Neurosains ini juga sudah banyak digunakan oleh perusahaan dalam dunia periklanan untuk memasarkan produk. Orang secara sadar ataupun tidak diarahkan untuk membeli suatu produk lewat informasi yang terus menerus dipaparkan..
Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat sebagai pemilih dalam kontestasi pemilihan presiden yang sudah lalu atau yang akan datang bisa jadi tidak menyadari bahwa dirinya telah diarahkan untuk memilih kandidat tertentu dengan cara sains bekerja.
Sains yang tidak memihak, bebas nilai, adalah ilmu yang memberikan kepastian bagaimana cara sesuatu bekerja. Termasuk pada bermacam sistem kerja otak manusia yang sangat bisa diperhitungkan lewat ilmu pengetahuan.
Neurosains adalah bidang ilmu yang mempelajari sistem saraf yang ada di otak manusia. Dengan meneliti dan mempelajari berbagai macam sistem yang ada di otak itu pula, perilaku seseorang atau bahkan perilaku masyarakat dapat dimanipulasi.
Ahli neurologi yang juga ilmuwan neurosains dr Roslan Yuni Hasan atau yang akrab disebut Ryu Hasan menyebut pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 adalah contoh pemanfaatan neurosains yang sukses diterapkan pada warga Amerika Serikat.
Donald Trump yang saat itu memenangkan pemilihan presiden melawan Hillary Clinton menggunakan jasa neuroscientist untuk memetakan sifat orang Amerika dan memanipulasinya dengan ilmu saraf agar bisa memilihnya pada pemilu.
Trump menggunakan sains dalam berkompetisi. Mulai dari mengambil sampel masyarakat dari tiap negara bagian, menelitinya hingga level kromosom, sampai memindai respon seseorang dari suatu tindakan atau informasi yang diberikan melalui perangkat MRI (magnetic resonance imaging) fungsional.
Dokter Ryu mengatakan penelitian ini hanya dilakukan dalam waktu enam minggu hingga akhirnya para neuroscientist mendapatkan "kode" dari sistem saraf otak manusia yang harus diaktifkan agar ia memilih Trump.
Ketika "kode" itu telah didapatkan, Trump tinggal membombardir publik dan media dengan pernyataan-pernyataan yang mengandung "kode" tersebut agar salah satu sistem saraf di otak sebagian masyarakat aktif dan memilihnya pada pemilihan presiden.
Namun sederhananya jika ingin melakukan manipulasi otak menggunakan neurosains secara fisik, tinggal memberikan seseorang obat kemudian orang tersebut pasti akan memilih kandidat tertentu dalam pemilihan.
Lalu bagaimana dengan strategi politik?
Strategi politik yang dilakukan oleh Trump itu pun berdasar pada ilmiah, yang bahkan berbasis klinis atau penelitian yang telah diujicobakan pada seseorang.
Dalam penelitian yang dikerjakan oleh para ilmuwan neurosains itu ditemukan bahwa pesan yang berisi ancaman lebih efektif dalam memengaruhi seseorang ketimbang pesan yang berisi harapan atau janji-janji manis.
Contoh sederhananya yang sering ditemui di kehidupan sehari-hari adalah pesan hoaks atau kabar bohong yang beredar di media sosial dan aplikasi pesan singkat.
Orang lebih banyak dan lebih mudah merespon dengan membagikan ulang pesan yang berisi ancaman atau untuk mencegah ancaman kepada orang lain ketimbang menanggapi pesan yang isinya solusi.
Hal lainnya yang paling digemari kebanyakan orang ialah irelevansi. Sesuatu yang tidak relevan lebih menarik perhatian manusia ketimbang hal-hal relevan.
Pohon mangga berbuah mengkudu di Probolinggo banyak menarik perhatian masyarakat dan beritanya banyak dilihat. Sinetron yang oleh sebagian orang dianggap tidak bermutu karena sangat tidak relevan dengan kehidupan nyata buktinya memiliki banyak penonton dengan rating tinggi.
Jadi selain berbicara hal yang berisi ancaman, berbicara hal-hal tidak relevan seperti membandingkan tempe dengan kartu ATM pasti akan lebih banyak mendapat perhatian publik.
Seperti Trump yang pernah mengatakan dirinya bisa menembak seseorang di Fifth Avenue New York dan tidak akan kehilangan pemilih, atau Trump yang memboikot media CNN sehingga banyak diberitakan oleh media.
