Areal tanaman padi yang dikembangkan di Desa Langsat Permai, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, dikelola oleh petani dan pemuda yang berfikir bahwa ternyata budidaya tanaman pangan (padi) dan hortikultura (cabe) lebih banyak mendapatkan untung dari pada kelapa sawit.

"Jika dihitung, sawit rata-rata per hektare menghasilkan Rp1 juta/bulan, dan setelah diganti dengan tanaman padi diperoleh 4-5 ton produksi padi jika diumpamakan Rp5.000/kg berati Rp25 juta umur 3 bulan, setelah dikeluarkan biaya pengeluaran sebesar Rp10 juta, maka diperoleh untung Rp5 juta per bulan," katanya.

Artinya, katanya lagi, lebih besar untung produksi padi dari pada sawit, bahkan untuk tanaman cabe lebih untung lagi. Dengan melihat keberhasilan ini, maka rama-ramai masyarakat Desa Langsat Permai menumbangkan sawit mereka beralih ke tanaman pangan itu.

Terkait persoalan ketersediaan air, yang terkendala, maka UNRI juga sudah membangunkan kanal bloking yang dibiayai dari dana Direktorat Pendidikan Tinggi. Keberadaan kanal bloking itu dapat mengatasi ketersediaan air saat musim kemarau yang bisa digunakan untuk padi dan cabe.

Ia menekankan bahwa, khusus pengembangan padi di Desa Langsat Permai, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Riau, bisa dijadikan model, dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan. Persoalan selanjutnya memang harus dikembangkan terkait agribisnisnya yang harus mendapat penanganan dengan serius juga menyangkut pemasaranya.

"Untuk meningkatkan ketahanan pangan, ini bisa menjadi model, dan tidak ada asalan sulitnya mengembangkan tanaman padi apalagi bantuan sarana produksi pertanian itu sudah banyak dari Pemerintah dan UNRI sudah membangun kanal bloking," katanya.

Ia memandang bahwa dari kondisi lahan, pengalihan fungsi lahan dari sawit ke padi ini sudah sesuai, dan cocok, tinggal lagi upaya pengembangan pangan itu. Kalau dikembangkan dengan area yang luas juga perlu penanganan khusus, diantaranya penjualan padi menguntungkan dan harga jual terjamin, agar petani tidak rugi dan hindari sehingga ke depan perlu kerja bersama-sama.

Kurangi Ketergantungan

Kendati masih mendatangkan pasokan beras dari daerah lain sudah menjadi salah satu solusi, Gusriani tetap menegaskan bahwa Riau harus tetap berusaha mengurangi ketergantungan dari daerah lain.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan (Distambun), Gusriani, juga mengatakan bahwa Distambun saat ini sedang berusaha untuk mempertahankan lahan-lahan pertanian yang masih ada.

"Kami berupaya dengan cara mengadakan sosialisasi serta mengintensifkan usaha tani tanaman padi dengan teknologi tepat guna supaya produksi perhektare meningkat yang akan memberikan efek pendapatan pada petani," kata Gusriani.

Terkait peningkatan produksi padi atau beras di Riau, Distambun melakukan upaya dan kegiatan khusus yaitu Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi Jagung dan Kedele (Upsus Pajale).

Strategi pertama Upsus Pajale adalah dengan Perluasan Areal Tanam (PAT) melalui kegiatan cetak sawah baru, rehabilitas sawah terlantar, optimalisasi lahan, pemanfaatan lahan tidur, serta menanam padi sebagai tanaman di sela perkebunan atau bukaan baru atau peremajaan.

Strategi kedua adalah meningkatkan produksi dengan introduksi teknologi baru serta peningkatan indeks petanaman.

Strategi ketiga adalah percepatan tanam dengan memberi bantuan alat dan mesin pertanian untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja serta meningkatkan mutu produk. Selain itu juga dengan memperbaiki sarana dan prasarana seperti jaringan irigasi dan jalan produksi.

Strategi keempat yaitu dengan mengamankan produksi dengan meningkatkan pengendalian hama dan penyakit tanaman, mitigasi iklim, dan memperkecil risiko dampak perubahan iklim.

Strategi kelima dengan menekan susut hasil dengan meningkatkan penanganan panen dan pasca panen yang baik dan benar. Diantaranya penentuan saat panen tepat waktu dan memberikan bantuan alsintan seperti power thresher, combine harvester, dryer, dan rice milling unit.

