Jakarta (ANTARA News) - Medali emas SEA Games tahun 1991 menjadi pencapaian bergengsi terakhir tim nasional sepak bola senior Indonesia di kancah internasional.
Setelah itu sepak bola Indonesia tak bisa keluar dari kisah pahit. Kondisi diperparah dengan keluarnya sanksi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) untuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang membuat PSSI harus menghentikan semua aktivitasnya pada rentang tahun 2015 hingga 2016.
Sepak bola Indonesia terpuruk semakin dalam. Meski demikian, secercah cahaya sempat timbul saat Indonesia berhasil melaju ke final Piala AFF tahun 2016 yang menjadi turnamen pertama timnas usai sanksi FIFA.
Sepeninggal Alfred Riedl, sang juru taktik di Piala AFF 2016, kursi juru taktik pelatih timnas Indonesia pun lowong. Lalu direkrutlah seorang pria asal Spanyol, Luis Milla untuk melatih di Indonesia mulai awal tahun 2017. Secara resmi Milla sejatinya bekerja untuk timnas U-23 Indonesia yang akan berlaga di Asian Games 2018.
Akan tetapi, karena timnas senior Indonesia nirpelatih, dia mengisi posisi tersebut sampai kontraknya berakhir pada Agustus 2018. PSSI berencana memperpanjang keberadaannya di Indonesia, tetapi gagal.
Baca juga: Ternyata kesepakatan PSSI dengan Milla baru sebatas lisan
Ini menjadi pukulan telak bagi Indonesia mengingat Piala AFF 2018 dimulai pada awal November 2018. Pada akhir Oktober 2018, PSSI pun menunjuk asisten pelatih Luis Milla, Bima Sakti sebagai pelatih tim nasional Indonesia.
Meski hanya memiliki sekitar dua minggu untuk mempersiapkan tim sebelum bertanding di Piala AFF 2018, Bima Sakti yang juga legenda hidup sepak bola Indonesia ditargetkan untuk membawa timnya juara.
Bima, pemegang lisensi A AFC, praktis tidak memiliki waktu membangun tim dari awal. Pelatih berusia 42 tahun itu mengaku tak sempat mengubah taktik dan strategi.
Baca juga: Bima Sakti terus berkomunikasi dengan Luis Milla
Para pemain yang dipanggil pun tidak jauh dari sosok-sosok yang pernah dipercaya Milla. Di timnas Indonesia Piala AFF 2018, ada 16 nama alumnus Asian Games 2018 dari total 23 pemain yang dipanggil.
Akibatnya, permainan Indonesia seperti mudah ditebak. Dalam prosesnya, Indonesia mengalami dua kekalahan di Grup B Piala AFF 2018 (dari Singapura dan Thailand), satu hasil seri (dengan Filipina) dan satu kemenangan (atas Timor Leste). Indonesia pun gagal lolos dari fase grup, mengulangi pencapaian di AFF tahun 2007, 2012 dan 2014.
Usia Muda
Masyarakat Indonesia beramai-ramai melontarkan kritik atas kegagalan tersebut. Dan, bisa ditebak, hampir seluruh protes diarahkan kepada PSSI sebagai federasi induk sepak bola nasional.
PSSI dianggap tidak becus mengurusi persepakbolaan yang berujung pada timnas yang tunaprestasi. Ketua umum PSSI saat ini, Edy Rahmayadi, menjadi bulan-bulanan.
Namun, rasanya tidak pantas tanggung jawab kegagalan tim nasional Indonesia ditimpakan kepada satu-dua orang.
Usai dikalahkan Filipina di laga terakhir Grup B Piala AFF 2018, Minggu (25/11), pelatih timnas Indonesia Bima Sakti meminta semua pihak untuk tidak saling menyalahkan terkait pencapaian negatif skuatnya.
Baca juga: Pelatih bertanggung jawab atas kegagalan Indonesia di AFF
Menurut Bima, sebaiknya seluruh pemangku kepentingan berkaca dan bersatu mencari solusi. Timnas Indonesia, lanjut dia, tertinggal di Asia Tenggara karena belum memiliki kompetisi usia muda terstruktur sejak akar rumput.
