Jakarta (ANTARA News) - Kabar yang tidak mengejutkan kembali menyeruak ke publik ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (27/11).
Dikatakan "tidak mengejutkan" karena penangkapan demi penangkapan masih saja terjadi. Penangkapan itu rutin menjadi sajian media, sedangkan publik hanya bisa prihatin karena hal tersebut menunjukkan masih beratnya persoalan korupsi di Indonesia.
Begitu seringnya terjadi penangkapan, beritanya pun dianggap biasa-biasa saja. Apalagi peristiwa-peristiwa lainnya silih berganti yang menghiasi pemberitaan media.
Dari serangkaian berita-berita penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya penangkapan terhadap kepala daerah dan anggota legislatif paling sering dilakukan. Kali ini KPK menangkap aparat hukum di PN Jakarta Selatan.
Penangkapan terhadap aparat hukum, baik hakim maupun panitera, juga sebenarnya telah beberapa kali terjadi. Namun, penangkapan terdahulu tidak menyurutkan sebagian oknum penegak hukum dan oknum politikus serta oknum di birokrasi untuk tidak melakukan korupsi atau menerima suap.
Yang tampak berubah dari adanya penangkapan oleh KPK itu adalah strategi dan modusnya. Kasus-kasus yang telah terungkap menunjukkan adanya perubahan pada penggunaan kode-kode pengalihan uang.
Cermati saja persidangan demi persidangan kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Pernah terungkap penggunaan kode "apel Washington" yang ternyata untuk transaksi menggunakan uang dolar Amerika Serikat (AS).
Pernah terungkap pula penggunaan kode "satu ton" untuk uang bernilai miliaran. Begitu juga kata "ngopi" yang merupakan kode untuk melanjutkan transaksi yang telah disepakati di sebuah tempat.
Dalam komunikasi yang berhasil dilacak, tim penyidik KPK juga mengidentifikasi kode yang dilakukan adalah "ngopi". Dalam percakapan antarpihak yang diduga pelaku terlacak kalimat "Bagaimana, jadi ngopi ga?"
Penggunaan kata atau kode untuk terjadi transaksi korupsi dan suap itu hanya sekelumit dari rangkaian kronologi dan konstruksi sebuah kasus yang diungkap. Intinya, beragam cara dilakukan agar transaksi bisa terjadi.
Padahal pada era teknologi informasi saat ini, kronologi dan konstruksi kasus-kasus korupsi bisa secara gamblang diungkap. Kini, jejak digital hampir selalu melekat di manapun dan kapanpun seseorang berada, dengan siapa dan bicara apa.
Perizinan
Dari beragam modus korupsi dan suap yang ditangani KPK, tergambar beberapa simpul kasus. Kasusnya bermuara pada simpul perizinan, pengadaan barang, inefisiensi penggunaan anggaran, permainan hukum, dan jual-beli jabatan.
Terkait dengan perizinan, simak pernyataan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Batam, Kepulauan Riau, beberapa hari lalu, bahwa sebanyak 80 persen kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang ditangani KPK terkait masalah perizinan.
Oleh karena itu, tak berlebihan kiranya diingatkan kepada kepala daerah dan jajarannya untuk berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam pemberian izin kepada pihak lain.
Intinya secara tegas, Basaria mengingatkan "Jangan meminta sesuatu untuk kepentingan pribadi".
Namun bila kepala daerah hendak "meminta sesuatu" untuk kepentingan daerah yang dipimpinnya, maka bisa difasilitasi dengan penggunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan (CSR).
Dari pernyataan itu, sebenarnya kepala daerah diperolehkan "meminta sesuatu" dari pihak lain, termasuk perusahaan swasta maupun milik pemerintah, asalkan untuk kepentingan masyarakat.
Tentunya dengan pertanggungjawaban yang jelas dan disertai transparansi.
Namun, pengawasan tetap perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas agar tidak menyimpang dari tujuan baiknya. Hal itu karena modus korupsi dan suap juga semakin beragam cara dan strateginya.
Dalam hal ini aspek transparansi dilakukan sebagai instrumen pencegahan terjadinya penyimpangan. Pencegahan diyakini sebagai jalan terbaik untuk menutup terjadinya modus korupsi dan suap.
Dari sisi strategi nasional pencegahan korupsi, KPK dan pemerintah fokus dalam tiga hal, yaitu perizinan dan tata niaga, keuangan negara serta penegakan hukum, dan reformasi birokrasi.
Untuk keuangan negara, sebagian besar penggelembungan anggaran (mark up) yang ditangani KPK berupa penunjukan orang tertentu, baik pengusahanya yang ditunjuk atau diatur sedemikian rupa demi kepentingan kepala daerah.
Ada juga yang menempatkan orang-orangnya di posisi yang dianggap strategis, seperti PUPR, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam modus lainnya adalah dinasti keluarga. Modusnya menempatkan orang-orangnya yang dianggap bisa dikendalikan di dalam jabatan tertentu.