Walau demikian, Gusriani juga tetap mengakui bahwa saat ini di Riau memang mengalami defisit beras akibat kebutuhan yang lebih tinggi dari produksi. Namun, ia mengatakan ketersediaan di pasar tidak terjadi demikian.

Berdasarkan pengamatan Petugas Informasi Pasar Distambun, ketersediaan beras belum mengalami permasalahan karena beras masih tetap masuk ke Riau dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan dan sebagian beras tertentu dari Jawa.

Gusriani juga mengatakan bahwa Distambun melakukan koordinasi dengan pihak terkait seperti Bulog, Dinas Ketahanan Pangan, dan Dinas Perdagangan di samping upaya lain yang melibatkan para petani.

Upaya Distambun yang melibatkan para petani agar menanam padi pada setiap hari atau setiap bulan dan hasil penanaman tersebut akan dilaporkan setiap hari berupa Laporan Luas Tambah Tanam (LTT) mulai dari tingkat lapangan hingga ke pusat. LTT diharapkan dapat menambah luas panen dan produksi katanya.

Dengan adanya upaya-upaya tersebut, Gusriani mengatakan Pemerintah Provinsi Riau harus tetap optimis dalam meningkatkan ketahanan pangan.

Definisi ketahanan pangan sendiri adalah bahwa kemampuan suatu daerah dalam mencukupi ketersediaan pangannya baik melalui produksi sendiri dan didatangkan dari luar, namun demikian Riau harus tetap terus berusaha meningkatkan produksinya secara optimal dengan melakukan upaya lainnya agar menekan angka ketergantungan pada daerah lain.

Upaya tersebut selain meningkatkan produksi padi, Pemerintah Provinsi Riau juga harus berusaha menekan angka konsumsi beras dengan mengembangkan sumber pangan lokal dari tanaman sagu sebagai alternatif.

Lahan Produktif

Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan (Distambun) Provinsi Riau mencatat lahan potensial non-produktif di Riau mencapai 8.517 hektare. Lahan potensial seluas 8.517 hektare itu menjadi non-produktif karena tidak diusahakan atau tidak ada masyarakat yang mengelola, dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk mengelolanya karena membutuhkan anggaran yang cukup besar.

Menurut Gusrinai, lahan potensial non-produktif di Riau berasal dari lahan sawah irigasi yang tak ditanami dengan tanaman serta lahan sawah non-irigasi yang juga tidak ditanami apapun.

Akan tetapi, lahan potensial non-produktif juga bisa merupakan lahan bekas sawah dan lahan perkebunan komoditi selain padi seperti sayur-sayuran.

"Padahal penggarapan lahan potensial non-produktif ini bisa menjadi salah satu upaya meningkatkan produktifitas pertanian untuk memacu ketahanan pangan nasional, serta sebagai solusi untuk mengurangi lahan produktif yang kini belum dimanfaatkan maksimal," katanya.

Sementara itu alih fungsi lahan produktif ke penggunaan lain di Riau masih tinggi atau mencapai 2.500 hektare per tahun, juga terjadinya peningkatan produktivitas yang melandai yang disebabkan penurunan kesuburan pada lahan-lahan produktif.

Riau tidak boleh terlena dengan lahan produktif yang sudah ada karena faktor-faktor seperti pengalihfungsian lahan dan turunnya tingkat kesuburan tanah dapat menjadi penyebab lahan produktif tidak lagi memberikan jaminan mendukung ketahanan pangan.

"Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan marjinal dan lahan tidur yang mana selama ini lahan-lahan tersebut lebih sering diabaikan, padahal lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan," katanya.

Berdasar rekapitulasi luas baku lahan berdasar jenis lahan pada 2017, terjadi pengurangan lahan potensial non-produktif yang tidak ditanami apapun sebanyak 5.492 hektare (39,2 persen) dari 14.009 hektare yang terekap pada 2016 sehingga di Riau lahan potensial-non produktif menjadi 8.517 hektare pada tahun 2017.*

Baca juga: Riau dilematis hadapi ketahanan pangan (1) oleh frislidia

Baca juga: Kementan bakal cetak sawah 1.600 hektare di Kepulauan Riau

Pewarta: Frislidia dan Rina Safitri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018