Jakarta (ANTARA News) - Beragam kisah dan romantika kehidupan guru mengemuka dalam beberapa hari terakhir. Ada sedih, prihatin dan tak sedikit pula kisah-kisah yang memilukan.

Kisahnya beragam. Dari persoalan kesejahteraan guru honorer, kenakalan peserta didik atau murid, hubungan dengan wali murid, persoalan hukum yang menjerat siswa hingga persoalan yang menjerat guru.

Salah satunya adalah kisah kehidupan guru di Nusa Tenggara Barat (NTB) bernama Baiq Nuril. Pembelaan berbagai pihak kepada Nuril akhirnya membuahkan hasil dengan ditundanya eksekusi hukuman yang semestinya dijalani selama enam bulan.

Kisah Nuril dan beragam fakta terkait guru lainnya terasa aktual dalam beberapa hari terakhir. Kisah-kisah itu terasa dekat di publik berkenaan dengan Hari Guru yang diperingati setiap 25 November.

Hari Guru Nasional tersebut ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.

Hari-hari ini beragam pendapat disampaikan sejumlah pihak terkait masalah guru. Intinya adalah profesi guru harus mendapatkan perhatian dari beragam sisi, baik kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan sarana pengajaran hingga perlindungan hukum.

Kepastian nasib atau status kepegawaian juga mencuat. Bayangkan, jutaan guru telah bertahun-tahun mengajar masih berstatus honorer. Mereka tersebar di seluruh wilayah Indonesia; dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Namun mereka tidak serta merta bisa menjadi PNS dengan mengikuti seleksi Calon PNS karena adanya persyaratan-persyaratan yang belum tentu bisa dipenuhi.

Dari sisi kesejahteraan, kisah mereka sudah banyak yang disampaikan ke publik. Dengan statusnya sebagai pegawai honorer, tingkat kesejahteraan mereka sangat tergantung kepada kemampuan keuangan pemerintah daerah.

Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, misalnya, hanya mampu memberi gaji guru honorer sebesar Rp200 ribu per bulan. Angka itu masih jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) Garut sebesar Rp1,6 juta per bulan.

Memang Rp200 ribu tidak cukup, tapi itu kemampuan uang APBD Garut, kata Bupati Garut Rudy Gunawan di sela-sela aksi massa guru honorer di Gedung DPRD Garut, Selasa (16/9/2018).

Pemerintah Kabupaten Garut hanya mampu mengalokasikan anggaran sebesar Rp16 miliar untuk mengupah guru honorer di Garut. Anggaran yang diberikan Pemkab Garut untuk guru itu lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mendapatkan Rp100 ribu per bulan.

Dana yang dialokasikan untuk guru honorer itu sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah kepada guru. Apapapun statusnya, keberadaan guru honorer memiliki peran penting dalam membangun pendidikan anak bangsa di Garut.

Kisah guru honorer di Garut itu hanya sekelumit dari beragam nasib guru lainnya yang masih menanti kepastian masa depannya dalam menjalani profesinya sebagai pendidik. Kisah lainnya masih banyak; dari yang dibayar seikhlasnya hingga dibayar dengan hasil kebun.

Baca juga: Gaji guru pengganti akan setara UMR

Komoditas Politik
Persoalan ini yang menjadi sorotan anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah. Dia menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan guru.

Intinya adalah perbaikan nasib guru. Perbaikan nasib guru memiliki dua aspek, yakni aspek peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kapasitas.

Anang merinci, persoalan kesejahteraan guru masih menjadi masalah krusial khususnya bagi guru berstatus swasta dan honorer.

Persoalan guru honorer akan menjadi gunung es untuk waktu panjang sehingga negara harus memiliki tekad kuat untuk menyelesaikan masalah ini.

Saat ini, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah guru honorer se-Indonesia sebanyak 1,5 juta orang. Mereka terdiri atas guru bukan PNS di sekolah negeri 735 ribu dan guru bukan PNS di sekolah swasta 790 ribu.

Guru honorer tersebut berstatus K2 alias honorer. Mereka selayaknya bisa diberi peluang prioritas mengikuti tes CPNS agar menjadi pegawai negeri. Hal itu mengingat pengabdian dan jasa yang telah diberikan selama ini.

Kata Anang, guru honorer itu harus dicarikan rumusan agar nasib mereka terjamin. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas nasib mereka.

Masalah berikutnya, musisi asal Jember ini menyebutkan, peningkatan kapasitas guru juga harus merata baik di kota dan desa. Peningkatan kapasitas guru ini sebagai wujud tuntutan zaman yang menuntut guru kreatif dan inovatif.

Pemerintah harus memastikan kapasitas guru meningkat. Karena peningkatan SDM guru akan menghasilkan anak didik yang berkualitas.

Di tengah momentum tahun politik ini, Anang pun mengingatkan agar guru tidak dijadikan komoditas politik elit politik. Janji-janji politik terhadap guru kerap muncul setiap momentum politik seperti pemilu.

