Lampung Barat (ANTARA News) - Usia yang sudah 88 tahun tak menghalangi Odo Rusdjandi bersama mantan Pejuang 45 dan keluarga mereka memperjuangkan nasib penghidupan sejak 1951 dan 1952 mengikuti program transmigrasi ke Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat.

Selama 65 tahun dirinya hidup dan tinggal di tempat itu, namun sampai sekarang tempat itu belum berstatus sebagai hak milik.

Tanah itu, dikatakan Odo didampingi anak dan cucu eks-Pejuang 45 asal Tasikmalaya, Jawa Barat, hingga sekarang masih berstatus tanah kawasan hutan lindung.

Pada 1951-1952, eks-laskar Pejuang 45 (Pejuang Siliwangi) dari Tasikmalaya ditransmigrasikan ke Lampung oleh Biro Rekonstruksi Nasional (BRN).

Program transmigrasi itu untuk memberikan harapan penghidupan yang lebih baik kepada para mantan Pejuang 45 setelah Indonesia merdeka.

Presiden Soekarno sendiri saat itu hadir dan meresmikan keberadaan mereka di Lampung. Sekitar 500 mantan pejuang atau bersama keluarga mereka yang ribuan jiwa dalam dua gelombang berdatangan ke wilayah Sukapura, Sumberjaya (sekarang masuk wilayah Kabupaten Lampung Barat).

Pemerintah saat itu menjanjikan lahan 4,5 hektare hingga lima hektare kepada setiap keluarga pejuang yang datang ke daerah itu.

Saat itu pula, Bung Karno datang dan berpidato di hadapan mereka serta warga sekitar, sekaligus meresmikan nama tempat baru mereka sebagai "Sumberjaya" yang artinya sumber kejayaan. Tempat baru itu diharapkan menjadi sumber kejayaan dan kesejahteraan para mantan pejuang dan keluarganya.

Kini, para mantan pejuang generasi pertama yang datang ke Sumberjaya tinggal tiga orang yang masih hidup, selebihnya sudah meninggal dunia.

Odo dan dua mantan pejuang lain yang masih ada, bersama anak dan cucu mereka, hingga kini tak kenal lelah memperjuangkan kejelasan status lahan mereka, guna menjamin kepastian penghidupan dan nasib anak cucu mereka pada masa mendatang.

Erika Dirgahayu (44), cucu salah satu keluarga mantan pejuang yang didatangkan ke Sumberjaya menuturkan jalan panjang perjuangan yang telah mereka lalui untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah itu.

Mereka telah bertekad memperjuangkan legalitas tanah di Pekon Sukapura, Kecamatan Sumberjaya yang telah ditempati dan dikelola sekitar 3.300 jiwa sejak 65-66 tahun silam, yakni lahan seluas 309 hektare.

Kedatangan kakek, nenek, dan orang tua mereka ke Sukapura pada 1951 merupakan program transmigrasi pada pemerintahan era Presiden Soekarno.

Ia mempertanyakan klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa lahan mereka merupakan kawasan hutan.

Berdasarkan penuturan orang tua mereka pada 1951, eks-veteran perang kemerdekaan mengikuti program pemerintah yakni transmigrasi.

Bahkan, pada 1952 Presiden Soekarno datang dalam rangka meresmikan nama "Sumberjaya", tepatnya pada 14 November 1952, sedangkan pada 1954, datang Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk meresmikan pabrik penggilingan padi.

"Program Transmigrasi ini berdasarkan peraturan presiden, sementara yang mengatakan ini hutan kawasan adalah aturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, artinya status keberadaan masyarakat kami legal dan memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi," ujar Erika.

Berbagai Upaya

Lebih dari 500 kepala keluarga yang warga Sukapura itu telah melakukan berbagai upaya untuk melegalkan hak tanah yang mereka tempati agar menjadi hak milik mereka.

Berbagai upaya untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka itu, antara lain dengan melayangkan surat kepada Menteri LHK, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri PUPR, dan Tim Reforma Agraria.

Tim legalitas tanah Sukapura itu, bahkan telah mendatangi Istana Presiden di Bogor. Pada 24 April 2018, mereka diterima Deputi II Staf Kepresidenan Bidang Reforma Agraria Usep Setiawan.

