Batam (ANTARA News) - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kepulauan Riau (Kepri), Hendriyanto mengatakan dari 14 radio siaran swasta di Batam KPID menemukan lima radio menjual jam siaran kepada lembaga agama tertentu di Singapura untuk menyiarkan ceramah agama dalam bahasa asing. "Kisaran harga per jam sebesar 60 - 100 dolar Singapura, setiap radio tersebut menyiarkan minimal tiga jam dalam dalam bentuk bahasa Mandarin dan Inggris," katanya, di Batam, Kamis. Ia mengatakan, temuan beberapa radio swasta yang menjual jam siaran kepada lembaga agama tertentu dari Singapura, dan KPID meminta pemerintah menertibkan kegiatan serta mendesak agar mengatur secara spesifik tentang penyiaran di daerah perbatasan seperti di Kepulauan Riau. "Ada siaran agama Konghucu, Kristen dan lainnya. Bentuk penyampaian pun beragam baik dalam bahasa Inggris atau mandarin, sementara di Singapura tidak diperbolehkan konten siaran tentang agama makanya radio di Batam dimanfaakan untuk itu," katanya. Menurut Hendriyanto, berdasarkan Undang-Undang No 32/2002 Tentang Penyiaran tidak dibenarkan menjual jam siaran secara leluasa kepada pihak lain, apalagi kepada pihak asing. Jam siaran dapat berisikan tentang kegiatan suatu pihak dengan melibatkan pengelola radio dalam mengisi siaran tersebut. "Jual jam siaran kepada asing itu sangat merendahkan martabat. Seperti menjual wilayah kita kepada mereka. Frekuensi merupakan ranah publik. Siaran agam bertujuan baik, tetapi ada aturan untuk itu," kata nya. Ia mengatakan, pemerintah harus merevisi kembali UU No 32/2002 Tentang Penyiaran yang memperbolehkan konten siaran dalam bahasa asing bagi radio siaran swasta. Selain itu, pihaknya meminta aturan tersebut harus diberi pengecualian kepada radio-radio yang berlokasi di daerah perbatasan seperti Batam, Tanjung Pinang dan beberapa wilayah di Kepri, sebab, siaran radio di Kepri dapat diterima di Singapura dan Malaysia , dan begitu pula sebaliknya. "Kami akan menertibkan jam siaran radio yang menyebarkan agama itu dari pihak asing. Sanksi berdasarkan UU No 32/2002 hanya menegur secara tertulis. Tidak ada sanksi pidana atau denda," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007