Jakarta (ANTARA News) - 24 jam setelah dicemooh karena menaklukkan salah satu petenis terbaik, Alexander Zverev kembali mengalahkan salah satu petenis papan atas ketika ia mengejutkan Novak Djokovic untuk memenangi gelar ATP Finals pada Senin dini hari WIB.
Seperti dilansir laman resmi ATP, Zverev, yang disebut-sebut akan memimpin olahraga ini menuju era emas yang baru saat trio Roger Federer, Djokovic, dan Rafael Nadal gantung raket, mengambil keuntungan penuh dari permainan tidak maksimal sang petenis Serbia untuk meraih kemenangan 6-4, 6-3.
Zverev yang lahir di Hamburg mendapat cemooh dan cacian pada Sabtu oleh para penonton yang menggemari Federer karena ia menaklukkan sang juara enam kali itu setelah tiebreak set kedua yang kontroversial.
Bagaimanapun, saat melawan petenis peringkat dua dunia Djokovic, 18.000 penggemar di 02 Arena menyuarakan dukungan mereka ketika ia menampilkan level permainan tenis yang tidak dapat ditandingi lawannya.
Ia melepaskan 20 pukulan winner berbanding tujuh pukulan winner yang dilepaskan Djokovic -- yang terakhir adalah pukulan backhand untuk mengakhiri duel selama satu jam 19 menit itu.
Terkait menjadi juara termuda ATP Finals sejak Djokovic, juga pada usia 21 tahun, pada 2008, Zverev memberikan psan yang jelas bahwa ia siap menghabiskan banyak waktu di tenis papan atas dan mulai mengakumulasi hadiah-hadiah terbesar di olahraga ini.
Djokovic, yang penampilan penuh kesalahannya merupakan suatu kejutan setelah pekan yang dominan di London tenggara, di mana ia juga menang mudah di putaran round-robin atas Zverev, dengan sportif berjalan mengitari net untuk memberi selamat kepada sang pemenang -- saat sang petenis Jerman masih terbaring di lantai karena tidak percaya dengan kemenangannya.
Zverev, adik kandung petenis Mischa Zverev dan kini dilatih oleh juara turnamen utama delapan kali Ivan Lendl, belum pernah melewati perempat final di turnamen Grand Slam.
Bakat alami
Masih ada ujian untuk tahun depan, namun pada Minggu Zverev memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan, seiring dengan bakat alam dan kekuatan pukulan yang membuatnya digadang-gadang sebagai calon petenis peringkat satu di masa yang akan datang.
Pukulan forehandnya, yang sering dianggap sebagai kelemahan, merupakan senjata maut dan ia memperlihatkan keinginan untuk menyerang dari net -- kemampuan yang mungkin ia pelajari dari saudara kandungnya.
Hal yang paling impresif adalah ia sering menampilkan reli-reli panjang dari baseline, yang biasanya digunakan Djokovic sebagai dasar untuk 14 gelar Grand Slamnya.
Delapan gim pembukaan berlangsung layaknya pertandingan tinju di mana kedua petenis mencari kelemahan lawannya -- meski sudah jelas bahwa Zverev dibekali dengan pukulan-pukulan yang lebih keras.
Djokovic, pemenang sebanyak 35 kali dari 37 pertandingan terakhirnya pada paruh kedua tahun di mana ia kembali mampu menduduki peringkat pertama, tidak pernah kehilangan serve sepanjang pekan dan hanya menghadapi dua break point dalam empat pertandingan sebelumnya.
Namun dalam kedudukan 4-4, ia melakukan pukulan pukulan forehand yang membentur net untuk memberi peluang Zverev melakukan serve untuk menutup set.
Zverev memaksimalkan peluangnya -- melepaskan tiga ace secara beruntun kemudian memenangi set ketika pukulan forehand Djokovic terlalu panjang.
Djokovic kemudian menggebrak dalam dua service gim pertamanya di set kedua, masing-masing dengan mematahkan serve Zverev untuk pertama kalinya ketika sang petenis Jerman mengendurkan permainannya.
Para penonton masih berharap Djokovic dapat bangkit namun hal itu tidak pernah terwujud, dan pada kedudukan 5-3 petenis 31 tahun itu semakin terpuruk, melakukan double fault untuk membantu Zverev mendapatkan dua match point.
Ia dapat menggagalkan match point pertama, namun tidak mampu berbuat banyak ketika Zverev melepaskan pukulan backhand untuk menutup penampilan briliannya.
Pewarta: A Rauf Andar Adipati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018