Itulah yang sebenarnya diinginkan dan memang sudah direncanakan. Agar Trump mendapatkan popularitas di media karena sikap kontroversialnya. Walaupun popularitas itu negatif, dia tetap makin dikenal.
Kubu Hillary Clinton pada saat itu sangat percaya diri yang beranggapan seseorang seperti Trump dengan ucapan-ucapan anehnya tidak mungkin dipilih. Namun nyatanya, Trump tetap menang berkat ilmu pengetahuan.
Neurosains ini pula yang ditiru oleh Presiden Brasil terpilih Jair Bolsonaro yang memenangkan kompetisi pemilihan presiden pada 28 Oktober lalu. Bolsonaro juga kerap melontarkan ucapan kontroversial yang melecehkan perempuan, rasis pada kaum afro, menolak PBB karena dianggap komunis, bahkan terang-terangan mengatakan dirinya pro kekerasan.
Dan hasilnya, Bolsonaro berhasil mencicipi kemenangan seperti Trump. Kendati pun empat bulan sebelum pemilihan orang-orang Brasil mengelak bahwa neurosains tidak akan berlaku di negaranya karena warga Amerika berbeda dengan Brasil.
Kenapa bisa sama?
Yang membuat sistem neurosains ini sukses di Amerika dan Brasil ialah kesamaan masyarakat yang begitu religius. "Yang satu Katolik banget, yang satu Evangelis banget. Sama dengan di Indonesia, Islam banget," kata Ryu.
Masyarakat yang religius, kata Ryu, merupakan kalangan masyarakat yang paling mudah dimanipulasi dengan menggunakan neuorosains.
Apa sebabnya? Ialah karena masyarakat religius sangat percaya pada konsep reward and punishment. Walau entah imbalan dan hukuman itu benar-benar ada atau tidak, tetapi masyarakat religius sangat mempercayai konsepnya.
Selain itu religiusitas sendiri memperkuat ikatan kelompok. Ikatan itu jauh lebih kuat dadipada masyarakat yang tidak religius. "Ketika pemimpinnya bilang A, ikut semua," kata dia.
Neurosains ini juga sudah banyak digunakan oleh perusahaan dalam dunia periklanan untuk memasarkan produk. Orang secara sadar ataupun tidak diarahkan untuk membeli suatu produk lewat informasi yang terus menerus dipaparkan.
Ryu tidak bisa membuktikan apakah kontestasi politik di Indonesia, salah satu pasangan capres-cawapres menggunakan neurosains karena harus dibuktikan melalui penelitian.
Namun yang pasti religiusitas masyarakat Indonesia sama persis dengan warga Amerika dan Brasil. Ryu juga melihat pola-pola yang muncul saat ini di Indonesia ada kecenderungan seperti yang dilakukan oleh Trump dan Bolsonaro.
Ada narasi kampanye yang berisikan ancaman, irelevansi, popularitas negatif dengan kebodohan dan kebohongan yang banyak dibicarakan di media sosial maupun media massa. Yang secara tidak sadar juga, masyarakat yang terus membicarakannya tengah membangun popularitas salah satu pasangan calon kandidat dan akan termanipulasi untuk memilihnya.
Lalu jika sebegitu hebatnya neurosains, bukankah lebih bijak menggunakan ilmu pengetahuan itu untuk pembangunan manusia Indonesia yang lebih berkualitas lewat manipulasi sistem otak?
Tentu sangat mungkin. Dokter Ryu Hasan menjelaskan neurosains ini akan efektif diberikan dalam bentuk pelatihan untuk individu, sementara untuk secara kolektif dan jangka panjang harus melalui sistem pendidikan.
Untuk mengubah kultur masyarakat Indonesia menjadi lebih disiplin, lebih tertib, inovatif dan sebagainya memerlukan sistem dan pendidikan yang harus secara ketat dijalankan. Sehingga nantinya kultur buruk masyarakat akan luntur menjadi sistem, dan sistem itu sendiri yang akan menjadi kultur masyarakat.
Akan tetapi untuk mengubah atau meningkatkan kualitas manusia Indonesia menjadi lebih baik tetap membutuhkan waktu yang tidak singkat.
"Kalau kita bicara mengubah kultur masyarakat, jangan terburu-buru, kita bicara tentang dua generasi," kata dia.
Baca juga: Pakar melihat salah satu capres-cawapres di Indonesia gunakan pola Trump dan Bolsonaro
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018