Jakarta (ANTARA News) - Lembaga internasional The Roundtable on Sustainable Palm Oil, sejak didirikan sekitar 14 tahun lalu, telah mempromosikan dan menyebarkan cara-cara produksi kelapa sawit berkelanjutan, baik untuk masyarakat, lingkungan, serta kemakmuran.
Siapa saja anggota dari RSPO? Selain 40 persennya adalah produsen kelapa sawit global, terdapat juga anggota yaitu manufaktur produk, peritel, serta juga ada sejumlah organisasi nonpemerintahan atau LSM bidang lingkungan dan sosial.
RSPO itu berdiri di atas sejumlah prinsip dan kriteria, antara lain adalah komitmen kepada transparansi, mematuhi aturan hukum yang berlaku, berkomitmen kepada kemampuan finansial-ekonomi jangka panjang, menggunakan praktik terbaik yang layak, tanggung jawab konservasi dan pelestarian sumber daya alam serta biodiversitas.
Selain itu, bertanggung jawab kepada pekerja, warga dan masyarakat yang terdampak, tanggung jawab pengembangan penanaman baru, serta berkomitmen melakukan perbaikan secara terus-menerus.
RSPO juga mengungkapan bahwa dari seluruh 14,31 juta ton minyak sawit berkelanjutan yang diproduksi di berbagai belahan dunia, sekitar 52 persennya ternyata berasal dari Indonesia!
Karena itu, tidak heran bila Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang dalam sejumlah kesempatan menyatakan bahwa selain produsen terbesar minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indoneia juga produsen minyak sawit berkelanjutan, juga yang terbesar di dunia.
Tiur Rumondang juga memastikan bahwa minyak sawit adalah satu-satunya minyak nabati global yang berhasil melaksanakan prinsip dan kriteria berkelanjutan secara universal.
Ia juga menyatakan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan keberadaan minyak sawit Indonesia, agar dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat di tingkat internasional.
Selaras dengan Tiur, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono menyatakan, keberadaan perkebunan kelapa sawit Indonesia sudah melaksanakan prinsip dan kriteria berkelanjutan, sehingga berhasil memproduksi minyak sawit berkelanjutan lestari.
Primadona Nabati
Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menyatakan, minyak sawit Indonesia telah menjadi primadona minyak nabati dunia.
Apalagi, Sahat mengingatkan bahwa kebutuhan konsumsi dunia akan terus meningkat, sejalan dengan terus meningkatnya pula populasi dunia.
Dengan keberadaan minyak dunia, ia juga menegaskan pentingnya hal tersebut diapresiasi oleh berbagai kalangan internasional.
Tidak hanya dari kalangan pengusaha, LSM lingkungan seperti World Wide Fund for Nature (WWF) juga telah melakukan sejumlah kajian guna mendukung pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Program Manager WWF Indonesia Putra Agung kepada wartawan di Sintang, Kalimantan Barat, Jumat (23/11), menyatakan, pihaknya telah melakukan berbagai program pendampingan bukan hanya untuk produsen kelapa sawit, tetapi untuk pembeli dan konsumen akhir produk sawit untuk memastikan bahwa industri sawit dikelola secara berkelanjutan.
Melalui intervensi ini diharapkan para pembeli juga dapat menekan produsen kelapa sawit untuk memperbaiki pola produksi supaya produk yang mereka beli benar-benar memenuhi standar sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Menurut Agung, keseluruhan hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memutus deforestasi, apalagi mengingat angka deforestasi akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 11 juta hektare pada 2014.
Ia berpendapat bahwa meski telah ada kebijakan moratorium sawit dalam rangka menyelesaikan silang-sengkarut perizinan perkebunan sawit, termasuk tumpang tindih dengan kawasan hutan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa, ternyata ancaman deforestasi masih ada terutama dari petani swadaya.
Hal tersebut, lanjutnya, karena pergerakan petani swadaya yang termasuk pelaku usaha kecil ternyata pergerakannya sulit dipantau, dan meski mereka membuka lahannya sedikit, tetapi polanya adalah acak.
Untuk itu, WWF Indonesia juga aktif mendampingi petani swadaya untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan melalui intensifikasi lahan kelapa sawit, salah satunya di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Kepemimpinan Politik
Agung juga menekankan pentingnya komitmen kepemimpinan politik sebagai unsur agar dorongan pengelolaan sawit berkelajutan juga bisa diterapkan dengan baik di seluruh wilayah Nusantara.
Pemerintah Indonesia, juga telah memiliki sejumlah program untuk mempromosikan industri kelapa sawit berkelanjutan, seperti program Regular Oil Palm Course 2018, yang bertujuan menghapus citra negatif industri tersebut di dunia, khususnya di kawasan Uni Eropa.
