Tidak berpikir jauh mengenai pemberian itu, tapi hanyalah sebagai kegiatan seorang teman. Kalau saya tahu dari awal bantuan itu akan berpotensi bermasalah hukum seperti ini, mungkin saya akan berpikir ulang sebelum membantu."
Jakarta (ANTARA News) - Pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo mengaku bahwa pemberian uang senilai Rp4,75 miliar kepada anggota Komisi VII DPR non-aktif dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih hanya pemberian antarteman.
"Ketika Bu Eni minta saya menyukseskan kegiatan partainya dan mendukung suaminya, tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh saya bantuan itu akan saya konversi menjadi suatu keuntungan. Saya hanya berpikiran kalau Bu Eni minta bantuan ke saya karena menganggap saya sebagai temannya," kata Johanes Budisutrisno Kotjo di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Kotjo dengan pidana penjara selama 4 tahun serta pidana denda sejumlah Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
JPU KPK juga menolak permohonan Kotjo untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau "justice collaborator" (JC) karena Kotjo dinilai tidak membuka atau membongkar perkara atau peranan pihak lain yang lebih besar.
Pemberian itu ditujukan agar Eni membantu Kotjo dalam proyek Independent power producer (IPP) pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang RIAU 1 (PLTU MT Riau-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
"Tidak berpikir jauh mengenai pemberian itu, tapi hanyalah sebagai kegiatan seorang teman. Kalau saya tahu dari awal bantuan itu akan berpotensi bermasalah hukum seperti ini, mungkin saya akan berpikir ulang sebelum membantu," ungkap Kotjo.
Kotjo mengakui bahwa penyidik KPK sudah menerangkan bahwa bantuannya untuk Eni terkait erat dengan proyek Independent power producer (IPP) pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang RIAU 1 (PLTU MT Riau-1).
"Saya tidak paham karena bantuan tersebut dikaitkan dengan PLTU MT Riau-1, benar memang Ibu Eni membuka jalan untuk komunikasi dengan PLN, tapi Bu Eni tidak pernah menanyakan mengenai komitmen untuknya. Kenapa saya butuh dibukakan jalur? Karena saya tidak kenal orang di PLN, bila melalui kalau jalur normal pasti panjang dan berbelit, saya sebagai wirausaha butuh jalur yang lebih cepat," jelas Kotjo.
Ia juga mengakui bahwa tetap ada rasa sungkan terhadap Eni sebagai legislator dalam memberikan apresiasi untuk bantuan Eni menjadi penghubung dengan PLN.
"Dalam pikiran saya kenapa Bu Eni bersemangat membantu meski tidak ada iming-iming adalah karena beliau melihat potensi manfaat yang besar untuk listrik dan masyarakat nantinya. Saya bisa memahami semangat beliau tersebut karena saya juga merasakan itu saat pertama kalinya mendengar dari direktur Samantaka mengenai proyek ini. Apalagi semakin rumit tantangannya, semakin menarik bagi saya, terlebih bagi saya selama ini lebih banyak berbisnis dari jual beli perusahaan," tambah Kotjo.
Namun Kotjo mengakui bahwa ia memang berharap mendapat keuntungan finansial bila proyek ini berjalan.
"Kalau ditanya apa keuntungan saya dari proyek ini? Tentu saja keuntugnan finansial yang saya dapat sebagai agen, saya mendapat komisi bila proyek ini terlaksana. Tapi proyek ini juga menantang dan spesial. silakan dicari PLTU yang ada di negeri ini dengan pembiayaan yang sangat besar tapi investor dengan dana besar malah menjadi pemegang saham minoritas, itulah tantangannya dan saya mendapat investor yang berani," ungkap Kotjo.
Namun terhadap semua pemberian yang diberikan kepada Eni tersebut, Kotjo mengaku menyesali perbuatannya.
"Sampai saat ini saya masih punya kewajiban untuk membayar hak orang lain lain. Saya mohon agar majelis mencabut blokir rekening-rekening saya untuk memenuhi kewajiban saya kepada pegawai-pegawai saya, juga untuk kebutuhan keluarga saya. Apapun keputusan yang kelak dijatuhkan majelis hakim saya akan menerimanya dan tidak mengajukan banding," kata Kotjo.
Majelis hakim akan menjatuhkan vonis kepada Kotjo pada 13 Desember 2018.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018