Bahkan, gaji perangkat gampong rela dipotong demi membayar gaji guru-guru ini

Peristiwa gempa bumi diikuti gelombang tsunami pada akhir 2004, tak hanya merenggut nyawa warga di Aceh. Tetapi juga menghancurkan berbagai macam sarana, seperti infrastruktur bidang perekonomian, kesehatan, termasuk pendidikan.

Salah satunya di Gampong (Desa) Blang Krueng, yang merupakan salah satu dari total 604 desa di Aceh Besar. Terletak di kawasan pesisir pantai, tepatnya di Kecamatan Baitussalam yang dihuni oleh 646 kepala keluarga dengan 2.637 jiwa.

"Sewaktu tsunami terjadi, sekitar 300 warga meninggal dunia dari total 500 jiwa penduduk di tempat (desa) ini," ucap Keuchik (Kepala) Gampong Blang Krueng, Teuku Muslem.

Sepuluh tahun bencana tsunami berlalu atau tepatnya 2013, penduduk di gampong ini mengalami kesulitan baru, dan terus terulang setiap tahun ajaran baru. Yakni sulitnya mendapatkan bangku sekolah, akibat desa ini tidak memiliki satu gedung sekolah pun.

Pascatsunami terjadi, memang setiap anak-anak yang telah memasuki usia sekolah di Blang Krueng harus bersekolah di gampong tetangga, dan notabene berada di Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.

Tak jarang para orang tua si anak mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan, seperti penolakan dengan alasan kursi sekolah telah terpenuhi oleh anak-anak berasal dari ibu kota Provinsi Aceh tersebut.

Miris rasanya, sebab secara administratif Gampong Blang Krueng berbatasan langsung dengan dua perguruan tinggi yang merupakan kebanggaan bagi masyarakat di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala dan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

"Anak-anak kami, belum tentu lewat semua. Karena sekolah di gampong tetangga penuh. Laporan seperti itu selalu saya terima dari warga, hingga kita harus turun tangan agar diterima. Akhirnya, kami malu juga," ujar Muslem.

Sampai pihak Gampong Blang Krueng menggelar rapat melibatkan semua perangkat, termasuk Tuha Peut yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat, dan cerdik pandai untuk keluar dari keadaan ini.

"Sebagai solusi atas pemasalahan pendidikan, kami semua menyepakati didirikan pendidikan formal dan agama. Karena hal ini yang paling mendasar, dan sangat penting," kata Muslem.

Diambillah langkah untuk mendirikan dua sekolah sekaligus di bawah naungan gampong berbentuk yayasan, yakni Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Hafidzul Ilmi, dan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD-IT) Hafidzul Ilmi.

Terkumpul dana

Perubahan di desa berbatasan dengan "Serambi Mekkah", julukan bagi Banda Aceh itu tidak dilakukan dalam waktu singkat. Setelah ada niat mendirikan sekolah, maka tinggal pelaksanaannya saja. Apalagi perekonomian masyarakat setempat mayoritas hidup dari hasil pertanian, dan peternakan.

Sekretaris Tuha Peut Blang Krueng, Teuku Badlisyah yang merupakan anak muda, dan menjadi roda penggerak perubahan telah melakukan berbagai upaya supaya anak-anak desa setempat memperoleh pendidikan yang layak.

Termasuk dengan menggelar malam amal yang dibalut pentas seni, dan diisi oleh penampilan anak-anak Blang Krueng melalui kesenian lokal, sehingga masyarakat gampong sebagai penonton merasa gembira.

"Di tengah kegembiraan itu lah, baru kami umumkan penggalangan dana untuk membangun sekolah di gampong ini. Mereka yang hadir, ada yang memberi sumbangan Rp5.000 per orang. Bahkan ada seorang warga menyerahkan Rp7 juta pada malam itu juga, meski kondisi perekonomian kesehariannya cukup sederhana," katanya.

"Beberapa hari kemudian, baru terkumpul dana berjumlah Rp50 juta digunakan untuk melakukan renovasi aula gampong menjadi dua ruang kelas, dan bangunan Posyandu gampong diubah mejadi ruang taman kanak-kanak," ucap Badli.

Sedangkan bagi warga yang tidak memiliki kelebihan uang di dalam gotong-royong tersebut, lanjut dia, maka dengan suka rela mereka ikut bekerja memenuhi peralatan di dalam ruangan sekolah, seperti membuat meja, kursi, dan papan tulis.

Pemerintah gampong juga mengundang anak-anak muda yang telah memiliki gelar sarjana di wilayah setempat agar menyumbangkan ilmu mereka bagi anak didik di desa itu sendiri dengan mendapat gaji dari swadaya, dan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG/BUMDes) Blang Krueng.

"Bahkan, gaji perangkat gampong rela dipotong demi membayar gaji guru-guru ini. Seperti gaji saya setiap bulan Rp1,5 juta, dan Rp500 ribu di antaranya dipotong agar lancar dalam melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah baru ini," ucap Muslem.

Hingga kini terdapat 11 unit usaha dikelola oleh BUMG setempat, seperti bank sampah, rumah sewa, penggemukan sapi, toko dan depot air minum, sewa teratak dan peralatan pelaminan, kelola baitul mal, traktor tangan, kue keukarah, dan pangkalan gas elpiji, selain pengembangan pendidikan.

