Secara kasat mata bisa kita lihat banyak BMI kita yang lalu-lalang di perbatasan. Saya agak 'surprise' saja, seharusnya tidak semudah itu memperoleh visa

Hong Kong (ANTARA News) - Kasus tenaga kerja Indonesia yang dipekerjakan di dua lokasi berbeda, Hong Kong dan China, sampai saat ini masih marak terjadi.

"Bekerja di dua tempat itu jelas pelanggaran. Tapi praktik ini masih marak terjadi," kata Konsul Jenderal RI untuk Hong Kong Tri Tharyat kepada Antara di Hong Kong, Selasa.

Ia menjelaskan bahwa maraknya kasus itu terjadi karena dua hal, sulitnya pengawasan dan terlalu mudahnya para TKI mendapatkan visa ke China.

"Dua hal ini yang menjadi perhatian kami karena kasihan teman-teman BMI (buruh migran Indonesia) harus bekerja di dua tempat dan dua negara yang sangat berisiko," ujarnya.

Ia sudah membicarakan persoalan tersebut kepada pihak otoritas Hong Kong yang bertanggung jawab atas imigrasi, keamanan, dan ketenagakerjaan.

Pihaknya juga telah menyampaikan maraknya kasus tersebut ke Kantor Komisioner China di Hong Kong.

"Saya yakin praktik ini sudah lama. Tahun lalu ada pekerja Filipina meninggal di Shenzhen (Provinsi Guangdong, China). Dia seharusnya bekerja di Hong Kong tapi dibawa majikan ke Shenzhen dan meninggal di sana," ujarnya.

Sebelumnya, pada tahun 2015 ada seorang TKI bernama Eka meninggal juga di sekitar Shenzhen.

"Info yang kami terima dia dipekerjakan di pabrik, meninggal karena menurut info juga kesetrum atau kecelakaan kerja," ujar Tri.

Menurut dia, pekerja migran dipekerjakan di dua tempat kerja merupakan kasus serius dan melanggar kontrak kerja.

"Secara kasat mata bisa kita lihat banyak BMI kita yang lalu-lalang di perbatasan. Saya agak 'surprise' saja, seharusnya tidak semudah itu memperoleh visa. Barang kali itu soal visa kewenangan negara yang bersangkutan, saya tidak mau terlalu banyak berkomentar. Saya hanya mengingatkan ke pihak Tiongkok bahwa mereka dipekerjakan secara ilegal," katanya.

Informasi yang didapatkan Konjen, para TKI itu berada di China karena diajak majikannya yang berdomisili di Hong Kong.

"Tapi praktiknya tidak harus selalu bersama majikannya, bolak-balik mereka (TKI) berangkat sendirian. Nah, ini yang kita temukan, ada tiga orang BMI yang belum dua tahun paspornya sudah penuh karena mereka bagian dari praktik kerja di dua tempat itu (Hong Kong dan China)," ujarnya mengungkapkan.

Pihaknya sudah meminta para TKI itu membuat laporan ke KJRI Hong Kong. Namun persoalannya, pada saat KJRI mengajak mereka ke kantor polisi, mereka takut.

"Saya mesti pahami ini karena mereka takut kehilangan pekerjaan. Ini satu hal yang cukup disesalkan, tapi kita tidak bisa berhenti sampai di situ," kata Konjen.

Belum lama ini pihak Kepolisian Hong Kong menyampaikan keinginannya untuk membuka kembali kasus kematian Eka di daratan Tiongkok itu sebagai kasus perdagangan manusia (human trafficking).

"Ini satu kemajuan yang luar biasa. Mereka menunjukkan itikad baik dan serius, meskipun (kasus human trafficking dengan bekerja di dua tempat) sampai sekarang masih terus terjadi," ujar Tri menambahkan.

Jumlah TKI di Hong Kong sampai saat ini diperkirakan mencapai angka 163.000 orang yang bekerja di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga dengan gaji pokok 4.520 HKD (Rp8,4 juta) per bulan.

"Setiap bulan ada penambahan sekitar 100 hingga 200 TKI," kata Konsul Ketenagakerjaan KJRI Hong Kong Sholahudin.

Sampai saat ini pula, pemerintah China juga belum mengeluarkan regulasi tentang penerimaan pekerja migran untuk sektor informal dan formal (kerah biru), kecuali untuk pekerja profesional (kerah putih).

Baca juga: Indonesia nyatakan siap penuhi kebutuhan pengasuh lansia di Hong Kong

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018