Palembang (ANTARA News) - Perhelatan Asian Games XVIII tahun 2018 sudah berlalu pada awal September 2018 yang bukan hanya menyisakan hingar-bingarnya tapi juga capaian positif di bidang ekonomi.

Pada triwulan III 2018, Sumatera Selatan sebagai tuan rumah Asian Games mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 6,14 persen atau di atas rata-rata nasional 5,17 persen. Semua dinyakini berkat adanya Asian Games.

Sebenarnya pergerakan positif itu sudah terasa di triwulan II 2018 karena Sumsel sudah mencatat angka pertumbuhan ekonomi 6,07 persen atau meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 5,29 persen pada periode yang sama.

Lantas apa yang harus dilakukan Sumsel setelah ini untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas rata-rata nasional. Apakah Sumsel akan kembali ke titahnya, yakni sebagai daerah pengekspor komoditas perkebunan yakni karet dan sawit, serta batu bara?.

Maklum saja, di tengah situasi perekonomian global saat ini yang sangat rentan terjadi perubahan maka sektor pertambahan, penggalian, dan perkebunan sawit dan karet turut dalam ketidakpastian harga.

Namun, patut disimak pernyataan dari Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel Endang Tri Wahyuningsih yang mengatakan bahwa sektor pertambangan dan penggalian di Sumatera Selatan harus tetap mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat karena hingga kini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi daerah.

Sektor ini mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 2,48 persen pada kuartal III tahun 2018 karena dipengaruhi kenaikan harga di pasaran internasional.

Lantaran pertumbuhan tersebut maka pada kuartal III/2018, pertumbuhan ekonomi Sumsel yang tercatat meningkat 6,14 persen. Selain tentunya, ia menambahkan, didongkrak juga dengan adanya serapan dana infrastruktur untuk penunjang Asian Games, kinerja ekspor, dan konsumsi dalam negeri.

Kinerja ekspor Sumsel lagi-lagi paling mencolok pada triwulan III ini yang ditandai dengan produksi gas bumi mampu melebihi target pencapaian, yakni hingga 109 persen. Demikian juga dengan produksi minyak bumi yang meningkat dibandingkan tahun lalu.

Peningkatan ini juga mendongrak nilai ekspor Sumsel pada Agustus 2018 yang mengalami peningkatan sebesar 6,92 persen bila dibandingkan pada Juli 2018. Nilai ekspor Sumsel pada Agustus 2018 sebesar 446,81 juta dolar Amerika Serikat (AS) yang terdiri atas ekspor migas sebesar 35,09 juta dolar AS dan 411,72 juta dolar AS merupakan hasil ekspor komoditas nonmigas.

Naiknya nilai ekspor Provinsi Sumsel pada Agustus 2018 dibanding Juli 2018 sebesar 6,92 persen disebabkan oleh meningkatnya nilai ekspor nonmigas sebesar 7,95 persen yaitu dari 381,41 juta dolar AS menjadi 411,72 juta dolar AS.

Meningkatnya nilai ekspor nonmigas Agustus 2018 dibandingkan Juli 2018 disumbang oleh naiknya nilai ekspor komoditas utama yaitu bubur/pulp, batubara, minyak kelapa sawit dan kayu/produk kayu sedangkan komoditas utama lainnya seperti karet, kelapa, amonia dan pupuk urea mengalami penurunan nilai ekspor.

Analisis Fungsi Koordinasi dan Komisi Kebijakan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan Rendra Prasetya Kiswono mengatakan tren kenaikan harga batu bara diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun. Para eksportir diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini untuk membantu peningkatan devisa negara.

Harga batu bara meningkatkan karena adanya peningkatan permintaan pasar dunia seiring dengan tibanya musim dingin di daratan China.

Negeri Tirai bambu itu membutuhkan pasokan batubara yang cukup banyak untuk menghidupkan enam pembangkit listrik dalam menghadapi suhu udara di bawah 0 derajat Celcius.

