Ada semacam suasana traumatik sehingga tidak langsung mudah beradaptasi, dan cenderung menyendiri, sehingga kami memberikan pendampingan secara khusus
Jakarta (ANTARA News) - Pondok Pesantren Sabilillah di Desa Cikareo, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, menampung santri yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan juga "trafficking" (perdagangan manusia).
"Ada santriwati di sini yang pernah menjadi korban kekerasan seksual dan hampir terjadi korban perdagangan manusia oleh keluarganya sendiri, namun Alhamdulillah berhasil diselamatkan dan kemudian kami tampung di pesantren ini," kata pimpinan Ponpes Sabilillah ustadz H Ahmad Kholik saat ditemui Antara di pesantren yang berada Jalan Raya Cileles Gunung Kencana Km.02, Kampung Cikareo RT01/RW03, Desa Cikareo, Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak, Rabu.
Ponpes Sabilillah bisa ditempuh lebih kurang tiga setengah jam dari kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang Selatan, Banten.
Didampingi istrinya ustadzah Siti Mujawaroh, ia mengemukakan bahwa di ponpes yang dikelola Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Sabilillah, dua santriwati itu, yang berasal dari keluarga tidak mampu dan yatim piatu diakui pada saat awal-awal belajar mengalami kondisi psikologis yang berbeda dengan sebayanya yang lain.
"Ada semacam suasana traumatik sehingga tidak langsung mudah beradaptasi, dan cenderung menyendiri, sehingga kami memberikan pendampingan secara khusus," kata ustadzah Siti Mujawaroh, yang dipanggil "Ummi" (ibu) oleh santriwati dan santri di Ponpes Sabilillah.
Pasangan ustadz-ustadzah itu, yang mengelola Ponpes Sabilillah dengan 140-an santri -- 50 orang di antaranya bermukim -- menjelaskan bahwa kini, salah satu di antara santriwati dimaksud, yang menjadi korban kekerasan seksual sudah dinikahkan.
"Sedangkan yang korban 'traffficking' sampai saat ini masih terus belajar," kata Ahmad Kholik.
Meski Ponpes Sabilillah di awal pendiriannya pada 1964 oleh ayahanda Ahmad Kholik, yakni almarhum KH Junaedi, awalnya berupa pesantren salafi, kini sudah berkembang dengan keberadaan sekolah formal, yakni mulai dari Raudhlatul Atfal (TK) dan juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) multimedia.
Sedangkan untuk madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), pihak ponpes menghubungkannya dengan sekolah setingkat di desa/kecamatan setempat.
"Untuk SMK multimedia ini kami agak nekat karena sarana dan prasarana, seperti komputer terbatas, yakni hanya dua buah, itu pun menumpang di sekretariat kantor yayasan," katanya.
Mengenai biaya pendidikan di Ponpes Sabilillah, ia menegaskan bahwa semuanya tidak dikenakan biaya. "Hampir semua santri dan santriwati adalah dari keluarga miskin, jadi tidak mungkin ada pengenaan biaya pendidikan," kata Ahmad Kholik menegaskan.
Khusus untuk SMK multimedia, ia mengatakan bahwa sebenarnya peserta didiknya juga berasal dari keluarga miskin, namun ada semacam biaya SPP (sumbangan pembinaan pendidikan), namun nilainya hanya di kisaran Rp5.000-Rp7.500 per bulan. "Itulah yang kemudian untuk tambahan gaji para gurunya," tambahnya.
Ia mengatakan bahwa untuk kepentingan pendidikan -- khususnya untuk pendidikan di pesantren -- pihaknya bersyukur ada bantuan dari Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM-BRI).
"Syukur Alhamdulillah, kami terbantu sekali, dan berterima kasih ada bantuan dari YBM-BRI, baik untuk beasiswa santri, apresiasi untuk 'asatid'(guru ponpes), termasuk sarana dan prasarana," katanya
Pengurus Harian YBM-BRI Kanwil Jakarta 3 di wilayah Banten, Sofian Hadi menjelaskan bahwa pihaknya memberikan bantuan melalui integrasi program pemberdayaan berbasis pesantren selama tiga tahun (2014-2017).
Di Ponpes Sabilillah, untuk beasiswa santri (2014-2015) diberikan kepada 30 anak senilai Rp110.400.000, apresiasi kepada 10 pendidik senilai Rp54.000.000.
Sedangkan pada tahun 2014, juga sudah diberikan bantuan sejenis, termasuk untuk sarana dan prasarana senilai Rp107.001.800, senilai Rp180.201.800.
Jadi, jumlah total bantuan sebesar Rp344.601.800.
Selain itu, kata Sofian Hadi, YBM-BRI juga memberikan bantuan budi daya ayam petelur melalui Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP) sebanyak 400 ekor.
Namun, kata Ahmad Kholik, saat terjadi wabah flu burung pada Februari 2017, hampir 300 ekor ayam mati. "Kini, ayam yang masih tersisa terus dan akan kami kembangkan," katanya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus YBM-BRI pusat H Tri Wintarto dalam laporan pengukuran kinerja dampak integrasi program pemberdayaan berbasis pondok pesantren menjelaskan program itu telah berjalan di 19 kantor wilayah (kanwil) YBM-BRI seluruh Indonesia sejak 2014.
Ia menjelaskan bahwa integrasi program pemberdayaan berbasis pondok pesantren adalah integrasi program ekonomi dan sosial secara terpadu.
Bentuk intervensi program yang dilakukan meliputi beasiswa santri, apresiasi pendidik, bantuan saran-prasarana seperti asrama santri, mandi-cuci-kakus (MCK), ruang kelas, serta BUMP.
"Adanya integrasi program tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan berkontribusi atas kemandirian operasional pondok pesantren," demikian Tri Wintarto.
Baca juga: Menteri Sosial dorong diversifikasi profesi santriwati
Baca juga: Anggota DPR prihatinkan banyaknya anak korban trafficking
Baca juga: Banyak WNI korban perdagangan manusia di Tiongkok
Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018