Program tersebut adalah hasil kerja sama Kementerian Luar Negeri bersama-sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), yang berlangsung di tiga kota yakni Jakarta, Bogor, dan Jambi, pada 19-26 November 2018.
Peserta dari program tersebut adalah para akademisi dan perwakilan LSM dari negara-negara Belanda, Ceko, Hungaria, Inggris, Italia, Prancis, Polandia, Rusia, Slowakia, dan Australia.
Sementara itu, DPR RI juga sejak lama telah menyuarakan agar kebijakan kelapa sawit oleh Uni Eropa jangan sampai merugikan Republik Indonesia karena banyak anggota masyarakat di Tanah Air bergantung kehidupannya kepada komoditas itu.
Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Nurhayati Ali Assegaf menegaskan bahwa sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan kontributor terbesar bagi perekonomian ASEAN, seharusnya Uni Eropa mengedepankan kerja sama dengan Indonesia, ketimbang negara-negara lain yang tidak demokratis.
Ia menuturkan, sekitar 50 juta warga Indonesia yang menggantungkan kehidupannya kepada kelapa sawit.
Dialog Kemitraan
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga telah melakukan kunjungan kerja ke Uni Eropa guna membahas diskriminasi produk turunan kelapa sawit di kawasan tersebut.
Luhut menegaskan Indonesia ingin membangun dialog kemitraan dalam menghadapi masalah kelapa sawit.
Mantan Menko Polhukam itu, juga menjelaskan bahwa kelapa sawit mampu mengurangi kemiskinan hingga 10 juta orang berdasarkan riset Universitas Stamford.
Di Indonesia, 51 persen lahan kelapa sawit dikuasai petani, di mana lebih dari 16 juta orang bergantung pada sektor tersebut.
Ia menerangkan bahwa hampir semua sawit yang dikirim dari Indonesia telah mendapat sertifikasi internasional.
Selain itu, ujar dia, dari segi kesehatan juga telah dilakukan riset oleh konsultan independen yang menyatakan bahwa tidak ada yang salah dari dampak sawit pada kesehatan.
Berbagai diplomasi itu juga telah membuahkan hasil, seperti Pemerintah Jerman yang diwartakan mendukung pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yang mengacu kepada mekanisme Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang telah diterapkan di Tanah Air.
Dukung Indonesia
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang, berharap ke depannya, Pemerintah Jerman turut berperan dalam mendukung upaya Indonesia mewujudkan kelapa sawit berkelanjutan, hingga bisa mengakui atau mengakui sertifikasi ISPO.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Jerman yang diwakili Dirjen Kehutanan, Keberlanjutan dan Sumber Daya Terbarukan Kementerian Pertanian Jerman, Clemens Neumann, telah berkunjung ke Kantor Ditjen Perkebunan, Jakarta, 13 November, untuk membahas perkebunan kelapa sawit.
Menurut data, hingga September 2018, ekspor sawit Indonesia ke Jerman telah mencapai 105,9 juta kg, dengan nilai mencapai 72,7 juta dolar AS.
Clemens Neumann memberikan apresiasi yang tinggi kepada Pemerintah Indonesia atas upaya yang telah dilakukan.
Sebelumnya, Neumann dan tim telah melihat langsung ke beberapa perusahaan kelapa sawit yang sudah mendapat sertifikasi ISPO di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat khususnya di sekitar Taman Nasional Sentarum yang terdapat banyak petani karet dan sawit.
Pemerintah Jerman telah memberikan hibah dan bantuan teknis untuk membantu masyarakat sekitar Sentarum untuk turut menjaga lingkungan, sekaligus memberikan peningkatan kapasitas agar warga mendapat manfaat ekonomis dengan meningkatkan produktivitas karet dan sawit.
Saat ini, berdasarkan data sudah ada 413 sertifikat ISPO yang diterbitkan, sebanyak 407 sertifikat perusahaan, dan sebanyak enam sertifikat pekebun (terdiri atas satu asosiasi, dan lima Koperasi Unit Desa), dengan total luas kebun sawit mencapai 2,34 juta hektare dan CPO 10,2 juta ton/tahun.
Dengan adanya sinergi yang baik secara domestik, maupun dengan merangkul berbagai pihak eksternal di tingkat mancanegara, maka potensi penerapan prinsip dan kriteria kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia juga diyakini akan terus melesat dan membesar jumlahnya pada masa mendatang.
Baca juga: Industri sawit mencoba bertahan dalam tekanan internasional
Baca juga: Diganggu Uni Eropa, Pemerintah fokus kembangkan pasar baru ekspor sawit
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018