"Harga batubara sedang bagus-bagusnya saat ini, ya, sebaiknya momen ini dipakai untuk meningkatkan volume ekspor," kata dia. Meningkatnya volume permintaan yang tinggi di tahun ini, khususnya di Asia, menjadi penyebabnya meroketnya harga komoditas sumber energi utama dunia ini. Padahal batu bara sempat dikhawatirkan sudah tidak akan populer lagi, mengingat sifatnya yang tidak ramah lingkungan.

Momen ini juga sebaliknya dimanfaatkan para eksportir, khususnya asal Sumatera Selatan karena terbukti mampu mendongkrak perekonomian daerah.

Berkat adanya kenaikan harga batubara sejak April 2018 membuat pangsa sektor pertambangan dan penggalian di Sumsel berkinerja positif yakni mencapai 19,90 persen dari PDRB, atau menjadi yang tertinggi disusul industri pengolahan 19,63 persen, dan pertanian 15,15 persen pada triwulan III. "Sejauh ini dengan asumsi harga batubara terus bertahan tinggi hingga akhir tahun, BI optimistis pertumbuhan ekonomi Sumsel di kisaran 5,8-6,2 persen," katanya.

Perang dagang

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China dipastikan lambat laun akan berpengaruh terhadap negara-negara yang menganut paham ekonomi terbuka seperti Indonesia.

Saat ini saja, harga sawit di tingkat petani rakyat Sumatera Selatan anjlok karena dampak dari perang dagang ini.

Surono, petani sawit asal Desa Buana Tirta, Kecamatan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, mengatakan, harga jatuh, untuk kelapa sawit kualitas sedang hanya dipatok Rp700-900 per kilogram dari Rp1.200 hingga Rp1.400 per kilogram, sementara kualitas baik di kisaran Rp1.050-1.200 per kilogram dari sekitar Rp2.000 per kilogram.

Amerika mulai menerapkan tarif pajak tinggi kepada barang dari China. Terkait ini, Negeri Tirai Bambu tidak tinggal diam dengan membalas secara proporsional dengan mengurangi pembelian kedelai dari AS.

Dengan pengurangan pembelian kedelai oleh China menyebabkan stok kedelai di AS melimpah. Di sisi lain China telah mempersiapkan diri dengan menumpuk stok di dalam negeri jauh hari sebelum perselisihan dagang dimulai.

Melimpahnya stok kedelai AS dan permintaan pasar global yang lemah membuat harga menjadi jatuh.

Pada saat yang sama stok minyak nabati lain seperti rapeseed, bunga matahari dan minyak sawit juga cukup melimpah di negara produsen. Akibatnya harga minyak nabati pun mengalami penurunan seperti yang terjadi di Indonesia.

Membaca situasi pasar yang semakin tidak menentu, dengan semakin memanasnya perselisihan dagang AS dan China, Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia Provinsi Sumatera Selatan, Harry Hartanto mengatakan, pemerintah Indonesia diharapkan mulai memberikan perhatian khusus kepada industri minyak sawit.

"Pemerintah harusnya membuat kebijakan untuk menggalakkan penggunaan biodiesel. Mandatori Biodiesel sudah waktunya diterapkan kepada non-PSO untuk mendongkrak konsumsi di dalam negeri," kata dia.

Kepala Advisory dan Pengembangan Ekonomi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah M Taufik Amrozi, mengatakan nantinya dampak yang paling memungkinkan dari perang dagang itu yakni munculnya outlet-outlet baru pemasaran produk asal Amerika Serikat dan China di Indonesia.

"Ini menjadi suatu ancaman, artinya jika tidak kuat maka pasar produk lokal yang akan tergerus, karena produk China yang ditolak di AS pasti akan mencari tempat pemasaran baru di sini," kata dia.

Oleh karena itu tak ayal jika negara-negara penganut sistem ekonomi terbuka selain Indonesia juga sedang "was-was" saat ini.

Apalagi, tanda-tanda bakal berlanjutnya perang dagang ini semakin menguat dengan adanya pernyataan Presiden Donald Trump yang ingin terus menerapkan proteksi pada perekonomiannya.

Hal ini tak lain karena upaya pengurangan difisit neraca perdagangan dengan Amerika Serikat terhadap China telah berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam ini.

