Jakarta (ANTARA News) - Industri kelapa sawit di Indonesia sudah sejak lama menarik reaksi negatif di dalam negeri karena dianggap merusak lingkungan.
Hilangnya habitat satwa endemik, berkurangnya luasan hutan tropis, hingga memicu bencana kabut asap akibat pembakaran lahan menjadi isu negatif yang sering ditujukan pada industri tersebut.
Meski Indonesia menjadi raja dalam produksi minyak sawit mentah (CPO) di dunia, namun tidak menahan antipati komunitas internasional untuk tidak ikut menyalahkan sektor industri ini.
Atas alasan lingkungan, negara-negara di kawasan Uni Eropa pun beramai-ramai menolak komoditas dari Indonesia tersebut.
Kenyataan ini, ditambah harga CPO yang terus anjlok, memunculkan kekhawatiran pada kalangan yang berkecimpung di sektor tersebut.
Tidak hanya pelaku industri, pemerintah daerah yang menjadi penghasil produk sawit hingga pemerintah pusat pun berusaha memutar otak untuk menyelamatkan industri tersebut.
Mereka tidak ingin salah satu sektor industri perkebunan andalan ini ambruk layaknya sektor migas atau pertambangan batu bara yang dulu pernah dinikmati Indonesia.
Bahkan kedatangan perwakilan Indonesia ke perhelatan G20 di Buenos Aires Argentina juga digadang untuk menyuarakan nasib kelapa sawit nasional di mata internasional.
Paling tidak ada ada dua isu besar kelapa sawit di internasional, di kawasan Amerika terkait dengan persaingan pengembangan Biofuel, sementara di Uni Eropa dikaitkan dengan masalah lingkungan dan HAM.
Menyikapi situasi ini, Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Foksbi) ingin ada sebuah landasan fundamental bagi industri kelapa sawit nasional.
Hal ini akan diimplementasikan melalui rancangan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).
Penasihat Foksbi Rusman Heriawan berharap, dokumen RAN-KSB yang mereka rancang bisa menjadi Perpres dan mampu menyelamatkan sekitar 21 juta orang di Indonesia yang menikmati keuntungan dari industri itu.
RAN-KSB juga diharapkan bisa memfasilitasi perubahan industri kelapa sawit nasional agar sesuai dengan "Sustainment Development Goals" (SDG) yang diamanatkan PBB pada tahun 2015.
Industri kelapa sawit nasional rentan terhadap serangan kampanye negatif baik dari dalam dan luar negeri. Jika menghadapi situasi ini, pelaku industri dan pemerintah hanya mengatasi permasalahan secara per kasus karena belum memiliki rencana aksi yang berbasis keberlanjutan layaknya SDG.
Dengan rencana jangka panjang tersebut, harapan akan kelanggengan industri sawit pun akan bisa dijaga.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, dari 21 juta orang yang menikmati keuntungan dari sawit, 5,3 juta di antaranya menggantungkan hidupnya dari industri tersebut.
Sementara di kawasan pedesaan sektor perkebunan ini berhasil mengangkat sekitar 1,3 juta orang dari garis kemiskinan pada periode 2001-2010.
Staf Ditjen Bina Bangda Kemendagri, Eva Novianti, mengatakan bahwa ada sejumlah tantangan sawit yang sudah dipetakan.
Di luar negeri, sawit Indonesia dihadapkan pada masalah kampanye negatif, isu keberlanjutan, hingga respon pasar terutama di negara-negara maju.
Sedangkan di dalam negeri, masalah yang dihadapi antara lain produktivitas dan efisiensi yang masih rendah, serta lambatnya peningkatan kualitas perkebunan rakyat.
Koordinasi antarpihak pun menjadi solusi untuk menyiasati masalah tersebut, mengingat selama ini pelaku industri sawit, pemerintah, akademisi, maupun LSM sulit untuk satu suara.
Rencana Pemerintah
Selain menerima masukan Foksbi melalui RAN-KSB, pemerintah sebagai inisiator pusat juga menyusun sejumlah "rute evakuasi" bagi sektor ini.
Kementerian PPN/Bappenas berupaya mendorong pelaku industri kelapa sawit dan pemerintah daerah terkait untuk melakukan hilirisasi agar bisa menghadapi tekanan pasar global.
Mau tidak mau hilirisasi harus dilakukan karena situasi yang dihadapi sekarang sudah darurat, demikian kata Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Anang Noegroho.
Langkah itu harus dilakukan karena adanya tekanan pasar global yang mengakibatkan harga komoditas kelapa sawit anjlok menjadi sekitar 420 dolar amerika per ton, dari sebelumnya 530 dolar.
Bappenas menilai kondisi ini sudah sangat mengkhawatirkan, bahkan hampir semua komoditas pertanian mengalami penurunan harga selama 50 tahun terakhir dengan rata-rata penurunan satu persen per tahun.
Melalui hilirisasi, diharapkan Indonesia tidak lagi bertumpu pada penjualan CPO, namun mampu mengolahnya ke dalam sub-produk lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih menguntungkan.
Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menargetkan sebanyak 70 persen perusahaan kelapa sawit memiliki sertifikasi "Indonesia Sustainable Palm Oil" (ISPO) pada tahun 2020.
Sambil mengusahakan target itu di dalam negeri, di ranah internasional pemerintah masih menyuarakan ISPO agar lebih dikenal sebagai standar Indonesia di kalangan luar negeri.
Asisten Deputi Bidang Perkebunan dan Holtikultura Kemenko Perekonomian Wilistra Danny menegaskan pemerintah secara serius akan menangani gejolak di industri kelapa sawit dengan upaya-upaya yang menyasar pada pemahaman kalangan internasional.
Memberi pemahaman bahwa kelapa sawit merupakan solusi ekonomi dan bukan ancaman iklim atau lingkungan juga termasuk dalam penyampaian rencana strategis ke petani.
Kemenko Perekonomian mengapresiasi rancangan dokumen RAN-KSB dan berharap ada solusi jitu bagi keselamatan sektor industri ini.
Foksbi juga diharapkan bisa menjadi jembatan bagi semua pihak berkepentingan agar dapat membangun industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Tindakan pemerintah dan instansi terkait tersebut diharapkan bisa menjadi wajah baru industri sawit nasional yang selain bisa diterima kalangan baik di dalam dan luar negeri.
Baca juga: Diganggu Uni Eropa, Pemerintah fokus kembangkan pasar baru ekspor sawit
Baca juga: WWF sebut perlu komitmen politik untuk penerapan sawit berkelanjutan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018