"Ternyata mereka kaget, di Sumberjaya menyimpan sejarah tentang transmigrasi tetapi tidak terdokumentasi dengan baik," ujar Erika.

Warga diminta membuktikan peristiwa bersejarah tersebut dengan secepatnya menyampaikan berbagai dokumen guna mendukung penyelesaian persoalan tanah yang sudah puluhan tahun itu.

"Saat ini terus kami upayakan melengkapi dan menyampaikannya," ujarnya.

Hingga saat ini, berbagai fasilitas umum dibangun oleh negara di daerah itu seperti Sekolah Dasar, Sekolan Menengah Pertama, tempat layanan kesehatan, jaringan listrik PLN, infrastuktur jalan. Masyarakat juga melaksanakan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan.

Hal tersebut juga menjadi dasar pertanyaan warga setempat tentang legalitas mereka tinggal di Pekon Sukapura, Kecamatan Sumberjaya itu.

Berbagai data dan dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada pemerintah pusat, disebut Erik, antara lain surat bukti pengiriman trasmigrasi oleh BRN, surat balasan Veteran Pusat, surat penerimaan dari Gubernur Lampung kala itu, serta data pendukung ketika Presiden Soekarno mengirimkan transmigrasi eks-Pejuang Siliwangi pada 1951, dan peresmian nama Sumberjaya pada 1952 oleh Presiden Soekarno.

"Dari awal kami resmi sebagai transmigran tahun 1950 oleh Presiden Soekarno, dan tahun 1951 Bung Karno memberi nama Sumberjaya. Tetapi pada tahun 1991 melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dilakukan penebangan dan penggusuran hutan oleh petugas karena dinyatakan sebagai hutan lindung. Itu yang kami perjuangkan selama ini," ujar dia.

Selama ini, masyarakat bersama pemerintah daerah telah berupaya berjuang untuk mendapatkan status kepemilikan lahan itu. Lebih dari tiga kali warga dan pemda menyampaikan hal itu kepada Kementerian LHK, Sekretariat Negara, Kemen Hukum dan HAM, serta Kementerian Agraria.

"Bahkan, zaman Pak Bupati Mukhlis Basri sudah pernah dibentuk tim terpadu, tetapi sampai sekarang masih belum ada kepastian," ujarnya.

Perjuangan akan terus dilakukan warga, bahkan bila perlu harus bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.

Pemkab Lampung Barat pun tak tinggal diam, terus berupaya mencari solusi dan memperjuangkan aspirasi 500 KK di Pekon Sukapura itu

"Pemkab berupaya terus memperjuangkannya," ujar Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus.

Keresahan 3.300 lebih warga setempat menjadi keprihatinan Bupati Parolis. Pihaknya juga mendukung tuntutan warga agar pemerintah secara resmi menyerahkan tanah itu kepada masyarakat.

Apalagi, kedatangan awal mereka ke Sukapura diantar langsung oleh Presiden Soekarno.

Sebagai hal yang wajar, ungkapnya, jika tanah dan lahan yang telah mereka garap sejak 65-66 tahun lalu itu menjadi hak milik mereka

"Luar biasa mereka datang diantar oleh Presiden Soekarno, maka saya akan memberikan dukungan penuh kepada seluruh warga untuk mendapatkan haknya akan tanah di Pekon Sukapura," kata dia.

Gelar Festival

Pemerintah Kabupaten Lampung Barat menyelenggarakan Festival Kebangsaan 2018 dipusatkan di Pekon Sukapura, Kecamatan Sumberjaya pada 13-15 November 2018.

Acara dipusatkan di Lapangan Sukarata (Soekarno-Hatta), Kecamatan Sumberjaya dengan berbagai rangkaian kegiatan di tiga lokasi, yaitu Bumi Perkemahan PLTA Way Besai, Tugu Soekarno, serta Lapangan Sukarata.

Festival Kebangsaan sebagai media promosi daerah sekaligus edukasi bagi masyarakat dalam rangka mengenang, memperingati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur perjuangan dan wawasan kebangsaan yang diwariskan Bung Karno di Kabupaten Lampung Barat.