Ucapan Bima ada benarnya. Negara Asia Tenggara yang mulai disegani di tingkat Asia seperti Thailand telah memikirkan soal ini sejak jauh hari. Berbekal hasrat bermain di Piala Dunia 2026, Asosiasi Sepak Bola Thailand (FAT) membangun ekosistem liga usia muda bernama Liga Belia Thailand (Thailand Youth League) mulai tahun 2016 meliputi liga U-13 (untuk pemain di bawah 13 tahun), U-15, U-17 dan U-19.
Klub-klub profesional Thailand seperti FC Bangkok bahkan memiliki tim-tim belia mulai U-7 sampai U-17, sementara juara Liga Thailand tahun 2017 Buriram FC mempunyai tim muda yakni U-11, U-13, U-15, U-17 dan U-19.
Situasi ini berbeda dengan klub-klub di Indonesia yang belum terbiasa membina tim usia muda. PSSI baru mewajibkan klub memiliki tim U-19 sejak tahun 2017 dan tim U-16 sejak tahun 2018.
Bahkan kalau kita bandingkan negara kuat Asia lain layaknya Jepang, Indonesia tertinggal sangat jauh. Dalam artikel ilmiah berjudul "Grassroots Football Development in Japan" yang ditulis Masahiro Sugiyama, Selina Khoo serta Rob Hess dan dimuat dalam The International Journal of the History of Sport (2017), disebutkan bahwa pembangunan sepak bola Jepang sudah dimulai sejak 1960-an.
Namun, prosesnya tak berjalan sesuai harapan sampai akhirnya pada tahun 1979, Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) membuat rencana strategis yang salah satunya yaitu dengan mencatat nama seluruh pesepak bola di negeri itu mulai umur di bawah 12 tahun (U-12) sampai usia 40 tahun baik pria maupun perempuan. Data sejenis ini belum pernah ada di Indonesia sampai sekarang.
Jumlah itu menjadi dasar Jepang membuat program untuk meningkatkan kuantitas pesepakbolanya terutama dari kalangan anak-anak. Harapan itu berhasil karena berbagai faktor seperti adanya kartun "Captain Tsubasa" pada tahun 1980-an, pembentukan liga profesional Jepang J-League pada tahun 1993 dan lolosnya Jepang ke Piala Dunia 1998, Piala Dunia pertama untuk Jepang sepanjang sejarah, yang melonjakkan popularitas sepak bola di Negeri Sakura.
Sepak bola dimainkan di sekolah-sekolah dari tingkat setara sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas. Ketika anak-anak ini menginjak umur 10 tahun, mereka boleh memilih klub di resmi untuk mengasah kemampuan sekaligus bertanding di kompetisi usia muda.
Sebagai informasi, kejuaraan sepak bola usia muda U-15 Jepang digelar sejak tahun 1986 dan kejuaraan U-18 mulai tahun 1978. Selain itu ada pula berbagai kejuaraan untuk pemain U-12 dan U-13 yang seluruhnya di bawah JFA.
Kemudian, JFA memiliki program elite (JFA elite programme) dan JFA Academy untuk berbagai usia baik pria maupun wanita. Nantinya para pemain terbaik putra bisa mengisi timnas U-15, U-16, U-17, U-18, U-19 dan U-21. Untuk putri, ada timnas U-16, U-17, U-18 dan U-20.
Dengan program seperti itu, tidak heran timnas Jepang akrab dengan Piala Dunia dengan enam kali penampilan. Bahkan timnas putri Jepang pernah menjuarai Piala Dunia Putri FIFA pada tahun 2011. Secara individu, pesepak bola Jepang pun banyak berkarier di liga-liga top Eropa.