BUMDes ini memanfaatkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) atas berdirinya kedua perguruan tinggi, melalui staf pengajarnya dalam memberikan pemikiran konstruktif sebagai solusi di desa yang memiliki lima dusun ini.

Dana desa

Amanah Undang-undang No.6/2014 tentang Desa, pemerintah mulai merealisasikan dana desa tahun 2015 dalam rangka membangun perekonomian, lalu mengurangi kesenjangan, dan kemiskinan yang terjadi di tingkat desa.

Muslem mengaku, selama empat tahun terakhir dana desa yang telah dikucurkan pemerintah bagi gampongnya banyak terserap untuk membangun kedua sekolah tersebut.

"Pada 2015 kalau tak salah Rp550 juta lebih, seingat saya hingga Rp200 juta untuk beli lahan sekolah. Pada 2016 mencapai Rp700 juta yang cair, dan Rp400 juta di antaranya membangun permanen sekolah dua lantai," katanya.

"Tahun 2017 sekitar Rp600 juta yang digunakan beli tanah warga akibat perluasan sekolah menyedot Rp250 juta di antaranya, dan tahun 2018 sudah cair penuh. Bila tak salah Rp250 juta dari sekitar Rp600 juta pengembangan pendidikan gampong," ungkap dia.

Penduduk Blang Krueng tidak main-main dalam membangun sekolah yang pada awalnya bersumber dari swadaya, dan kini terbantu dengan kuncuran dana desa.

Hal ini bisa dilihat dari peraturan dasar harus dipenuhi sekolah, seperti jumlah murid setiap kelas tidak boleh lebih dari 30 orang, memiliki buku teks, fasilitas belajar yang memadai, dan kelengkapan sarana lain demi menunjang kenyamanan anak-anak dalam menyerap ilmu pelajaran.

"Tahun pertama setelah dibuka jumlah murid taman kanak-kanaknya mencapai 60 orang, dan sekolah dasar 67 siswa. Alhamdulillah, tertampung semua di dua ruang belajar," ucap Teuku Badlisyah.

Kini SD-IT Hafizul Ilmi telah memiliki total siswa/siswi 153 orang dengan tujuh ruang belajar, enam di antaranya permanen, dan satu masih terbuat dari papan berbentuk panggung. Setiap ruang kelas, cuma diisi oleh murid antara 20 hingga 25 orang.

Mereka yang belajar di sekolah ini tidak hanya dari Blang Krueng, tetapi berasal dari gampong-gampong lain di lima kecamatan termasuk Banda Aceh sendiri.

"Insya Allah, kami terima semua calon siswa/siwi. Tetapi hingga kini baik sekolah, dan juga gampong terus berjuang keras untuk pengadaan ruang. Itu, keperluan yang sangat urgen," ujar Kepala SD-IT Hafizul Ilmi, Artati SPdi.

"Karena tahun 2019, kami perlu dua ruangan lagi untuk penerimaan siswa/siswa baru. Semoga ada donatur yang mau membantu sekolah kami," jelasnya.

Sebab, ia menerangkan, ke-153 murid sekolah tersebut ditampung pada tujuh ruang belajar dengan rincian setiap kelas di bagi dua siswa/siwi dengan kedua ruang belajar, kecuali di kelas tiga yang menempati satu kelas yakni rumah panggung.

Ruangan guru hingga kini hanya satu dilengkapi satu meja bagi ke-17 guru untuk istirahat atau menggelar rapat, kemudian satu ruang kepala SD-IT berukuran 2 x 2,5 meter bisa melayani seorang tamu untuk duduk, dan perpustakaan mini 3 x 3 meter.

"Terpenting ruang belajar, dan mushalla untuk tempat shalat sudah ada," katanya.

Guru-guru SD-IT Hafizul Ilmi terkenal ikhlas dalam mengajar, karena mereka sedari awal rela bergaji dengan nominal Rp100 ribu per bulan bagi setiap tenaga pendidik. Namun kini, sudah di atas angka Rp700 ribu per bulan setiap guru.

"Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), baru tahun 2016 triwulan kedua kami dapat. Bagi saya yang penting guru ikhlas mengajar dengan memahami karakteristik anak luar biasa, berbagai macam tipe, dan menjadikan sekolah itu rumah kedua mereka," tutur Artati.

Sejak berdiri tahun 2014, mulai dari pembangunan gedung, keuangan untuk operasional, bahkan gaji kedua puluhan guru di kedua sekolah ini, sebagian besar dibantu oleh unit-unit usaha BUMG Blang Krueng.

Tapi sejak awal 2018, Yayasan Hafidzul Ilmi tunduk penuh di bawah BUMDes Blang Krueng sebagai unit baru bidang Pengembangan Pendidikan Gampong. Cita-citanya tidak hanya sampai berdirinya kedua sekolah, tetapi lahirnya SMP-IT, SMA-IT, dan bahkan Universitas Blang Krueng di desa ini.

Baca juga: Kemdikbud gunakan bahan-bahan lokal bangun kelas darurat Sulteng
Baca juga: Pemda bangun kelas darurat korban gempa Parigi

Pewarta: Muhammad Said
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018