Pelaksanaan Festival Kebangsaan 2018 di Kecamatan Sumberjaya, mengingatkan terhadap sejarah wilayah itu, sebagai salah satu lokasi yang dipilih Bung Karno untuk menempatkan mereka dalam program transmigrasi eks-BRN pada 14 November 1952.

Sumberjaya saat ini telah berkembang pesat menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Lampung Barat.

Rangkaian festival, di antaranya Kemah Kebangsaan, Lomba Napak Tilas, dan peresmian Tugu Soekarno.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono juga hadir pada puncak Festival Kebangsaan 2018 dan Peresmian Tugu Soekarno pada 14 November 2018.

Hadir pula, antara lain Ketua DPRD Kabupaten Lampung Barat Edi Novial, mantan Bupati Mukhlis Basri, para pejabat lainnya, serta ratusan warga yang memadati lapangan. Pada kesempatan itu, Bupati Parosil Mabsus meresmikan Tugu Soekarno.

Parosil menjelaskan Festival Kebangsaan yang pertama kali digelar itu, untuk mengenang sejarah perjalanan perjuangan Bung Karno di Kabupaten Lampung Barat.

Selain itu, memperingati hari kedatangan Presiden pertama RI Soekarno dalam rangka transmigrasi eks-BRN di Kecamatan Sumberjaya pada 14 November 1952.

"Perjalanan Bung Karno ke Lampung Barat meninggalkan naskah sejarah perjalanan seribu mil pun harus dimulai dengan satu langkah yang pertama Soekarno Presiden RI di Sumberjaya, 14 November 1952," katanya.

Melalui festival itu pula, warga dan keluarga eks-Pejuang Siliwangi kembali meminta Pemerintahan Presiden Joko Widodo menyelesaikan persoalan status tanah yang mereka perjuangkan.

Di hadapan massa, Odo Rusdjandi menjelaskan kembali kedatangan 500 mantan anggota Laskar Pejuang 45 yang ditransmigrasikan oleh BRN ke Lampung.

"Saya ingat, ketika Presiden Soekarno datang ke sini sambil memeluk bahu saya. Bapak Presiden Soekarno berpesan, `Kamu harus betah di sini, tanahnya subur. Yang bisa dibikin sawah, bikin sawah. Yang bisa dibikin kebun, bikin kebun`," kata Odo dengan suara bergetar dan terbata-bata.

Oleh karena itu, Odo meminta kepada Presiden Jokowi menyelesaikan persoalan tersebut dengan menjadikan lahan yang mereka tempati selama ini menjadi milik mereka.

Bahkan, ia menyatakan berdosa besar jika persoalan status tanah itu belum menjadi hak milik warga eks-pejuang dan keluarganya, namun ia sudah meninggal dunia.

Kalau pun ada kekeliruan antara pemerintahan pada masa lalu dan sekarang, ucap dia, hal itu pun harus diselesaikan secepatnya.

"Dosa terbesar saya, sebelum saya meninggalkan dunia ini. Tolong, andaikata ada kekeliruan antara pemerintah dahulu dan sekarang, agar diselesaikan dan tanah ini menjadi tanah marga atau tanah milik masyarakat, sehingga ada bekal untuk masyarakat karena kami ditempatkan oleh Presiden secara langsung. Areal pertanahan ini resmi untuk masyarakat," kata dia.

Perjuangan panjang dan melelahkan telah dialami warga dan keluarga mantan Pejuang 45 yang ikut program transimgrasi di daerah itu pada masa lampau.

Selayaknya mereka mendapatkan perhatian pemerintah pada saat sekarang ini agar kehidupannya semakin makmur dan sejahtera.

Solusi terbaik itu, berupa kejelasan dan kepastian hak atas lahan yang telah mereka tempati dan kelola selama ini.

Kejelasan status hak atas lahan mereka, menjadi kejelasan pula bagi jejak Bung Karno dan perbaikan nasib para mantan Pejuang 45 yang ikut program transmigrasi ke daerah itu.*

Baca juga: Pejuang Trikora minta elite politik tidak memecah belah masyarakat

Baca juga: Depati Amir sang pejuang lintas pulau

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018