Para politikus pragmatis cenderung mengejar kepentingan politik sesaat sementara para politikus yang ideal dalam memperjuangan ideologi partai selalu berupaya mengelak untuk memilih jalan yang instan dan pragmatis.

Lazimkah dan etiskah jika politikus pengambil keputusan di partai politik yang dipimpinnya memilih pragmatisme, jalan paling instan, efektif dan murah dalam memperebutkan "kue" kekuasaan?

Pertanyaan itu tentu akan mendapat jawaban afirmatif. Ya, sangat lazim dan tak melanggar etika politik apa pun sehingga sah-sah saja jika partai politik, apa pun ideologinya, memilih jalan pragmatis untuk meraih kekuasaan.

Tentu saja pilihan pragmatis itu tak boleh melanggar undang-undang yang mengatur perpolitikan atau sepak terjang partai politik.

Namun, pilihan pragmatis punya risiko yang boleh jadi akan merugikan parpol bersangkutan. Itu sebabnya, ketika Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat memperlihatkan kecenderungan pragmatisnya akhir-akhir ini, kedua parpol itu menuai peringatan dari pengamat politik Siti Zuhro yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Kedua partai politik itu belakangan mengeluarkan pernyataan yang bisa dikategorikan sebagai langkah pragmatis dalam merebut kekuasaan.

Sebagai parpol yang menyatakan diri masuk dalam koalisi parpol pengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Sandiaga Uno, para pimpinan kedua parpol itu malah membolehkan kader-kader mereka yang sedang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif untuk mendukung lawan tanding Prabowo-Sandiaga, yakni pasangan Capres Joko Widodo-Cawapres Ma`ruf Amin.

Pertimbangan pragmatis mereka adalah: yang penting caleg PAN dan Demokrat terpilih menjadi anggota legislatif di daerah pemilihan mereka. Mereka khawatir bahwa para pemilih di daerah masing-masing itu terlanjur gandrung sama pasangan capres-cawapres petahana dan hanya memilih caleg yang juga mendukung petahana.

Tampaknya, model berpikir demikian ini diilhami oleh pengalaman politik Ridwan Kamil, yang terpilih dalam ajang pertarungan Gubernur Jawa Barat. Saat itu Ridwan menahan diri untuk tidak tergesa-gesa memperlihatkan dukungannya kepada capres tertentu mengingat mayoritas warga Jabar punya kecenderungan untuk memilih capres yang tak didukung oleh koalisi yang mengusung Ridwan.

Alhasil, Ridwan melangkah di jalan yang tepat. Banyak lawan politiknya yang mengkritik bahwa Ridwan tak bertindak terbuka terhadap warga pemilih di Jabar sebelum pencoblosan. Setelah terpilih sebagai pemenang pemilihan gubernur, Ridwan secara terbuka mendeklarasikan dukungannya kepada capres petahana, yang perolehan suaranya dalam Pemilihan Presiden 2014 terkalahkan untuk wilayah Jabar oleh pesaingnya, yang kini menantang kembali dalam Pemilihan Presiden 2019.

Dengan logika serupa namun terbalik bentuk ekspresinya, PAN dan Partai Demokrat mengizinkan caleg-caleg mereka untuk memperlihatkan dukungannya kepada pasangan capres-cawapres yang tak didukung kedua parpol itu. Tujuannya? Ya, untuk kekuasaan, tentunya.

Sesungguhnya pola pikir yang dipakai para pimpinan kedua parpol itu masih spekulatif belaka. Artinya, belum tentu mayoritas para pemilih berperilaku ganda, dengan memilih caleg dari parpol tertentu, sekaligus memilih pasangan capres-cawapres yang tak didukung oleh parpol yang calegnya mereka pilih.

Namun, bila pola pikir spekulatif itu menjadi kenyataan, pragmatisme yang dipilih para pemimpin parpol itu memberikan hasil maksimal berupa kursi kekuasaan di lembaga legislatif. Tujuan kedua parpol itu, PAN dan Partai Demokrat, untuk memperbanyak perolehan kursi mereka di parlemen akhirnya teralisasi.

Meskipun jalan pragmatis yang dipilih para pengambil keputusan kedua parpol itu lazim dan tak melanggar etika politik, dari sisi pendidikan politik warga negara tampaknya ada yang kurang kompatibel dengan pendewasaan berdemokrasi.

Publik akan melihat bahwa ketaatasasan parpol dalam memperjuangan ideologi dan kepentingan politik substansial begitu rendah dan rapuh. Mestinya, ketika garis parpol di pusat memantapkan diri mendukung pasangan capres-cawapres tertentu, seluruh kader dan caleg parpol bersangkutan memperlihatkan kosistensi dukungannya kepada pasangan capres-cawapres yang didukung parpol itu.

Ketidakpercayaan publik adalah risiko yang akan diterima oleh parpol yang memilih jalan pragmatis itu, demikian prediksi Siti Zuhro.

Tampaknya, risiko dalam bentuk kemungkinan menerima ketidakpercayaan publik pendukung juga tak terlalu dicemaskan oleh parpol-parpol yang berkoalisi mendukung pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Ma`ruf.

Ketika koalisi itu melakukan perubahan pilihan cawapres yang akan mendampingi Jokowi, dari dugaan santer sebelumnya yang sempat beredar dari Mahmud MD lalu berganti kepada Ma`ruf Amin, para pemimpin parpol koalisi itu sejatinya melakukan langkah pragmatis dalam mempertahankan kekuasaan.

Pragmatisme dalam politik bukan perkara atau pilihan aneh, baik dalam perpolitikan di dalam negeri maupun di luar negeri. Pragmatisme ditempuh sering untuk kepentingan sesaat atau jangka pendek.

Ketika Ma`uf Amin dan bukannya Mahfud MD yang dipilih oleh para dalang partai politik untuk mendapingi Jokowi dalam Pilpres 2019, tujuan pragmatisnya adalah menghindarkan politik identitas keagamaan semakin mengeras. Tujuan itu tentu positif untuk jangka pendek.

Namun untuk jangka panjang, publik belum teruji dengan tantangan berpolitik yang mengandalkan rasionalitas. Tentu yang ideal adalah menggandengkan Jokowi dan Mahfud MD, yang oleh kalangan sementara politisi pendukung dinilai ideal buat pematangan demokrasi di Tanah Air.

Dengan demikian, pilihan yang pragmatis senantiasa berada di bawah kondisi ideal perpolitikan. Para politikus pragmatis cenderung mengejar kepentingan politik sesaat sementara para politikus yang ideal dalam memperjuangan ideologi partai selalu berupaya mengelak untuk memilih jalan yang instan dan pragmatis.*


Baca juga: Transfer dana untuk calon anggota legislatif rusak integritas

Baca juga: Pakar: Kampanye Pilpres masih diwarnai 'perang' jargon

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018