Pertambahan jumlah penduduk dan konsumsi masyarakat yang semakin tinggi melahirkan konsekuensi yang tak terelakkan bagi beban lingkungan dalam bentuk sampah yang kian menggunung.
Wajah kota-kota di seluruh Tanah Air terkena dampak dua faktor di atas: jumlah penduduk yang semakin banyak dan jumlah sampah yang semakin menggunung.
Dari kota metropolitan, jantung ibu kota, hingga kota jauh dari kekuasaan pusat seperti Waingapu di Pulau Sumba, sampah menjadi salah satu pemandangan yang tak sedap bagi siapa pun.
Jangan cuma memperhatikan kawasan seputar Istana Negara, pusat-pusat perbelanjaan mewah, tapi tengoklah terutama kawasan yang berdekatan dengan pasar-pasar tradisional, sampah selalu mengganggu pemandangan dan membawa aroma tak sedap ke sekitarnya.
Di pasar-pasar tradisional di kawasan Manggarai, Pondok Gede, maupun di Waingapu, petugas selalu bekerja keras sejak pagi buta untuk membersihkan sampah, namun bekasnya masih menarik lalat-lalat ke sekitarnya, menimbulkan pemandangan kurang sedap.
Serpihan-serpihan kardus, plastik, tumpahan kuah makanan dan ceceran biji buah-buahan, dedaunan sayuran yang tercecer atau tak terangkut gerobak petugas kebersihan sering tersisa di jalanan.
Yang lebih menyedihkan lagi, warga yang tinggal di jalan-jalan yang dilewati truk-truk sampah juga harus mencium aroma tak sedap yang menguar ke lingkungan perumahan.
Lima tahun silam, warga yang tinggal jalanan di sekitar Komsen, Bekasi, Jawa Barat, yang dilewati truk-truk sampah belum merasakan ketaknyamanan ini: menghirup aroma tak sedap yang keluar dari sampah warga DKI Jakarta yang dibawa ke Bantar Gerbang, Bekasi.
Di samping itu, kini aroma sampah dari Bantar Gerbang bisa terhirup hingga radius 15 kilometer tergantung angin.
Hidup menjadi semakin kurang nyaman dengan sampah di mana-mana.
Bukan hanya di Tanah Air, di seluruh dunia pun sampah menjadi persoalan lingkungan. Di negara-negara berteknologi maju, maupun menengah, sampah didayagunakan sehingga durasi merusak estetika lingkungan dan ketaknyamanan indra manusiawi bisa diperpendek.
Banyak negara-negara yang memanfaatkan sampah, terutama plastik, menjadi material utama pembangunan jalan raya sebagai substitusi aspal. Pemilahan sampah, pemisahan sampah organik dan nonorganik, juga sudah mulai dilakukan di sejumlah kota. Sayangnya hal ini justru tak dilakukan di kota dengan produksi sampah domestik paling tinggi.
Sudah saatnya dilahirkan peraturan daerah, bahkan kalau perlu undang-undang tentang keniscayaan warga memilih sampah sejak dari hulu atau titik awal mata rantai sumber sampah.
Sampai saat ini, masih banyak tempat-tempat usaha, seperti toko atau warung yang mencampuradukkan sampah organik dan nonorganik dalam satu tong sampah, membuat sampah sulit dikelola menggunakan mesin modern.
Tampaknya, semua pihak perlu membangun kesadaran tentang penanganan sampah. Para agamawan yang masih diikuti nasihatnya di kampung-kampung perlu menyuarakan pesan-pesan yang bertujuan menyelamatkan bumi yang kian terancam oleh limbah sampah.
Gaya hidup yang mendukung lingkungan perlu dimasyarakatkan. Kearifan gaya hidup yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan harus ditularkan dan dikampanyekan. Terutama yang menyangkut sampah plastik, warga perlu mengikuti gaya hidup bersahaja yang kini sudah dicoba untuk disosialisasikan.
Ada teladan yang perlu ditambahkan di sini: seorang rohaniwan yang memperlakukan kantong plastik dengan elegan. Dia selalu mencuci plastik bekas dan mengeringkan lalu menyimpannya untuk digunakan kembali sewaktu-waktu dia memerlukan.
Kebanyakan warga membuang ke bak sampah di rumah masing-masing setiap kantong plastik yang telah digunakan untuk membawa belanjaan dari warung atau toko.
Kantong plastik terlalu murah sehingga pedagang ikan, sayur, buah begitu enteng memberikannya kepada pembeli untuk membawa barang belanjaan.
Seorang ibu umah tangga yang belanja ke pasar, dengan tingkat belanjaan yang wajar, sedikitnya bisa membawa tiga sampai lima kantong plastik. Dalam sebulan rata-rata dia bisa memproduksi 100 kantong plastik.
Para pegiat lingkungan atau mereka yang peduli dengan lingkungan yang sehat sudah mulai menerapkan gaya hidup yang hemat plastik. Mereka berusaha selalu membawa tas dari rumah setiap belanja guna mengurangi konsumsi plastik.
Namun, aktivitas para pegiat lingkungan ini belum signifikan dalam mengurangi jumlah sampah yang membahayakan lingkungan hidup.
Kebijakan membeli kantong plastik saat belanja di pasar swalayan agaknya perlu direvisi dengan menaikkan harga per kantong plastik, yang selama ini dipatok Rp200,- menjadi Rp500,-.
Jika perlu, harga plastik secara umum bisa dinaikkan untuk mendorong pembelanja membiasakan diri membawa tas dari rumah untuk berbelanja.
Pemerintah juga perlu menaikkan pajak bagi produsen plastik yang tujuannya antara lain untuk mereduksi konsumsi plastik secara nasional.
Itu hanya beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi sampah, terutama yang berjenis nonorganik, di Tanah Air.
Baca juga:
Hamparan sampah anorganik halangi aktifitas nelayan pesisir
Cukai untuk mengendalikan produksi plastik
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018