Ribuan warga di sekitar Pura Lingsar yang berada Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sejak Kamis (22/11) sudah memenuhi areal tempat peribadatan tersebut.

Sejak dari pintu masuk di gapura, sulit untuk melangkahkan kaki bercampur baur antara umat Hindu yang akan melakukan ibadah di Pura Gaduh yang di bagian atas atau sebelah utara pura itu, sedangkan umat Islam akan mengikuti prosesi Perang Topat di bangunan yang dikeramatkan orang Sasak, Kemaliq.

Bangunan Kemaliq itu berada di bawah Pura Gaduh atau sisi selatannya. Pura Lingsar sendiri didirikan oleh Raja Anak Agung Ngurah dari Kerajaan Karang Asem, Bali yang memerintah di sebelah barat Tanah Lombok sehingga kesan keharmonisan antara dua beragama, sangat kental terasa pada acara perang topat.

Perang topat itu sendiri bisa diartikan adalah perang ketupat. Topat dalam bahasa Sasak adalah ketupat, namun jangan salah ketupat di sini berukuran sebesar telur ayam berbeda halnya dengan ketupat yang menjadi penganan wajib pada Hari Raya Idul Fitri.

Ribuan ketupat itu nantinya akan digunakan sebagai senjata Perang Topat yang juga melibatkan umat Islam dan Hindu setelah melakukan ritual di bangunan Kemaliq dengan mendoakan hasil bumi itu.

"Ketupat itu simbol kesuburan karena memiliki makna beras berasal dari padi, padi ditanam di sawah. Sehingga beras itu harus ditanam kembali di sawah," kata pemangku adat Sasak di sekitar Pura Lingsar, Suparman Taufik (81) yang merupakan generasi kesembilan yang mengikuti kegiatan tahunan itu.

Dari cerita leluhurnya itu, kata dia, dahulunya tanah di daerah Pura Lingsar tandus sehingga wali penyebar Islam di sana memukulkan tongkat di atasnya dan mengalirlah air. Saat ini bisa dikatakan, daerah Lingsar itu subur, kata Lingsar sendiri sesuai bahasa Sasak, yakni, Ling adalah suara dan Sar bermakna Air, jadi lingsar itu berarti suara air.

Simbol kesuburan juga terlihat saat awal melakukan prosesi adat itu, saat arak-arakkan menuju bangunan Kemaliq untuk didoakan, seperti adanya rombong atau lumbung kecil, sesaji, kebun odek atau kebun mini, lamak, momot, kerbau dan ketupat.

Rombong itu, isinya beras ketan yang memiliki makna sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan sosial, sesaji dengan delapan dulang berisikan nasi sebagai lambang kesuburan alam dan kemakmuran rakyat.

Kebun odek terbuat dari buah kelapa hijau yang sudah tua yang dipangkas ujungnya sampai rata kemudian di atas daging kelapa ini ditancap sembilan batang bambu yang panjangnya 20 centimeter dan 30 centimeter dan ditancapkan secara berselang-seling.

Hal ini melambangkan kesuburan kebun atau tanah yang dipenuhi dengan batang pohon yang lebat dan hijau untuk kemakmuran rakyat, di dalam kebon odek ini terdapat berbagai macam buah-buahan sebagai tanda kesuburan.

Lamak atau alas yaitu tikar dari pandan. Tikar ini digulung dan didalamnya diletakkan sajadah serta alat-alat shalat untuk lelaki dan perempuan seperti sarung, baju koko, peci, rukuh dan mukenah.

Di atas gulungan tikar tersebut diletakkan kitab suci Al Quran yang ditempatkan pada "sogan-sogan" yaitu peti yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat tertutup. Hal ini mengandung makna mengingatkan umat Islam agar tidak lupa menjalankan ibadah shalat lima waktu dalam sehari semalam.

Momot yaitu sebuah botol berukuran kurang lebih satu liter dalam keadaan kosong ditutup rapat, disegel dan dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan kuat. Hal ini melambangkan kehidupan yang kekal di alam akhirat.

Kelengkapan keenam yakni kerbau yang dipergunakan ketika napak tilas mengelilingi pura. Ini melambangkan bekal yang dibawa oleh Syekh Kiai H Abdul Malik sewaktu berdakwah di daerah Lingsar dan sekitarnya. Kemudian kerbau ini disembelih untuk dimakan bersama peserta napak tilas dari suku Sasak dan masyarakat Hindu.

Terakhir adalah ketupat yang digunakan warga untuk saling lempar. Jumlah ketupat mencapai ribuan dan jumlah ini harus kelipatan angka sembilan yang melambangkan angka keramat dan menunjukkan Walisongo yang berjumlah sembilan orang.

