Washington (ANTARA News) - Daryl Holton, yang pada Rabu akan dieksekusi mati di selatan negara bagian Tennessee, Amerika Serikat, memilih dieksekusi lewat kursi listrik. Keputusan itu mencegangkan banyak terpidana mati lainnya yang khawatirkan terbakar saat dialiri listrik atau sekarat hingga 20 menit sebelum mati. Kebanyakan para terpidana mati maupun eksekutornya menghindari kursi listrik, di mana tangan dan kaki terhukum diikat dan sebagian besar kencing, muntah, buang air besar atau terbakar saat listrik mengaliri tubuh. Tapi, Holton tidak takut, dia memilih kursi listrik dibanding suntik mati, padahal sebagian besar negara bagian AS telah memberlakukan suntik mati karena dianggap lebih beradab. Kursi listrik sudah banyak diganti dengan suatu ruangan mirip klinik, di mana terhukum diikat di sebuah meja dan diperintahkan minum cairan campuran tiga racun mematikan; satu untuk melumpuhkan, satu untuk menghentikan nafas dan satu lagi untuk menghentikan jantung. Namun, Holton (45) , memilih kursi listrik untuk membayar kejahatannya yang sangat kejam pada 1997, yaitu membunuh empat anak kandungnya masing-masing berumur empat, enam, sepuluh dan 12 tahun. Saat menjawab pernyataan mengapa dirinya memilih kursi listrik, Holton mengatakan "pertimbangannya bukan berdasar intelek. Sekarang ini banyak argumen yang mengatakan suntik mati itu kasar dan tidak pantas, argumen itu datangnya dari sesama terpidana mati di sini, setidaknya argumen pengacara mereka," kata Holton kepada koran New York Times. "Sesungguhnya, keduanya mungkin efektif dan tidak terlalu menyakitkan. Saya gunakan kata `mungkin`, karena yang ada hanya `katanya`. Jarang ada orang bercerita bagaimana rasanya setelah menjalani eksekusi." Holton membunuh anak-anaknya dengan meminta mereka menutup mata dan menyuruh mereka tidak mengintip, saat itulah dia menembak satu demi satu anak-anaknya tepat di jantung. Dia beralasan hal itu merupakan pilihan moral yang benar: menyelamatkan mereka agar 0tidak dibesarkan oleh seorang ibu yang kecanduan alkohol dan sering sewenang-wenang. Seorang saksi ahli yang didatangkan jaksa dan dan dua ahli jiwa lainnya yang didatangkan pengacara terdakwa, menyatakan Houlton mengalami depresi berat saat melakukan pembunuhan. Dia pernah mengalami depresi dan keluarganya pun punya sejarah melakukan bunuh diri. Houlton tahun 1992 berhenti dari penugasan militer di luar negeri untuk kembali ke AS guna mendapatkan hak asuh tiga anak laki-laki dan satu anak perempuannya. Namun, istrinya yang mendapatkan hak asuh itu. Pada 30 November 1997, Holton membawa anak-anaknya ke taman hiburan, lalu mengajak mereka makan di restoran cepat saji kemudian pulang ke rumah sebelum membunuh mereka dengan senapan serbu. Dia menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat. Dia tidak berusaha untuk mendapat hukuman yang lebih ringan dan tidak mengajukan banding.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007