Departemen Perdagangan AS mengumumkan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II tumbuh 4,2 persen atau lebih tinggi dari laporan sebelumnya, yaitu 4,1 persen. Menguatnya ekonomi AS, karena Negeri Paman Sam meningkatkan ekspor terutama perangkat lunak dan mengurangi impor khususnya minyak.

Pencapaian ini mengulang pertumbuhan ekonomi kuartal II 2017, dimana tumbuh 2,9 persen, lebih tinggi dari laporan sebelumnya 2,8 persen. Dan pada kuartal I 2018 mencapai 3,2 persen, juga lebih tinggi dari laporan sebelumnya sebesar 3,1 persen.

Capaian ini membuat ekonomi AS berada pada jalur tepat untuk mencapai target yang dipatok Trump, yaitu pertumbuhan ekonomi 3 persen secara tahunan.

Menurut Taufik, adanya perang dagang ini semakin membuat situasi ekonomi global semakin tidak menentu. Padahal bagi negara berkembang seperti Indonesia, sistem perdagangan bebas ini menjadi modal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.

Namun, di tengah ketidakpastian ini Indonesia masih bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,4 - 5,5 persen.

"Capaian ini patut disyukuri, tapi tetap tidak boleh melepas kewaspadaan. Pada prinsipnya, kita harus berjuang bagaimana menghasilkan produk-produk berdaya saing," kata dia.

Sumber Lain

Analisis Fungsi Koordinasi dan Komisi Kebijakan Rendra Prasetya Kiswono di Palembang mengatakan perlu strategi khusus untuk tetap tumbuh di tengah ketidakpastian ini. Sumsel yang dikenal telah lama dipacu pertumbuahnnya oleh sektor pertambangan dan perkebunan harus mulai melirik sektor lain.

Bank Indonesia menilai terdapat tiga sektor yang wajib dikembangkan di Sumatera Selatan yakni pariwisata, industri kopi dan perikanan darat untuk terus tumbuh.

Untuk sektor pariwisata, Sumsel memiliki potensi untuk tumbuh di masa datang karena sudah memiliki sejumlah destinasi wisata menarik bertemakan wisata sungai.

Bank Indonesia perwakilan Sumsel juga turut andil dalam pengembangan dalam sektor pariwisata dengan membantu perbaikan infrastruktur Griya Tuan Kentang, destinasi wisata untuk pembuatan dan penjualan kain songket.

"Malahan untuk mendukung pariwisata Sumsel, BI sudah memiliki slogan `Must See Musi, The River Civilization` untuk rujukan pengembangan pariwisata di kawasan Sungai Musi," kata dia. Sementara untuk industri kopi, BI menilai sektor ini sangat potensial di masa datang seiring dengan meningkatnya kesukaan masyarakat untuk mengonsumsi minuman kopi.

Untuk perikanan darat, hal ini berkaitan erat dengan kegemaran masyarakat Sumsel untuk mengonsumsi ikan. "Kegiatan ekonomi seperti penambakkan ikan, sangat potensial di masa datang karena masih adanya ketersediaan lahan dan permintaan yang cukup tinggi," kata dia.

Mengutip laman resmi facebook Sri Mulyani, Sabtu (15/9/2018), ia memaparkan bagaimana normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan kepada perekonomian Indonesia termasuk juga kepada nilai tukar rupiah.

Menjaga suatu perekonomian adalah pekerjaan tak pernah berhenti, tak boleh lengah dan harus dilakukan terus-menerus, karena situasi dan tantangan ekonomi terus berubah dan sering perubahan terjadi sangat cepat," kata Menkeu.

Lantas bagaimana dengan Sumatera Selatan. Apakah masih mau berkutat dengan sumber ekonomi lama, atau mulai merambah ekonomi baru.

Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan belum lama ini bahwa daerahnya akan melakukan agenda transformasi ekonomi yakni bagaimana menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih kuat, inklusif, berkualitas dan berkelanjutan.*

Baca juga: BI pastikan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019

Baca juga: Bappenas: Produktivitas rendah hambat pertumbuhan ekonomi tujuh persen

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018