Taman Segitiga yang berada di tengah-tengah Kota Sawahlunto, di Sumatera Barat tampak penuh manusia pada saat dilakukan pelepasan peserta balap sepeda Tour de Singkarak 2018 Senin (5/11) pagi.
Kota kecil yang masih memperlihatkan kelestarian bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda itu tidak pernah absen menjadi ikon dan tuan rumah etape balap TDS, yang tahun ini menginjak tahun ke-sepuluh.
Setelah para pebalap meninggalkan titik awal keberangkatan, kehidupan di tempat tersebut kembali normal bagi sebagian warga kota yang berada di ceruk Bukit Barisan Itu.
Sawahlunto, dikenal sebagai salah satu kota tua yang cantik dan menyimpan banyak cerita di celah-celah kota, pada gedung-gedung kuno dan peninggalan bersejatah.
"Kota kita di tengah-tengah jadi orang sengaja datang ke mari.... Yang menarik di sini adalah wisata tambang, tapi orang belum terlalu tahu," kata Afdhal, warga Sawahlunto.
Di kompleks Taman Segitiga berdiri megah Gedung PT Bukit Asam, berupa bangunan dengan gaya arsitektur khas peninggalan Belanda yang berlantai dua dan memiliki menara tinggi di tengahnya. Gedung itu pun menjadi tugu selamat datang bagi para pengunjung kota Sawahlunto.
Di depan gedung peninggalan perusahaan tambang batu bara terbesar kala itu, terdapat tugu yang menggambarkan dua pekerja tambang yang mengenakan helm, salah satu darinya digambarkan memegang sekop dan satunya mengangkat belencong, dengan latar belakang tiga silo menjulang tinggi yang digunakan untuk mengolah batu bara pada masa lalu.
Di zaman pendudukan Belanda, Sawahlunto, sekitar 90 km dari Kota Padang, menjadi pusat perhatian pemerintah Hindia Belanda setelah ditemukannya cadangan batubara oleh geolog Belanda Ir. W.H.De Greve pada 1867.
Sawahlunto yang dulunya hanyalah sebuah desa kecil dan terpencil, dengan penduduk sekitar 500 orang di tengah hutan belantara itu lalu berkembang menjadi pusat pertambangan batu bara di masanya.
Di belakang Gedung PT Bukit Asam itu terdapat saksi bisu yang kini sedang dikembangkan menjadi primadona wisata tambang di Sawahlunto.
Lubang Mbah Soero namanya, adalah sebuah bekas terowongan tambang batu bara yang dibangun pada zaman kolonial Belanda.
Tak ada yang tahu pasti berapa panjang dan dalamnya lubang galian tambang batu bara yang kini dijadikan museum itu. Pada 1930 terowongan itu ditutup karena tergenang air, hingga pada 2007 pemerintah setempat kembali membukanya untuk umum.
Di depan pintu masuk terowongan dibangun suatu monumen yang menggambarkan kondisi para pekerja tambang waktu itu.
"Ini dinamakan monumen orang rantai. Kenapa orang rantai? Karena dulu para pekerja dirantai kaki dan tangannya ketika bekerja di tambang," kata Sudarsono, penjaga dan pemandu di Museum Lubang Tambang Mbah Soero.
Para penambang adalah orang-orang yang dicap sebagai pembangkang dan ditahan oleh pemerintah Belanda untuk dijadikan para pekerja paksa. Mbah Soero sendiri konon dulu adalah salah satu penambang yang disegani oleh para penambang lainnya.
Memasuki Lubang Mbah Soero, pengunjung diwajibkan memakai sepatu boots dan helm untuk alasan keamanan.
Pintu masuk terowongan memiliki diameter sekitar dua meter. Rembesan air mengucur lumayan deras di dinding terowongan dan membuat lantai dan dinding terowongan cukup lembap.
Walaupun nampaknya menyeramkan, Lubang Tambang Mbah Soero cukup diminati wisatawan. Kurang lebih 1.500 wisatawan domesik maupun mancanegara datang setiap bulannya ke Lubang Mbah Soero.
"Pernah ada wisatawan dari Belanda yang datang ke sini membawa foto leluhurnya yang dulu pernah berkerja di tambang ini. Mereka seolah napak tilas leluhur mereka," kata Sudarsono.
Lubang Mbah Soero yang dibuka untuk umum hanya dalam 30 meter dan panjang 186 meter. Jaringan pipa pun dipasang di sepanjang terowongan untuk mengalirkan udara dari permukaan.
Di suatu sudut di dalam lubang tambang itu, sebagian terowongan ditutup rapat dengan bata dan semen agar aliran oksigen tidak mengalir terlalu jauh ke bagian terowongan yang lebih dalam.
"Lihat dinding terowongan. Ini adalah batu bara," kata Sudarsono sembari menyinari dinding terowongan dengan senter.
Dinding terowongan yang masih asli itu berkilau hitam kebiru-biruan terkena cahaya senter. Ada juga sebagian dinding terowongan yang sudah dibeton untuk alasan keamanan.
Sudarsono mengatakan bahwa lubang tambang di sana bisa memiliki kedalaman empat level, setiap levelnya sedalam 30 meter. "Kita berada di level pertama," kata dia.
Situs Lubang Mbah Soero itu dulunya adalah lokasi "stockpile" atau, tempat penyimpanan atau penumpukan hasil tambang batu bara. Batu bara yang ditambang dari Sawahlunto kala itu diangkut ke Padang menggunakan kereta api uap dari Stasiun Sawahlunto.
Stasiun kereta api batu bara itu kini dilestarikan sebagai Museum Kereta Api Sawahlunto yang menjadi rumah dari lokomotif uap legendaris yang dijuluki Mak Itam. Selain untuk mengangkut hasil tambang batu bara, Mak Itam juga dipergunakan untuk angkutan orang pada masa itu.
Sejumlah gerbong untuk mengangkut batu bara, gerbong barang dan satu gerbong penumpang parkir di depan museum kereta yang sebenarnya bisa dipercantik lagi itu. Setelah pensiun dari pertambangan, lokomotif uap bernomor E1060 itu kini menjadi kereta wisata menyusuri jalur rel dari Sawahlunto ke Muarokalaban.
Di wilayah administrasi Sawahlunto terdapat pula Danau Biru, bekas galian tambang yang kini viral menjadi tujuan wisata.
"Sebenarnya masih banyak lagi bekas tambang lainnya yang bisa digarap menjadi destinasi," kata Afdhal.
Catatan pemerintah daerah Sawahlunto, usaha penambangan di Sawahlunto mengalami puncak kejayaannya pada tahun 1920-1921. Pada waktu itu jumlah pekerja mencapai ribuan orang, selain itu ada hampir seratus orang Belanda atau Indo yang menjadi pimpinan perusahaan, ahli dan staf kunci lainnya.
Setelah satu abad lebih ditambang, sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui itu kian menipis dan kota Sawahlunto terancam menjadi kota mati jika tidak ada alternatif sektor kerja lain.
Pamor Sawahlunto sebagai kota pertambangan batubara pun mulai memudar tapi Sawahlunto menolak untuk menjadi sekedar kota kenangan.
Dengan adanya berbagai gedung tua dan situs penambangan peninggalan Belanda, pemerintah setempat pun memiliki visi baru menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata tambang dan wisata sejarah kota lama pada 2020.
Baca juga: Menapaki jejak kekejaman kolonial Belanda di Sawahlunto
Baca juga: Terowongan tambang batu bara "Mbah Soero" jadi tujuan wisata di Sawahlunto
Pewarta: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018