Sebelumnya ribuan umat Islam dan Hindu menggelar prosesi upacara puja wali di masing-masing tempat ibadahnya, Pura Gaduh dan Kemaliq. Setelah itu, kemudian para pria dan wanita atau remaja membawa hasil bumi yang sudah didoakan di Kemaliq sembari diiringi alat musik Sasak seperti Kendang Beleq. Sehingga tiba saatnya saling melemparkan ketupat.

"Dalam prosesi di bangunan Kemaliq, ketupat dibacakan shalawat nabi juga," katanya.

Acara perang ketupat digelar pada setiap bulan purnama ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak, biasanya pada November dan Desember. Perang ketupat mulai digelar pada sore hari menjelang Maghrib. Sedangkan prosesinya sudah dimulai selepas Shalat Ashar.

"Kenapa acara digelar selepas Shalat Ashar, maknanya itu kegiatan jangan sampai mengganggu ibadah lima waktu," kata Suparman pensiunan TNI bercucu 7 dan cicit 2 itu.


TRADISI PERANG TOPAT LINGSAR Sejumlah warga membawa dulang sesaji saat mengikuti tradisi perang topat di Pura Lingsar, Lombok Barat, NTB, Kamis (22/11/2018). Tradisi yang dilaksanakan setahun sekali tersebut merupakan tradisi warga setempat untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah serta untuk memohon kesuburan lahan pertanian.ANTARA FOTO/Hero/AS/hp.


Mendamaikan pertikaian

Perang ketupat yang dipercaya sudah dimulai sejak tahun 1700-an itu, bermula dari warga Sasak yang sering bertikai sesama kerajaan.

Zaman dahulu itu, ada wali penyebar Islam memiliki tiga anak, Raden Mas Abdul Malik (Pemban Pengerakse Jagat), Raden Mas Abdul Rauf (Pengiring Pemban) dan Hajjah Raden Ayu Dewi (Pengiring Pengabeh Pemban).

Ketiga bersaudara itu kemudian menyebarkan agama Islam di tanah Lombok, di antaranya Raden Ayu Anjani untuk wilayah Sembalun atau di Gunung Rinjani.

"Namun sesama kerajaan Islam saat itu memiliki ego jauh sebelum kedatangan Kerajaan Karang Asem ke Lombok," katanya.

Sehingga untuk mengganti peperangan yang terjadi sesama kerajaan di tanah Lombok itu, digelarlah perang ketupat itu sebagai simbol perdamaian dan tidak mengedepankan hawa nafsu. Dan kegiatan itu terus berlangsung sampai sekarang, perang topat itu tidak ada istilah dendam antara sesama pihak.

Kemudian saat Raja Anak Agung Ngurah dari Kerajaan Karang Asem, Bali, dibangunlah Pura Lingsar, dan dia berjanji akan mendirikan pura dan masjid di satu lokasi, yakni Pura Gaduh dan bangunan Kemaliq.

Tempat wudhu di pura lingsar baik pria dan wanita, masing-masing memiliki sembilan pancuran yang menyimbolkan sembilan wali atau wali songo.

Sementara itu, Bupati Lombok Barat H. Fauzan Khalid, mengatakan tradisi "Perang Topat" merupakan bentuk pluralisme karena rangkaian acaranya melibatkan dua umat berbeda agama, yakni Islam dan Hindu.

Gambaran keharmonisan umat beragama tersebut terlihat pada ritual mengarak kerbau. Masing-masing tokoh agama memegang tali kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar.

"Kenapa bukan sapi atau babi yang diarak, karena kerbau sebagai simbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu. Alangkah indahnya kenyataan yang dibungkus dengan kesadaran total bahwa kita semua mahluk Allah SWT (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk merajut persaudaraan dan perdamaian," katanya.

Ia berharap apa yang dilakukan oleh warga Kabupaten Lombok Barat tersebut bisa dijadikan sebagai contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga komitmen warga negara yang sudah menyepakati Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap kokoh dan milik bersama demi menyongsong masa depan yang lebih baik.

Fauzan juga meminta Dinas Pariwisata Lombok Barat untuk agar mendiskusikan dengan seluruh pemangku adat supaya tanggal penyelenggaraan tradisi "Perang Topat" sudah bisa dipastikan satu tahun sebelumnya.

"Itu pekerjaan rumah bagi kita semua, termasuk saya. Perlu dibangun kesepakatan antara pemerintah daerah dan tokoh adat, terutama masyarakat yang tinggal di taman Pura Lingsar," katanya.*

Pewarta: Riza Fahriza dan Awaludin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018