Jakarta (ANTARA News) - Kancah pasar modal Indonesia kini kembali akan dilakoni hanya satu penyelenggara, setelah pemerintah 'memaksa' dua penyelenggara yang ada, Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), untuk merger. Hasilnya penyelenggara tunggal itu bernama Bursa Efek Indonesia (BEI) yang secara legal akan ditetapkan pada rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) akhir Oktober 2007. Nama baru yang diberikan pemerintah melalui pernyataan yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu ingin menegaskan bahwa tidak ada lagi bursa dengan nama kedaerahan, tetapi hanya ada satu nama nasional Indonesia yang menjadi representasi dalam kancah pasar modal global. ?BEI ini tidak sekedar nama,tetapi suatu representasi bursa yang akan menampung dan mengembangkan seluruh perekonomian Indonesia,? kata Menkeu dalam dialog dengan pengusaha bertema "Maju dan Berkembang dengan Go Public" di Semarang, akhir pekan lalu. Peristiwa disatukannya bursa-bursa efek itu sebenarnya menjejak pengulangan sejarah pasar modal nusantara yang sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Pada tahun 1912, pada masa pemerintah Hindia Belanda, pasar modal pertama Indonesia didirikan di Batavia (kini Jakarta) dengan nama Vereniging voor de Effectenhandel, yang memperdagangkan saham dan obligasi yang dikeluarkan perusahaan perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia. Sempat vakum selama periode perang dunia pertama, menurut buku "Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ, bursa efek Batavia mampu tumbuh pesat, sehingga menarik minat kota besar lainnya membuka bursa serupa. Pada tahun 1925 bursa efek Batavia tidak sendirian lagi, karena pemerintah kolonial mengoperasikan bursa di kota lainnya sebagai bursa paralel di Surabaya dan Semarang. Tercatat perusahaan yang mencatatkan efeknya sekitar 250 perusahaan publik. Namun kancah peperangan dengan masuknya Jepang ke nusantara, bursa tersebut ditutup. Pada 1952, tujuh tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, bursa efek dibuka lagi, namun hanya tunggal di Jakarta, namanya diubah menjadi Bursa Efek Jakarta (BEJ). Efek yang diperdagangkan masih saham dan obligasi perusahaan Belanda sebelum perang dunia. Sementara itu bursa efek di Surabaya dan Semarang tetap tutup. Setelah empat tahun berjalan, pemerintah Indonesia melancarkan program nasionalisasi pada tahun 1956 yang turut mempengaruhi Bursa Efek Jakarta menjadi tidak likuid dan tidak menarik investor. Baru pada tahun 1977, Pemerintah Indonesia melalui Depertemen Keuangan membuat institusi baru dengan nama Badan Pelaksana dan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), yang menjadi institusi yang menyelenggarakan kembali pasar modal tunggal di Indonesia. Status BEJ menjadi bursa efek tunggal di Indonesia cukup lama. Baru pada tahun 1989 pemerintah Indonesia ?menduakan? dengan didirikannya bursa serupa, yakni Bursa Efek Surabaya (BES). Di sini BES juga menggabungkan bursa paralel Indonesia. Tujuan pendirian BES, menurut Pemerintah saat itu, untuk mengembangkan pasar modal dan ekonomi di wilayah Indonesia Timur. Pada periode tahun yang hampir bersamaan di Semarang sempat dimunculkan Galeri Perdagangan Efek Jawa Tengah (GPEJT), yang akhirnya tutup akibat tidak kunjung meraih ijin untuk menjadi setingkat bursa efek. Transaksi efek di kedua bursa itu sebenarnya produk dan jasanya serupa. Yang berbeda di BEJ lebih didominasi transaksi saham-saham, sedang BES transaksi obligasi. Namun tidak menutup kemungkinan ada perusahaan yang ?go public? (masuk bursa) mencatatkan saham atau obligasi secara ?dual listing? (tercatat di dua bursa). Perkembangan selanjutnya di tahun 2007, pasar saham semakin likuid dan marak di BEJ yang berhasil memiliki saham dari sekitar 347 emiten saham. Indeks utamanya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) sempat mencapai rekor 2.400 pada 24 Juli. Sedangkan BES menjadi pusat obligasi makin likuid transaksinya yang tidak hanya diikuti obligasi korporasi, tetapi obligasi yang dikeluarkan pemerintah dengan variannya, seperti Surat Utang Negara (SUN), Surat Perbendaharaan Negara (SPN), dan obligasi ritel (ORI). Globalisasi dan Integrasi Seiring gencarnya globalisasi perdagangan dan bakal terintegrasinya pasar ASEAN, mulai sekitar 2005 Pemerintah berinisiatif mendorong kedua bursa yang sudah menjadi perusahaan swasta itu bersatu. Tidak mudah pada awalnya, namun disadari kedua pihak sudah saatnya pasar modal Indonesia harus mampu berdaya saing di pasar global. "Jangan lupa bahwa di dalam konteks kita sebagai bangsa sudah terikat di dalam komitmen regional dan internasional di dalam pengembangan atau integrasi dari pasar modal. Penyatuan itu ditujukan bisa bersinergi guna menyiapkan pasar modal Indonesia untuk terintegrasi di pasar ASEAN dan berdaya saing di pasar global,? kata Menkeu. Dalam pandangan Dirut BEJ yang menjadi Dirut BEI Erry Firmansyah, dengan merger ini akan meningkatkan efesiensi dan produk, sehingga dapat mengundang investor lebih besar dan bisa bersaing dengan bursa regional. "Kita sudah tidak bertarung lagi di dalam negeri, melainkan akan bertarung dengan dengan bursa lain di kawasan Asia lainnya," kata Erry. Dengan dimergernya Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), lanjut Erry, bisnisnya akan semakin besar dan tingkat efesiensinya semakin meningkat sehingga akan mengundang investor luar maupun dalam negeri untuk masuk BEI. Hanya saja, yang diharapkan para pelaku pasar sesudah disatukannya dua bursa efek ke dalam BEI, tidak lagi ada pemikiran bagi pembukaan bursa efek lain lagi, sekalipun pasar modal syariah. ?Sesudah disatukan ke BEI jangan lagi diduakan atau pembukaan bursa lain lagi di masa mendatang,? kata seorang investor saham Sibtu Hamid. BEI harus fokus meningkatkan kinerja dan memperkaya produk, termasuk efek syariah, untuk bersaing dengan bursa regional dan global. "Jadi investor yang mau investasi saham di Indonesia sekarang tidak harus datang ke beberapa bursa, namun cukup hanya satu bursa sudah dapat menentukan pilihan investasinya," ujar Kepala Biro (Kabiro) Transaksi dan Lembaga Efek Bapepam-LK Arif Baharudin. Kini para pelaku pasar tinggal menunggu peresmian BEI yang akan diketok palu di rapat umum pemagang saham luar biasa (RUPSLB) pada 30 Oktober. (*)
Oleh Oleh Zaenal Abidin
Copyright © ANTARA 2007