Satu lagi, sejak tahun 2005 seluruh program sepak bola Jepang diarahkan untuk mewujudkan "ikrar Asosiasi Sepak Bola Jepang untuk tahun 2050" atau "The JFA Pledge for 2050" yang berisi pertama, keluarga besar sepak bola Jepang akan berjumlah 10 juta orang dan kedua, Jepang akan menjadi tuan rumah serta juara Piala Dunia tahun 2050.
Pelatih timnas U-19 Indonesia Indra Sjafri sudah merasakan bagaimana hasil dari ikrar tersebut membuat skuatnya kesulitan. Bersua timnas U-19 Jepang di perempat final Piala U-19 Asia 2018, Indonesia kalah dengan skor 2-0.
Baca juga: Indra nilai U-19 Indonesia pantas bersaing di level Asia
Jepang, menurut Indra Sjafri, berhasil menjaga konsistensi program jangka panjangnya demi juara Piala Dunia tahun 2050.
Langkah
Sama dengan Indra, pelatih timnas U-16 Indonesia Fakhri Husaini juga sudah punya pengalaman menghadapi kesebelasan yang lahir dari solidnya kompetisi usia muda.
Itu terjadi pada delapan besar Piala U-16 Asia tahun 2018 di Malaysia, ketika tim yang ditangani Fakhri takluk 2-3 dari Australia. Seperti diketahui, Australia juga menjadi bagian dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dan telah lima kali tampil di Piala Dunia.
Kala itu, 17 pemain dari 23 nama di timnas U-16 Australia merupakan pemain muda klub-klub Liga Australia (A-League) yang berkompetisi di Liga Muda Nasional (National Youth League) Australia, lima pemain berlaga di kompetisi yang dijalankan pemerintah, lalu satu nama terakhir, Tristan Hammond tercatat sebagai pemain junior klub ternama Liga Portugal Sporting Lisbon.
National Youth League yang mempertandingkan tim dengan pemain berusia 16-21 tahun ini sudah berjalan sejak tahun 2008 dan di bawah pengawasan Federasi Sepak Bola Australia (FFA). Bahkan cikal bakal kompetisi itu sudah ada sejak tahun 1984.
Oleh sebab itulah Fakhri Husaini berharap semua pemangku sepak bola nasional yaitu PSSI, liga, pemerintah dan swasta agar bersatu membangun satu kompetisi sepak bola usia muda yang terintegrasi, tidak terbagi-bagi.
Pengurus PSSI periode 2016-2020 sebenarnya sudah membuat langkah-langkah strategis terkait pemain muda. Di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi, PSSI menggelar Liga 1 U-16 mulai tahun 2018, yang menjadi kompetisi U-16 pertama PSSI sejak berdiri tahun 1930.
Kemudian, mulai tahun 2017, PSSI menggulirkan lagi Liga U-21 yang kini diganti menjadi Liga U-19. Selain itu, kompetisi remaja Piala Soeratin kini memiliki tiga kategori umur yakni U-13, U-15 dan U-17, tidak lagi hanya untuk pemain U-17.
Tahun 2017 diluncurkan pula sebuah gaya bermain Indonesia yang dinamakan filosofi sepak bola Indonesia (filanesia). Filanesia diharapan menjadi acuan seluruh akademi sepak bola di Tanah Air.
Dengan semua program-program ini, PSSI berharap timnas Indonesia bisa menembus Olimpiade tahun 2024 dan bermain di putaran final Piala Dunia tahun 2034.
Olimpiade dan Piala Dunia bukanlah cita-cita yang tidak bisa terwujud. Seperti kata Indra Sjafri, yang penting PSSI dan pemangku kepentingan sepak bola nasional benar-benar berkomitmen menjalankan program yang sudah ada dan, tentunya, melakukan evaluasi serta pembenahan terus menerus.
Demi mewujudkan itu, sudah pasti diperlukan individu-individu yang siap bekerja keras, berkorban dan berjuang semata-mata demi sepak bola serta tidak menghamba pada uang dan kekuasaan.
Baca juga: Kegagalan Timnas di Piala AFF 2018 harus dievaluasi
Baca juga: Pelatih Jepang: U-19 Indonesia lebih percaya diri
Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2018