaga mencurigai kapal nelayan berbendera Singapura yang melintas di luar jalur pelayaran dan memasuki perairan Indonesia di Selat Phillips. Komandan KRI pun langsung melaksanakan prosedur pengejaran, penangkapan dan penyelidikan.
Tidak ada perlawanan berarti dari empat orang awak kapal yang berkewarganegaraan Taiwan itu. Hanya saja, aparat tidak dapat menemukan dokumen kapal yang asli, semuanya fotokopi.
Dalam dokumen tertulis, kapal Sunrise Glory adalah kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang rencananya akan digunakan menangkap ikan di Perairan Taiwan. Padahal, kenyataannya, saat ditangkap kapal itu mengibarkan bendera Singapura.
Atas berbagai kecurigaan lainnya, tim menggeledah kapal, dan menemukan 1,29 ton sabu yang dikemas dalam 41 karung beras di dalamnya.
Laksamana Madya TNI Achmad Taufiqoerrochman, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Laut (Wakasal) mengatakan, dari berbagai operasi TNI AL, penangkapan itu adalah yang paling besar. Bahkan, saking banyaknya, pencarian barang haram itu sempat dihentikan karena anjing pelacak jenis K-9 milik Bea dan Cukai Kota Batam lemas, setelah mengendus narkoba dalam jumlah yang banyak.
"Tadi kata bea cukai anjing pelacaknya `fly` setelah menciumi sabu-sabu satu ton lebih, ini setelah segar kita akan cari lagi," katanya.
Dalam operasi itu, aparat menahan empat orang anak buah kapal warga negara Taiwan.
Kapal kamuflase
Hanya dalam waktu kurang dari dua pekan, Selasa (20/2), ketenangan di Perairan Batam kembali pecah. Tim gabungan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan bersama Mabes Polri menahan kapal Penuin Union.
Kapal itu memang mencurigakan, karena tidak ada nama yang tertempel dalam lambung kapal. Namun, selain itu, sekilas tidak ada yang berbeda dari kapal itu dengan kapal nelayan lainnya.
Kapal dipenuhi kawat-kawat besar yang biasa dipakai untuk menjaring kepiting. Namun itu hanya kamuflase, karena sepanjang pelayaran, kapal itu tidak melakukan kegiatan mencari ikan dan kepiting.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bercerita, anak buahnya di jajaran Bea Cukai mencurigai kapal itu karena jumlah anak buah kapalnya terlalu sedikit untuk kapal nelayan sebesar itu.
Dan saat didekati, diperiksa singkat, kapal itu tidak memuat satu ikan dan kepiting pun, meski telah melaut berhari-hari.
Kemudian saat digeledah di Pulau Batam, kapal itu kedapatan membawa 1,6 ton sabu-sabu yang dikemas dalam 81 karung.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menyatakan Tim Gabungan Polri sudah mengintai kapal pembawa sabu 1,6 ton itu sejak 2017.
"Sudah lama diikuti Polri dan Bea Cukai. Mulai Desember, informasi dikembangkan," kata Kapolri.
Aparat mengamankan empat tersangka yaitu Chen Hui, Chen Yi, Chen Meisheng dan Yao Yin Fa.
Selang tiga hari setelah penangkapal KM Penuin Union, aparat kemudian mengamankan satu kapal lagi. Namun, hingga akhir penyelidikan, kapal itu tidak terbukti membawa barang laknat.
Berdasarkan data Bea dan Cukai, barang bukti penyelundupan sabu-sabu pada Februari 2018 lebih besar dibandingkan pengungkapan penyelundupan sepanjang 2017, yaitu 342 kasus dengan total berat mencapai 2,132 ton.
Vonis Mati
Kini, setelah sekitar 9 bulan kasus itu diungkap, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam memutus 7 dari 8 tersangka dengan vonis mati.
Seluruh ABK kapal Penuin Union yang membawa 1,6 ton sabu-sabu, yaitu Chen Hui, Chen Yi, Chen Meishong dan Yao Yin Fa divonis hukuman mati. Dan sebanyak 3 ABK Sunrise Glory yang membawa 1,29 ton sabu-sabu yaitu Chen Chung Nan, Chen Chin Tun dan Hsieh Lai dihukum mati, sedangkan Huang Hin An divonis seumur hidup.
Putusan itu dinyatakan Majelis hakim yang diketuai Muhammad Chandra dalam sidang maraton, yang dimula dengan kasus penyelundupan menggunakan kapal Penuin Union.
Hakim menyatakan seluruh terdakwa terbukti melanggar hukum sebagaimana dalam dakwaan primer dan subsider. Dakwaan primer yakni pasal 114 ayat 2 Jo pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Dan subsider pasal 113 ayat 2 Jo pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 209 tentang narkotika, serta lebih subsider pasal 112 ayat 2 juncto pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Majelis hakim menyatakan perbuatan keempat terdakdwa mengakibatkan citra Indonesia menjadi buruk di dunia internasional karena seolah-olah Indonesia jadi lahan empuk peredaran narkotika.
Dan pada sidang kedua, majelis hakim menyatakan tiga terdakwa yang divonis mati terbukti melanggar hukum sebagaimana dalam dakwaan primer yang diancam pasal 114 ayat 2 Jo pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Kemudian subsider pasal 113 ayat 2 Jo pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 209 tentang narkotika, serta lebih subsider pasal 112 ayat 2 juncto pasal 132 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Sedangkan terdakwa Huang Hing An hanya dikenakan pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Hakim menilai tidak ada hal yang meringankan masing-masing terdakwa dalam dua kasus itu, karena terbukti membawa atau menyelundupkan masuk narkotika jenis sabu ke wilayah Indonesia dengan melawan hukum.
Kedelapan ABK asing itu divonis, di saat menjelang Musim Angin Utara di Kepri. Saat laut mulai bergelombang tinggi disertai angin kencang, yang menjadi momok bagi nelayan tradisional.
Baca juga: Pengamat: Izin kapal ikan asing harus dihentikan sama sekali
Baca juga: Tiga kapal ikan berbendera Vietnam ditangkap
Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018