Sebelum 2015, masyarakat hanya dapat mengelola 4-7 persen dari kawasan hutan tetapi setelah 2015 meningkat secara signifikan menjadi 27-33 persen
Jakarta (ANTARA News) - Koreksi besar-besaran yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam tata kelola gambut, kini menjadi rujukan pengetahuan bagi dunia internasional.
Hal ini semakin ditegaskan dalam pertemuan Konferensi Global Landscape yang berlangsung pada 1-2 Desember di Bonn, Jerman.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (LHK) Dr Siti Nurbaya Bakar, M.Sc hadir sebagai pembicara kunci pada berbagai forum yang digelar di hari pertama.
Pada konferensi internasional ini, menurut keterangan pers yang diterima di Jakarta, Minggu, hadir perwakilan PBB, UN Environment, Menteri LH se dunia, World Bank, NGO, peneliti, akademisi dan para mitra global lainnya.
Indonesia mendapat apresiasi setelah memiliki Pusat Penelitian Lahan Gambut Internasional atau International Tropical Peatlands Centre (ITPC). “'Ini adalah rumah untuk konsultasi dan advokasi bagi kepentingan masyarakat dan lingkungan lokal serta untuk kepentingan global,'' kata Siti Nurbaya..
Basis ITPC saat ini berada di dua kampus penelitian hutan di Bogor, yaitu Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi KLHK serta di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Di agenda berikutnya saat menjadi pembicara kunci peringatan CIFOR ke 25, di hadapan para pemimpin dan ahli kehutanan internasional, Indonesia menegaskan posisinya sebagai “taman bermain penelitian” bagi pengetahuan kehutanan dunia.
“Saya harap ulang tahun CIFOR ke-25 ini menjadi langkah monumental untuk memperkuat kolaborasi antara Indonesia, CIFOR dan semua mitra negara, untuk berkontribusi secara signifikan terhadap kehutanan internasional,” kata Siti Nurbaya.
Ia kembali mengingatkan bahwa pasca kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah memberi perhatian lebih pada pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
“Ini untuk mencegah kebakaran gambut seperti yang terjadi pada tahun 2015 ketika sekitar 800.000 ha dari 2,6 juta hektare area yang terbakar adalah lahan gambut," ungkapnya.
Komitmen Pemerintah Indonesia ini semakin dipertegas Siti Nurbaya saat menjadi pembicara kunci pada Pembukaan Forum Global Landscape 2018. Ia mengatakan telah terjadi pergeseran besar tata kelola kehutanan Indonesia menuju perspektif baru keberlanjutan.
“Kami telah pindah dari manajemen berorientasi kayu ke pengelolaan lanskap hutan. Kami juga telah mengambil langkah-langkah korektif untuk mencapai pengelolaan hutan lestari,” katanya.
Baca juga: Indonesia memiliki Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional
Belajar dari karhutla
Siti Nurbaya menyatakan Indonesia telah belajar banyak dari karhutla yang rutin terjadi hampir selama dua dekade. Pemerintahan Presiden Jokowi tidak mau mengulangi kesalahan yang sama karena sangat merugikan lingkungan, kesehatan, ekonomi dan juga kehidupan sosial masyarakat.
“Kami telah mengembangkan banyak instrumen pengelolaan lahan gambut,” kata Siti Nurbaya.
Diantaranya melalui kebijakan moratorium izin di lahan gambut dan hutan primer, menerbitkan PP 57/2016 tentang Perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, hingga menegakkan hukum lingkungan secara konsisten.
Indonesia juga telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memperbaiki konstruksi restorasi gambut dan operasi dan pemeliharaan infrastruktur dan pemanfaatan gambut. “Saat ini sekitar 177 pemegang konsesi telah mengembangkan rencana dan melaksanakan restorasi gambut sampai 2026,” ungkap Siti Nurbaya.
Pemerintah Indonesia telah menempatkan restorasi lahan gambut sebagai strategi utama mengurangi emisi di sektor kehutanan.
Ia juga menegaskan komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat melalui percepatan program perhutanan sosial atau program konsesi hutan desa.
“Sebelum 2015, masyarakat hanya dapat mengelola 4-7 persen dari kawasan hutan tetapi setelah 2015 meningkat secara signifikan menjadi 27-33 persen,” kata Siti Nurbaya.
Baca juga: Program Arboretum Gambut Pertamina dinilai positif
Pengalaman
Capaian-capaian langkah koreksi sektor kehutanan, terutama dalam hal tata kelola gambut, kembali disampaikan saat Siti Nurbaya menjadi pembicara kunci pada dua pertemuan lanjutan antarnegara peserta konferensi.
Di lapangan, pengelolaan lahan gambut berkelanjutan tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, masyarakat global dan sektor swasta.
Indonesia juga berbagai pengalaman penting untuk pengelolaan lahan gambut tropis dunia, khususnya dalam “A South-South Dialogue”. Teknik modern dan canggih dalam mengelola lahan gambut dan mencegah kebakaran telah dikembangkn.
Selain itu telah dilakukan inventarisasi ekosistem gambut Indonesia dalam bentuk Peta Hidrologi Gambut (Kesatuan Hidrologis Gambut/KHG) sebagai referensi untuk pemetaan yang lebih rinci di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Peta-peta ini menunjukkan bahwa total luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,14 juta hektare (ha), sekitar 9,16 juta hektare di antaranya berlokasi di Sumatera; 8,39 juta hektare di Kalimantan; 60 ribu hektare di Sulawesi dan 6,53 juta hektare di Papua.
Setelah melakukan inventarisasi, area seluas sekitar 2,5 juta hektare ekosistem gambut telah ditargetkan oleh pemerintah untuk pemulihan pada tahun 2020.
“Memulihkan lahan gambut kami bukan hanya memperbaiki aspek biofisik pengelolaan lahan gambut, tetapi juga mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut dan keberlangsungan bisnis yang dijalankan oleh perusahaan berlisensi,” katanya.
Baca juga: KLHK akan bangun lagi 7.726 sekat kanal
Baca juga: KLHK minta 472 perusahaan pulihkan gambut
Baca juga: Program restorasi gambut harus dibarengi pemberdayaan masyarakat
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018