Semarang (ANTARA News) - Keberadaan Kode Etik Jurnalistik dan Surat Edaran Dewan Pers tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, mampukah mencegah peyakit laten media pada masa kampanye pemilu yang berakhir 13 April mendatang?

Soal penyakit laten media dalam pemilu ini sempat menjadi pembahasan pada "Sosialisasi Pengawasan dengan Pemangku Kepentingan Pemilu Tahun 2019" di Semarang, Rabu (14/11). Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud N.S. menyebutkan dua sisi, baik internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, kata Amir Machmud yang juga Direktur Pemberitaan Harian Umum Suara Merdeka itu, kepentingan pragmatis pengendali media membentuk kebijakan "newsroom". Sementara itu, dari sisi eksternal, tekanan-tekanan dari kekuatan-kekuatan kepentingan yang ingin merebut ruang di media.

Amir juga mempertanyakan apakah ikhtiar netral menurut sikap media juga selalu bermakna sama bagi kekuatan-kekuatan kepentingan? Apakah mereka "rela" media memilih sikap kenegarawanan?

Pada acara yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Tengah itu, disinggung pula realitas media sosial.

Menurut Amir, media sosial cenderung menjadi panglima opini apabila diamati dari pengemasan olahan status-status/cuitan para tokoh yang dijadikan berita oleh media-media arus utama. Padahal, seharusnya itu hanya menjadi bagian dari sebuah konstruksi berita.

Kalaupun media sosial sekarang menjadi bagian dari dinamika demokratisasi, kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu, kekuatan hukum tetap harus menjadi pengendali agar tidak menciptakan banalitas perkubuan kehidupan bangsa.

Amir Machmud yang juga pernah sebagai Pemimpin Redaksi Harian Umum Suara Merdeka itu, mengatakan bahwa posisi media arus utama dalam pemilu atau pilkada selalu berhadapan dengan dikotomi pilihan: "waras" atau "tidak waras", bening atau keruh, sadar sebagai salah satu pilar kebangsaan atau larut ikut bermain dalam pergumulan kepentingan.

Fenomena

Amir Machmud mengemukakan fenomena-fenomena media pada pesta demokrasi lima tahunan itu, antara lain keterbelahan masif media dalam perkubuan pendukungan kontestan.

Fenomena lain, kata Amir Machmud, kesadaran untuk berkubu, kesadaran tetap menjaga jarak, dan munculnya advertorial-advertorial yang beraksen pencitraan, juga yang terang-terangan dengan arah "berita berbayar".

Pilihan politik media, pilihan sikap media, dan pilihan pola bisnis media ini mewarnai pesta demokrasi, baik pada pemilihan kepala daerah, pemilu anggota legislatif, maupun pemilu presiden dan wakil presiden di Tanah Air.

Menurut Amir, fenomena "minna" dan "minkum" ("kami" dan "kalian") mesti menjadi pertimbangan nurani. Pasalnya, setiap pemberitaan dalam sebuah kontestasi politik pasti akan menciptakan dikotomi-dikotomi semacam itu.

Oleh karena itu, Amir memandang perlu mewujudkan impian tentang media bening, media bermartabat untuk pemilu berkualitas. Selain itu, perlu pula elan (semangat) kebijakan pemberitaan media yang beropini membangun kegembiraan berpemilu.

Meskpun realitasnya, deklarasi-deklarasi tentang pemilu damai, kampanye damai, dan sebagainya justru menunjukkan adanya potensi masalah di balik idealita itu.

Amir berharap, media arus utama dalam pemilu/pilkada tetap berpedoman pada tiga matra penjaga, yakni akuntabilitas (bertanggung jawab), disiplin verifikasi, dan menjaga kepercayaan publik.

Iklan Terselubung

Pemberitaan mengenai pemilu sepanjang mematuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ), tidak akan ada iklan terselubung dalam setiap berita.

Apalagi, ada larangan bagi peserta pemilu membuat materi iklan dalam bentuk tayangan atau penulisan berbentuk berita. Larangan ini termaktub di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, Pasal 37 Ayat (5).

Ketika menjawab pertanyaan Antara terkait dengan pemberitaan, baik berupa rekaman suara, gambar, maupun tulisan, mengenai penertiban alat peraga kampanye dan/atau bahan kampanye, Ketua Bawaslu Provinsi Jateng M. Fajar Saka mengatakan bahwa media dapat menyiarkan dengan menyebutkan semua parpol peserta pemilu yang berpotensi melanggar pemasangan APK/bahan kampanye.

Jika hanya menampilkan gambar bahan kampanye milik seorang calon anggota legislatif yang berada di lokasi larangan, misalnya, Fajar Saka menyarankan agar tidak menampilkan visi, misi, dan citra diri caleg bersangkutan secara jelas. Gambar bisa diblur atau dari sudut lain agar citra diri peserta pemilu tidak terlihat dengan jelas.

Sebenarnya, soal berimbang ini sudah ada di dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers tentang Kode Etik Jurnalistik.

Di dalam Peraturan Dewan Pers tentang Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 disebutkan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk atau tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Independen, versi peraturan tersebut, berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.

Akurat berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi, sedangkan berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

Setidaknya, dengan mematuhi KEJ, SE Dewan Pers No.01/SE-DP/1/2018, dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilu, wartawan telah ikut mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2019 yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (D007).

Baca juga: Panglima TNI: Netralitas harga mati
Baca juga: Puluhan wartawan Karawang deklarasi netralitas pada pemilu

Pewarta: Kliwon
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018