Jakarta (ANTARA News) - Proses pengiriman dan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih saja tertutup, padahal calon TKI seharusnya mengetahui secara detil dan langsung informasi mengenai pengiriman dan penempatannya. "Salah satu persoalan vital dalam permasalahan TKI adalah ketertutupan informasi kepada para calon TKI dan masyarakat, sedangkan informasi lebih banyak dimonopoli oleh satu pihak yaitu PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) yang mengirimkan para TKI," kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, dalam diskusi tentang TKI yang diselenggarakan Indonesian Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Rabu. Menurut dia, banyak calon TKI yang tidak memahami secara mendetil mengenai mekanisme pengirimannya karena lebih banyak mendapat informasi dari para sponsor atau calo yang bekerjasama dengan PJTKI. Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga tidak pernah mensosialisasikan secara jelas beragam nama PJTKI yang bermasalah dan ilegal kepada masyarakat luas. Padahal, ujar Anis, sebagian dari calon TKI berasal dari daerah atau desa terpencil yang tidak memiliki akses informasi yang memadai. "Contoh ketertutupan informasi adalah masih banyak TKI yang tidak mengetahui bahwa setelah ditempatkan di luar negeri, gaji mereka akan dipotong selama beberapa bulan untuk menutup biaya pengiriman dan penempatan," katanya. Pembicara lainnya, yaitu salah seorang TKI yang pernah bekerja selama dua tahun (2002-2004) di Malaysia, Badriyah, mengaku bahwa PJTKI yang mengirimnya tidak pernah memberikan kepadanya penjelasan yang memadai. "Sebelum pengiriman, saya hanya diberikan sedikit waktu untuk menandatangani kontrak sehingga tidak bisa membacanya secara lebih detil. Setelah berada di luar negeri, saya baru tahu bahwa ada ketentuan, upah saya dipotong empat bulan untuk membayar pengurusan dokumen dan keberangkatan," kata warga Jawa Tengah itu. Namun, lanjutnya, pada kenyataannya, gajinya dipotong hingga dua tahun lamanya. Kasusnya telah dilaporkan ke BNP2TKI Semarang tetapi hingga kini tidak ada kepastian mengenai keputusan kasus itu. Sementara itu, Agus Sunaryanto dari Badan Pekerja ICW memaparkan, berdasarkan data dari Bank Dunia tahun 2006, biaya yang dibayar oleh para TKI lebih besar dari biaya penempatan yang ditetapkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). "Misalnya biaya penempatan Depnakertrans di Arab Saudi dan Malaysia adalah Rp500 ribu, sedangkan biaya yang ternyata dibayar TKI adalah Rp600 ribu hingga Rp3,5 juta di Arab Saudi dan Rp800 ribu di Malaysia," katanya. Sedangkan Lisa Noor Humaidah dari Komnas Perempuan mengungkapkan, berdasarkan 1.259 pengaduan yang masuk ke lembaga layanan buruh migran yang tercatat di Komnas Perempuan pada tahun 2006, kasus yang menonjol adalah konflik perburuhan, pemerasan dan penipuan, kekerasan seksual, serta hilang kontak dan pembatasan komunikasi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007