Setelah beberapa puluh meter membawa gerobak dari gudang makanan itu, pria berusia sekitar 50 tahun tersebut membongkar muatannya dan memindahkan ke sebuah bangunan mirip altar terbuat dari papan ulin.
Ternyata bangunan bertiang sekitar empat meter dari permukaan tanah itu adalah meja makan bagi Bekantan atau Nasalis larvatus.
Setelah menanti hampir 10 menit terdengar suara teriakan komunikasi di antara satwa langka jenis primata berhidung panjang itu.
Tidak lama terdengar teriakan tersebut, terdengar suara dahan, ranting, dan daun bergoyang serta kelebatan primata berbulu cokelat kemerahan itu.
Ukurannya bervariasi karena sebagian tergolong masih anak-anak namun yang terbesar seukuran anak usia 10 tahun.
Beberapa menit berlalu, satwa langka dengan habitat utama di mongrove dan bisa berenang menyeberang pulau itu.
Ternyata yang duluan datang dan merampok makanan Bekantan itu adalah belasan monyet ekor panjang.
Badriansyah, sang penjaga bertugas memberi makan di Kawasan Konsevasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Tarakan, Kalimantan Utara itu, segera mencari kayu dan menghalau monyet pengacau tersebut.
Ternyata tidak mudah, karena beberapa monyet ekor panjang yang bertubuh besar tetap bandel bahkan tidak takut saat diteriaki, namun setelah dilempar dengan kayu beberapa kali barulah mereka pergi
Tidak lama monyet ekor panjang pergi, dari balik kerimbunan mangrove keluar seekor pejantan bekantan bertubuh besar dan hidungnya paling panjang.
Kemudian menyusul bekantan yang menjadi rakyatnya, beberapa bekantan betina, bekantan muda, anak-anak, dan bayi.
Kelompok penguasa ini dipimpin oleh John, seekor bekantan paling besar dan tentu menjadi raja, ia harus paling kuat berkelahi.
Sebagai penguasa maka kelompoknya yang terlebih dahulu menikmati makanan mewah (pisang) itu, sedangkan kelompok lain yang dipimpin Michael, masih bersembunyi.
Mengintimidasi
Beberapa kali tampak John berlari ke pinggir altar dengan sikap mengintimidasi --menyeringai serta berteriak marah-- karena kelompok Michael rupanya tidak sabar menanti gilirannya makan.
Setelah beberapa kali bersendawa seperti manusia kekeyangan, John bersama rakyatnya sekitar 30-an ekor pergi dan dari balik mangrove, Michael bersama kelompoknya langsung menyerbu sisa pisang.
Data KKMB, populasi bekantan di kawasan konservasi seluas 22 hektare yang dibangun sejak 2001 itu, mencapai 59 ekor yang terbagi atas kelompok John dan Michael.
Bekantan tersebar dan endemik di hutan bakau, rawa, dan hutan pantai di Pulau Borneo (Kalimantan, Sabah, Serawak, dan Brunei).
Bekantan menghabiskan sebagian waktunya di atas pohon dan hidup dalam kelompok-kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 32 ekor.
Sistem kerajaan (sosial) bekantan pada dasarnya adalah "one-male group", yaitu satu kelompok terdiri atas satu jantan dewasa, beberapa betina dewasa, dan anak-anaknya.
Selain itu, terdapat kelompok "all-male", yang terdiri atas beberapa bekantan jantan.
Jantan yang menginjak remaja akan keluar dari kelompok "one-male" dan bergabung dengan kelompok "all-male".
Hal itu dimungkinkan sebagai strategi bekantan untuk menghindari terjadinya "pertumpahan darah".
Suplemen
Pemberian pisang sesungguhnya hanya makanan suplemen. Selain itu, bertujuan agar bekantan tidak liar atau keluar dari kawasan konservasi di tengah kota itu.
Tanpa pisang, bekantan tetap tidak kekurangan pakan selama hutan mangrove terjaga karena makanan utama sesungguhnya adalah pucuk daun serta buah pohon bakau.
Kawasan yang menjadi objek wanawisata pesisir itu dilengkapi dengan gazebo, jembatan ulin keliling, serta sebagian sudah dibangun jembatan permanen dari beton.
Dengan menyelusuri jembatan itu jika beruntung bisa melihat biawak dan berbagai jenis burung laut atau yang habitatnya di pohon bakau.
KKMB memiliki potensi besar untuk menjadi obyek wisata andalan karena letaknya yang sangat mudah dijangkau.
Objek wanawisata pesisir itu terletak di Jalan Gajahmada, hanya butuh sekitar 10 menit dari Hotel Segiri atau sekitar 20 menit jalan kaki dari Swiss-Belhotel Tarakan.
Any, salah seorang mahasiswi di Tarakan, mengaku bangga dengan wanawisata mangrove dan bekantan karena justru dikenal di dunia, terbukti banyak tamu dari berbagai negara yang sudah berkunjung ke tempat itu.
Ia juga menyarankan agar berbagai fasilitas di objek itu ditambah, misalnya tiolet, tempat sampah, halaman parkir, serta layanan Wifi.
Selain itu, jika menyelusuri semua jembatan ulin yang mengelilingi kawasan konservasi, sebagian sudah lapuk serta sejumlah titik tidak meniliki papan lagi.
Selain licin, kondisi papan yang lapuk dan bolong-bolong itu membahayakan bagi pengunjung. Harga tiket masuk kawasan itu masih cukup murah, yakni Rp5.000 per orang.
Beberapa anak kecil tampak mendapat peringatan dari orang tuanya karena terpeleset saat lari-lari di jembatan ulin yang licin dan lembab, karena cahaya matahari terhalang rimbunnya dedaunan mangrove.
Bagi wisatawan mancanegara, selain keindahan alam yang asli, sudah tentu masalah kenyamanan dan keamanan menjadi rekomendasi mereka untuk wanawisata pesisir Kaltara itu.
Baca juga: Ini jumlah bekantan di Tanah Laut
Baca juga: Merestorasi rambai untuk bekantan Pulau Curiak
Pewarta: Iskandar Zulkarnaen
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018