Malang (ANTARA News) - Keindahan bunga edelweiss (Anaphalis spp) selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Bunga Edelweiss dianggap sebagai lambang cinta abadi, karena tidak akan layu hingga puluhan tahun.
Keunikan bunga edelweiss tersebut, membuat para wisatawan tertarik dan mengganggap bunga-bunga tersebut cocok untuk dijadikan buah tangan.
Padahal, salah satu jenis edelweiss tersebut ditetapkan sebagai tanaman yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 92/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi.
Di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) tercatat ada tiga jenis edelweiss yang tumbuh. Tiga jenis edelweiss tersebut adalah Anaphalis Visida, Anaphalis Longifolia, dan Anaphalis javanica.
Jenis Anaphalis Javanica merupakan jenis bunga yang ditetapkan sebagai tanaman yang dilindungi. Anaphalis Javanica berbeda dari dua jenis edelweiss lainnya, karena memilki tangkai, daun, dan bunga yang lebih besar. Selain itu juga bunganya terlihat lebih indah.
Meskipun dilindungi, tidak jarang bunga-bunga tersebut diperjualbelikan sebagai buah tangan. Para wisatawan yang membeli, biasanya mengaku tidak mengetahui bahwa bunga tersebut dilindungi.
Selain menarik minat wisatawan, bunga tersebut juga memiliki peran penting bagi masyarakat lokal di wilayah TNBTS, yang biasa disebut sebagai Suku Tengger.
Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Tengger selalu menggunakan edelweiss sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi.
Berbekal dari pengalaman tersebut, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berupaya untuk memberikan solusi berkelanjutan. Sejak 2014, Balai Besar memiliki keinginan untuk mengembangkan Desa Wisata Edelweiss yang berkelanjutan dengan memperhatikan tiga aspek.
Tiga aspek yang diakomodir adalah peluang untuk meningkatkan sektor ekonomi, konservasi edelweiss di luar habitat aslinya, dan mempertahankan budaya lokal masyarakat Tengger dalam melaksanakan upacara adat.
Dua Desa Wisata Edelweis yang dikembangkan adalah Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan dengan luas lahan edelweis kurang lebih setengah hektare dan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dengan luasan sebesar satu hektare.
Dua desa itu mendapatkan bibit sebanyak 5.600 bibit untuk dikembangkan.
Melalui perjalanan yang cukup panjang, pada akhirnya Desa Wisata Edelweiss diresmikan melalui Festival Land of Edelweiss. Peresmian tersebut dilaksanakan pada November 2018 di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dody Wahyu Karyanto mengatakan bahwa desa wisata tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat bagi warga dari dua desa itu.
"Terkait Desa Wisata Edelweiss, ini merupakan wisata yang cerdas. Ada beberapa hal yang bisa langsung diselesaikan dari desa wisata tersebut," kata Dody di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Dody menjelaskan, dengan adanya Desa Wisata Edelweiss tersebut, masalah kelangkaan bunga Edelweiss itu bisa langsung teratasi melalui langkah konservasi.
Selain itu, sekaligus menjadikan masyarakat desa itu menjadi pelaku wisata dan bisa memberikan edukasi kepada wisatawan yang berkunjung.
Konservasi Berkelanjutan
Diresmikannya Desa Wisata Edelweiss tersebut, salah satu upaya untuk menjalankan konservasi berkelanjutan dengan nilai tambah.
Pada satu sisi, masalah kelangkaan edelweiss yang kian hari makin menjadi perhatian khusus, bisa teratasi, namun dibarengi dengan peluang untuk menumbuhkan sektor ekonomi.
"Dengan adanya Desa Wisata Edelweiss ini, memadukan antara konservasi, religi, dan ekonomi," kata Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru John Kenedie.
Bunga-bunga edelweiss yang ditanam di dua desa wisata tersebut sudah masuk dalam kategori generasi kedua (F2), dan memiliki izin penangkaran dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur. Dengan demikian, keberlanjutan dari edelweiss itu sendiri akan tetap terjaga.
Namun, upaya untuk konservasi tersebut tidak akan berjalan dengan baik, jika masyarakat di masing-masing desa itu tidak peduli akan pentingnya menjaga kelestarian edelweiss itu.
