Kulon Progo (ANTARA News) - Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggunakan media coklat untuk mengajak pemilih Pemilu 2019 tidak terbujuk rayu politik uang.
"Kami membagijan coklat kepada masyarakat dan sejumlah peserta sosialisasi pengawasan Pemilu 2019 supaya cerdas dan tidak terbujuk rayu politik uang," kata Koordinator Divisi Hukum, Sengketa dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kulon Progo Panggih Widodo di Kulon Progo, Rabu.
Ia mengatakan media coklat ini tidak ada hubungan dengan pemilu. Tapi filosofi dari sebatang coklat sangatlah mendalam. Yakni, jangan terima yang manis-manis saja, yang pahit juga perlu.
"Demikian pula seperti rasa yang kita temukan, saat mengudap coklat. Coklat kami bagikan sebagai pengingat," katanya.
Panggih mengatakan coklat yang dibagikam merupakan produk lokal buatan pelaku UMKM. Sehingga diharapkan ada semangat membangun daerah bagi pemenang Pemilu 2019.
"Selain menjadi media pendukung dalam sosialisasi pencegahan politik uang, kamo berharap, kerjasama antara UMKM dan Bawaslu ini, turut membantu mempopulerkan produk Kulon Progo," katanya.
Ketua Bawaslu Kulon Progo Ria Harlinawati mengatakan Bawaslu memetakan bawah 81 dari 88 desa/kota di wilayah ini berpotensi praktik politik uang pada Pemilu 2019.
Ia mengatakan kerawanan pemilu paling besar terjadi di Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Wates, Panjatan dan Sentolo.
"Hampir seluruh desa di Kabupaten Kulon Progo berpotensi terjadi politik uang. Kami melalui panwaslu tingkat desa akan mengintensifkan dan melakukan pencegahan terjadinya politik uang," kata Ria Harlinawati.
Selain politik uang, lanjut Harlina, Bawaslu Kulon Progo juga memetakan potensi pelanggaran lain, yakni potensi rawan konflik di 63 desa; rawan politik sara di 34 desa; rendahnya profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu tingkat desa ada di 26 desa.
"Selanjutnya, kami memetakan terhadap minimnya netralitas pihak yang dilarang menunjukkan dukungannya secara langsung terhadap peserta pemilu terdapat di 64 desa," katanya.
Ia mengatakan setiap potensi pelanggaran memiliki indikator sehingga desa bisa dikatakan rawan. Misalnya, politik uang indikatornya berupa banyaknya jumlah caleg di desa yang bersangkutan, kultur pemilih pragmatis dan tingkat pendidikan serta ekonomi di masyarakat desa tersebut yang masih rendah sehingga berpotensi mempengaruhi masyarakat untuk terjebak dalam praktik seperi ini.
"Kami menentukan kerawanan politik ini juga menggunakan data temuan kasus dalam pemilu periode sebelumnya. Jadi kami dalam penentuan ini memang harus berdasarkan data dan pantauan langsung oleh panwaslu desa maupun kecamatan," katanya.
Baca juga: Bawaslu terima 13.945 laporan aduan daftar pemilih
Baca juga: Laporan ke Bawaslu soal gratisnya Suramadu dinilai cari popularitas
Pewarta: Sutarmi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018