Oleh karena itu, diingatkan agar jangan paksakan orang, keluarga, atau kelompok tertentu pada jabatan dengan mengharapkan "sesuatu".
Intinya, ikhlaslah dalam menjalankan tugas. Tanpa keihklasan, semua berjalan atas dasar pamrih yang bisa berujung pada urusan penjara.
Tidak Mudah
Tetapi untuk bersikap ikhlas tidaklah mudah. Hal itu karena jabatan tertentu di birokrasi atau lembaga legislatif merupakan simpul pengharapan bagi banyak orang, dari keluarga, kerabat, pengusaha, hingga tim sukses selama pencalonan.
Pengharapan yang begitu besar itu tak jarang meluluhkan mental. Luluhnya mentalitas adalah alamat terjerumusnya seseorang memasuki fase untuk melakukan penyimpangan.
Kalau sudah menyimpang, maka apa-apa serba pamrih dan serba diukur dengan uang. Maka prosedur perizinan pun menjadi peluang terjadinya transaksi suap-menyuap.
Pernyataan Basaria soal 80 persen kasus tangkap tangan yang dilakukan KPK terkait dengan perizinan aktual dalam praktik bisnis.
Sulit dan mahalnya perizinan menjadi beban masyarakat atau konsumen yang harus membayar suatu produk lebih mahal karena pengusaha membebankannya pada biaya produksi.
Oleh karena itu, kalau ada orang yang menyoroti mahalnya harga barang atau produk tertentu, maka cermati proses dan prosedur perizinannya.
Meski sudah ada perizinan kemudahan proses, prosedur dan syarat, bahkan secara daring masalah "ngopi-ngopi" merupakan saat luluhnya mentalitas.
Pengamat properti Erwin Kallo belum lama ini "blak-blakan" kepada ANTARA News terkait dengan biaya perizinan.
Dia menyebutkan tindakan pengembang properti menyuap birokrat pemerintah menjadi hal lumrah dilakukan untuk mengurus perizinan.
Bahkan tidak ada proyek properti di Indonesia yang tidak pakai suap atau pungli.
Kenapa itu terjadi? Karena memang rentang perizinannya itu terlalu panjang dan terlalu banyak.
Pengembang properti di Indonesia berurusan dengan seluruh sektor lembaga pemerintahan. Pengembang properti berada pada posisi sulit dalam menjalankan bisnis dan memenuhi harapan konsumen di Indonesia karena menjadi "korban" birokrasi yang tidak sehat.
Kasus suap yang menyeret pimpinan perusahaan properti dan kepala daerah merupakan contoh pengembang properti "terpaksa" harus menyuap birokrat karena jika tidak membayar maka proses perizinan tidak berjalan.
Namun, suap itu bukan berarti ada masalah. Tidak ada masalahpun harus suap.
Kata dia, di Indonesia ini benarpun pakai ongkos. Bayar itu untuk apa? Untuk percepatan karena bisnis itu masalah waktu.
Dia menjelaskan penundaan suatu proyek karena perizinan akan menimbulkan biaya yang cukup besar terhadap proyek tersebut. Seperti biaya "overhead" yang akan membengkak jika terjadi penundaan proyek.
Erwin menggambarkan proses perizinan yang harus diurus pengembang cukup rumit mulai pembebasan lahan, sertifikasi tanah, hingga izin mendirikan bangunan (IMB) dan sebagainya.
Bukan Semata-mata
Dari pernyataan itu, sebenarnya bukan semata-mata perizinannya yang mahal, tetapi "ngopi-ngopi-nya" itu yang membuat secara keseluruhan biaya perizinan dinilai mahal. Hal itu karena bukan soal biaya menyeruput kopinya, tetapi substansi dan arah pembicaraan yang terjadi.
Bagi praktisi hukum Eddy Marek, praktik suap dan pungli yang terjadi dalam kasus properti terkait dengan masalah mentalitas oknum birokrat. Kemudian persoalan lainnya karena perangkat hukum.
Kelemahan dua hal, yaitu mentalitas dan perangkat hukum, hingga kini masih terus terjadi.
Dia pernah mendengar bahwa pengembang serba salah.
Di satu sisi jika tidak mendekati pejabat, izinnya dipersulit atau tertunda atau diurus setengah hati. Akan tetapi di sisi lain, jika pengembang terus mendekati, maka ada risiko ditangkap karena melakukan kolusi.
Di sinilah dibutuhkan komitmen dan sikap konsisten pada aturan serta ikhlas melayani masyarakat.
Alangkah baiknya terngianglah selalu dengan sinyal dari KPK, yakni "Jangan meminta sesuatu untuk kepentingan pribadi".
Apalagi saat ini pemerintah sudah memiliki "online single submission" (OSS) yang merupakan platform yang baik sehingga pejabat pemerintah daerah harus mengikuti prosedur yang ada.*
Baca juga: DGI minta uang pengganti hanya Rp5,513 miliar
Baca juga: Maraknya OTT KPK bukti kegagalan parpol
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018