Jakarta (ANTARA News) - Sepanjang Oktober 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia yakni Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, Olechemical dan Biodiesel, tercatat naik 5 persen dibandingkan bulan sebelumnya atau dari 3,19 juta ton naik menjadi 3,35 juta ton.

Sementara itu, volume ekspor CPO, Palm Kernel Oil (PKO) dan turunannya saja (tidak termasuk oleochemical dan biodiesel) mencapai 3,14 juta ton atau juga naik 5 persen dibandingkan pada September lalu yang hanya mampu mencapai 2,99 juta ton.

Sedangkan sejak Januari hingga Oktober 2018, Indonesia mengekspor 4,9 juta ton CPO atau 18 persen dari total ekspor, serta 21,17 juta ton produk turunan olahan CPO atau 82 persen dari total ekspor.

Geliat pasar global di Oktober terutama didukung oleh permintaan dari China yang naik signifikan hingga 63 persen secara bulanan, di mana ekspor ke Negeri Tirai Bambu mencapai 541,81 ribu ton. Jumlah ini di luar ekspor biodiesel ke China yang sejak Mei hingga Oktober 2018 telah mencapai 637,34 ribu ton.

Selain itu, ekspor ke Pakistan juga naik signifikan hingga 76 persen menjadi 246,97 ribu ton, tertinggi sejak Oktober 2015.

Kenaikan permintaan disebabkan harga CPO yang murah untuk mengisi stok domestik, di mana ekspor ke Pakistan melambat dalam beberapa bulan terakhir akibat defisit neraca perdagangan mereka yang tinggi.

Kendati demikian, pemerintah tak ingin merasa puas dengan peningkatan ekspor CPO tersebut, mengingat Indonesia masih harus menghadapi tantangan dari negara-negara di Eropa.

Seakan tak ingin larut dalam permasalahan, pemerintah terus berupaya melakukan negosiasi dan meyakinkan Eropa bahwa produk sawit asal Indonesia berkelanjutan, dan pada saat bersamaan pemerintah juga berupaya mencari pasar ekspor baru.

Kementerian Perdagangan melirik beberapa pasar ekspor baru untuk produk sawit dan turunannya dengan mengalihkan produk minyak dari tumbuh-tumbuhan tersebut ke belahan dunia lainnya.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Arlinda membagi negara-negara non tradisional bidikannya dalam beberapa kawasan, di mana wilayah yang dipilih merupakan negara yang belum tersentuh perdagangan dengan Indonesia.

Negara-negara tersebut antara lain Arab Saudi, Oman, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Qatar.

Selain itu, negara-negara di Asia Selatan, di antaranya India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh.

Kemendag juga melakukan penjajakan dengan Chili, yang berdekatan dengan Amerika Latin, kemudian Kazakstan, dan Uzbekistan.

Kemudian di eropa timur, pasar Rusia , Kazakstan, Uzbekistan, bahkan negara-negara pecahan Rusia yang juga menjadi target pemerintah.

Di Afrika, Kemendag berupaya melakukan negosiasi dengan Mozambik, Tunisia yang dekat dengan Italia, Maroko yang dekat dengan Spanyol dan Aljazair yang memiliki kesepatan perdagangan bebas dengan Eropa.

Terkait kampanye negatif sawit, Indonesia berusaha menenangkan diri dan membuktikan bahwa tuduhan-tuduhan yang dilayangkan adalah tidak benar.

Pasar Arab Saudi

Dalam kesempatan melakukan misi dagang dengan Arab Saudi, yang termasuk potensi pasar ekspor baru, Kemendag mendorong para pengusaha Indonesia dan Arab Saudi untuk meningkatkan kerja sama di sektor industri kelapa sawit.

Kemendag meyakinkan bahwa Indonesia adalah pemasok minyak kelapa sawit berkualitas tinggi terbesar dan terbaik, dan merupakan produsen utama Certified Sustainable Palm Oil (CSPO), di mana Indonesia memasok 6,58 juta ton atau lebih dari separuh CSPO di pasar global.

Industri kelapa sawit di Indonesia berkelanjutan, ramah lingkungan dan berkualitas tinggi, seperti yang dipersyaratkan dalam skema Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO)

Produk sawit asal Indonesia diyakini dapat mendukung berbagai industri konsumen di Arab Saudi, mulai dari perawatan pribadi, kosmetik, barang-barang rumah tangga, hingga makanan dan minuman.

Tak terpengaruh

Arab Saudi dinilai tetap meminati produk sawit dan turunannya asal Indonesia, demikian disampaikan Konsul Jenderal RI Jeddah Mohamad Hery Saripudin.

Kendati demikian, Hery memaparkan bahwa Arab Saudi masih banyak mengimpor minyak sawit dan turunannya dari negara selain Indonesia, di mana menurut penelusuran, produk yang ada di negara tersebut sebagian besar berasal dari Indonesia.

Konsul Jenderal RI Jeddah Mohamad Hery Saripudin. (ANTARA News/ Sella Panduarsa Gareta)

Inilah tugas pemerintah dalam hal ini KJRI Jeddah, dan Kemendag untuk membuka simpul-simpul yang masih tertutup.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyampaikan bahwa peluang ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke Arab Saudi sangat besar, mengingat Indonesia baru memenuhi 30 persen dari seluruh kebutuhan minyak dari tumbuh-tumbuhan atau vegetable oil.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menargetkan Indonesia mampu memenuhi hingga 50 persen dari seluruh kebutuhan minyak dari tumbuh-tumbuhan atau vegetable oil masyarakat Arab Saudi.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono ditemui di Jeddah, Arab Saudi. (ANTARA News/ Sella Panduarsa Gareta)

Kebutuhan total vegetable oil di Arab Saudi mencapai 900 ribu ton per tahun, sementara Indonesia baru mengekspor minyak sawit sebesar 370 ribu ton per tahun.

Indonesia berpeluang besar meningkatkan ekspornya, karena memiliki beberapa keunggulan, di antaranya hubungan yang baik antar kedua negara yang terjalin sejak lama.

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang datang untuk umroh dan haji di Arab Saudi sangat banyak sehingga memiliki karakteristik kuliner yang juga mirip.

Hanya saja, diperlukan edukasi dan promosi yang komprehensif tentang minyak yang berasal dari kelapa sawit, karena pengetahuan sebagian masyarakat Arab Saudi tentang minyak makan selama ini yang dikenal adalah minyak bunga matahari atau minyak zaitun.

Jika informasi tersebut tersampaikan dengan baik, maka peluang Indonesia untuk mengekspor minyak sawit akan dapat meningkat secara signifikan.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018