Kata dia, jangan menyeret profesi guru dalam urusan politik praktis berjangka pendek. Muliakan para guru dengan menghadirkan kebijakan yang pro kepada mereka dan bukan dijadikan objek politik.

Bagi anggota DPD RI Fahira Idris ada beberapa persoalan yang masih menggelayuti dunia pendidikan di Indonesia. Persoalan itu terkait peran dan fungsi guru.

Walau sudah 73 tahun merdeka, kata senator dari DKI Jakarta itu, bangsa ini masih dibayangi berbagai persoalan di bidang pendidikan, salah satunya terkait guru.

Setidaknya hingga detik ini ada tiga persoalan utama yang menjadi tantangan guru yang merupakan pilar penting kemajuan pendidikan nasional.

Ketiga persoalan utama yang masih membayangi kemajuan guru di Indonesia adalah masih rendahnya kesejahteraan guru, kesenjangan kualitas dan kompetensi guru serta persebaran dan kesenjangan rasio guru dan murid yang masih belum ideal.

Ketiga, persoalan ini ibarat segitiga yang saling terkait. Karena itu, formulasi solusi atas ketiganya juga harus bergerak bersama.

Bagi dia, segitiga persoalan guru ini menjadi tantangan yang justru harus dipecahkan para capres/cawapres dalam visi-misi dan program mereka di bidang pendidikan.

Baca juga: Pemerintahan Jokowi upayakan terus peningkatan kualitas guru

Persoalan Klasik
Soal kesejahteraan guru terutama guru honorer menjadi persoalan klasik yang tidak kunjung mendapatkan solusi komprehensif karena alasan yang juga klasik, yaitu kemampuan keuangan negara. Para capres harus punya formulasi memecahkan persoalan ini.

Misalnya, keberanian untuk merealisasikan 20 persen APBN murni hanya untuk pendidikan dan kesejahteraan guru. Apalagi selama ini anggaran pendidikan juga tersebar untuk 17 kementerian dan lembaga.

Kesenjangan kualitas dan kompetensi guru yang belum merata juga harus segera diretas. Ada daerah yang kompetensi pedagogis, kepribadian dan kompetensi sosial gurunya secara umum sangat baik.

Namun di daerah lain terutama di daerah terpencil dan terluar sangat belum memadai. Jika kesenjangan ini terus menganga akan menjadi bencana bagi dunia pendidikan.

Padahal guru-guru di daerah terpencil dan terluar inilah yang harus mendapat prioritas berbagai pelatihan peningkatan kompetensi dan kesempatan melanjutkan pendidikan dari pemerintah. Hal itu karena tantangan mereka lebih berat.

Persoalan lain yang juga cukup serius adalah persebaran dan kesenjangan rasio guru dan murid. Menurut Fahira, terdapat dua persoalan mendasar terkait hal ini, yaitu pertama perekrutan guru yang tidak sesuai dengan jumlah pendaftaran murid di segala tingkat pendidikan.

Kedua, distribusi guru yang belum merata. Terjadi surplus jumlah guru di kota-kota besar, sementara di daerah tertentu terutama di desa-desa, daerah terpencil dan terluar justru mengalami defisit guru yang cukup serius.

Akibatnya, rasio antara jumlah guru dan murid di Indonesia tidak pernah ideal.

Itulah sebabnya capres/cawapres harus mempunyai terobosan terkait ini. Salah satunya, berani menerbitkan kebijakan penarikan kewenangan pengelolaan guru ke Pemerintah Pusat, sementara daerah hanya administratif saja sehingga tidak ada lagi daerah yang kekurangan dan kelebihan guru.

Harapan adanya langkah-langkah nyata dan berkelanjutan disandarkan kepada pemerintah agar dunia pendidikan, baik guru, murid serta kualitas hasil proses pendidikan semakin berkualitas.

Siapapun orang di negeri ini pasti mengakui jasa guru-gurunya. Betapapun proses pendidikan di Indonesia masih banyak menghadapi kendala dan tantangan, tetapi diyakini hal itu terus menjadi perhatian serius.

Presiden Joko Widodo, misalnya, mengatakan bahwa guru adalah sosok yang selalu membangkitkan inspirasi dan penuh pengabdian kepada para murid dan dunia pendidikan. Tugas para guru yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada para anak didik layak mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang besar.

"Guru adalah pembangkit inspirasi, memberikan ilmu kepada kita, membimbing anak-anak kita, membimbing kita semua agar kita bisa meningkatkan kualitas sumber daya yang ada," kata Presiden.

Presiden Jokowi tidak mengelak betapa besar peran guru sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Tanah Air.

Pengakuan peran itu tentu saja mewakili pengakuan publik seperti yang banyak beredar di media sosial bahwa guru memang bukan orang hebat, tetapi semua orang hebat adalah berkat jasa guru.
Baca juga: Guru Honorer Lakukan Uji Materi Peraturan Menpan RB
Baca juga: Pemetaan kebutuhan guru dilakukan lagi

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018