Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai saat ini sikap intoleransi pasif di masyarakat diam-diam semakin menguat sehingga harus diantisipasi semua pihak.

"Sikap intoleransi pasif diam-diam menguat dan tidak terdeteksi karena yang kita lihat adalah penyerangan rumah ibadah saja," kata Bonar dalam diskusi bertajuk "Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Dinamikas Pilpres 2019" yang diselenggarakan Setara Institute, di Jakarta, Jumat.

Dia mencontohkan sikap tersebut dapat terlihat dengan sikap ekslusif yang ditunjukkan satu kelompok sehingga melahirkan polarisasi yang tajam di masyarakat.

Menurut dia sikap intoleranai pasif juga terlihat dengan sikap bahwa tafsir keagamaan yang mereka pahami adalah yang paling benar, takut dan cemas melihat orang lain berbeda sehingga dikhawatirkan mengganggu posisi sosial mereka.

"Mereka juga iri melihat orang lain berbeda dan lebih baik serta maju. Sama halnya ketika Pilpres Amerika Serikat orang kulit putih Protestan merasa cemas dan khawatir dengan banyaknya imigran yang masuk dan beragama non-Protestan," ujarnya.

Selain itu dia menilai di Hari Toleransi yang diperingati tiap tanggal 16 November, sudah saatnya parpol di Indonesia melindungi hak-hak warga negara khususnya dalam kebebasan beragama.

Karena dia menilai isu toleransi dan kebebasan beragama di parpol baru sebatas retorika belum menjadi semangat utama untuk selalu diperjuangkan.

"Ketika Jokowi menjadi Presiden, muncul harapan ada perbaikan dalam isu toleransi dan kebebasan beragama namun kenyataannya lain karena dalam politik kekuatan negosiasi lebih utama," katanya.

Bonar menilai isu toleransi dan keberagaman agama ada perbaikan di era pemerintahan Jokowi, misalnya Menteri Agama Lukman Hakim mau mengajak dialog dengan kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan berinisiatif dialog antar-agama serta memfasilitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Namun dia menilai di FKUB pun ada persoalan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) bingung meletakan posisi FKUB khususnya terkait anggarannya sehingga ada yang mati suri karena ketiadaan anggaran.

"Kritik kepada Jokowi adalah enggan menyentuh kasus konflik untuk dicarikan solusi misalnya kasus Ahmadiyah di Mataram yang sudah 10 tahun belum selesai, kelompok Syiah di Sidoardjo," katanya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018