Para pemangku kepentingan diharapkan untuk tidak berhenti dalam memberikan edukasi, khususnya bagi warga di dua desa tersebut.
Upaya konservasi tersebut sesungguhnya juga memiliki nilai tambah lain, yakni wisata edukasi.
Jika dimanfaatkan dengan baik, maka para wisatawan yang datang berkunjung juga dapat diberikan edukasi terkait bagaimana upaya budi daya bunga abadi itu.
Untuk memberikan gambaran yang baik khususnya dalam mengembangkan wisata edukasi, para kelompok tani sebagai pembudidaya edelweiss, perlu untuk diberikan pembinaan.
Pembinaan tersebut khususnya dalam upaya mengemas destinasi wisata di daerahnya, supaya menjadi lebih menarik minat wisatawan untuk datang berkunjung.
Dengan tingginya minat wisatawan untuk berkunjung, diharapkan sektor pariwisata dan ekonomi bisa semakin dipacu untuk jangka panjang.
Pertama di Indonesia
Pengembangan Desa Wisata Edelwiss di dua desa tersebut merupakan yang pertama kali di Indonesia.
Dengan kelebihan tersebut, diharapkan para wisatawan tidak hanya berkunjung ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, melainkan juga ke wilayah desa penyangga.
"Masyarakat Tengger ditambah potensi wisatanya, ini destinasi wisata potensial. Daerah penyangga harus jadi destinasi wisata alternatif supaya wisatawan tidak menumpuk di kawasan Gunung Bromo saja," kata Dody.
Di dua desa wisata tersebut, besaran tarif yang dikenakan pada wisatawan untuk berkunjung masih dalam tahap pembahasan oleh kelompok tani dan kepala desa setempat.
Diperkirakan, tarif masuk berkisar Rp50.000 hingga Rp150.000 per orang.
Nantinya, para pengunjung diperbolehkan untuk memetik edelweiss yang sudah dibudidayakan itu, namun dengan catatan harus menanam bibit bunga yang sudah disediakan.
Dengan demikian, keberlanjutan desa wisata tersebut akan tetap terjaga.
Selain itu, dengan hadirnya Desa Wisata Edelweiss tersebut juga diharapkan menggeliatkan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo.
Para pelaku usaha UMKM tersebut bisa secara langsung memanfaatkan bunga abadi itu untuk dijadikan suvenir yang legal.
Pada kurun waktu beberapa tahun silam, bunga edelweiss yang diambil dari kawasan Taman Nasional hanya diperjualbelikan tanpa memiliki nilai tambah.
Sektor UMKM diharapkan mengambil peluang tersebut, khususnya untuk memberikan nilai tambah dari hasil kerajinannya.
Bunga-bunga edelweiss yang sudah merupakan hasil budi daya tersebut, bisa djual sebagai buket bunga, atau bahkan dibentuk menjadi boneka beruang.
Dengan adanya penambahan nilai dari bunga edelweiss tersebut, harga jual yang ditawarkan juga tidak terlalu mahal.
Untuk bunga edelweiss yang dirangkai menyerupai beruang kecil dijual dengan harga Rp50.000 per buah, sedangkan untuk buket bunga seharga Rp100.000.
Bagi para wisatawan, harga yang ditawarkan tersebut tidak terlalu mahal, mengingat bunga tersebut memiliki nilai sentimentil yang tinggi.
Pengembangan destinasi wisata dengan konsep desa wisata memang tengah didorong oleh pemerintah, namun perhatian yang diberikan hendaknya tidak terhenti setelah desa wisata tersebut diresmikan.
Upaya menjaga keberlanjutan desa wisata perlu perhatian dan komitmen dari berbagai pihak.
Perbaikan sarana dan prasarana harus terus diupayakan guna memberikan fasilitas yang lebih baik bagi wisatawan.
Dengan fasilitas yang makin baik, para wisatawan tentunya akan turut memberikan kontribusi dalam perputaran roda perekonomian masyarakat sekitar.*
Baca juga: Pertamina EP kembangkan potensi wisata air Desa Burai
Baca juga: Desa wisata berkualitas kelolaan penduduk lokal
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018