Jakarta (ANTARA News) - Kalangan praktisi mengungkapkan penetapan peringkat terhadap suatu program acara di televisi atau TV rating yang ada selama ini masih mengandung banyak kelemahan.

Praktisi dunia rating televisi Achjuman Achjudi dalam seminar bertajuk "Ada Apa Dengan TV Rating di Indonesia?" di Jakarta, Selasa mengatakan, kondisi tersebut menjadikan masih banyak peluang-peluang yang bisa dimaksimalkan dalam rangka melakukan pengukuran yang lebih akurat dan berkualitas.

Dia mencontohkan kelemahan dalam TV rating tersebut misalnya, angka rating yang dihasilkan sebuah lembaga penilaian rating tidak mencerminkan daftar program yang disukai pemirsa.

"Hal ini lantaran angka yang ditampilkan hanyalah besaran rata-rata dari pengukuran seberapa lama televisi menyala," katanya.

Implikasinya, lanjut dia, perbaikan dari segi metodologi dan peningkatan akurasi dalam pengukuran TV rating menjadi kunci.

Dia menambahkan, masalah lainnya yang diketahui bersama adalah dominasi tunggal lembaga pengukuran rating televisi, yang luput dari kritik dan masukan publik.

"Idealnya, lembaga tersebut sendiri dikontrol dan diawasi oleh sebuah asosiasi yang dikenal dengan ATVSI dan PPPI. Sehingga, catatan perbaikan seperti ini dapat ditangkap sebagai sebuah kesempatan oleh lembaga pembanding di bidang sejenis," katanya.

Selain itu, masih berseraknya pengukuran yang dilakukan, juga harus diperhatikan secara serius. Selama ini pengukuran yang ada masih berjalan sendiri-sendiri. Pengukuran rating dari TV terrestrial, pay TV, dan TV digital masih belum terintegrasi. Padahal, di era sekarang kebiasaan menonton dilakukan dengan banyak saluran.

"Pengukuran yang sifatnya masih 'silo' perlu digabungkan menjadi single source karena kedepannya TV rating ini masih relevan dan sangat diperlukan guna mendapatkan data yang bias mewakili tren menonton dari audiens sekarang," ujar Achjuman.

Pembicara lain, aktor dan produser film Deddy Mizwar menyatakan pentingnya keberadaan lembaga pembanding yang bisa menyajikan hasil pengukuran alternatif.

"Tren digitalisasi tidak bisa dihindari dan tren TV konvensional terus turun jika tidak mengantisipasi dengan membuat media online," katanya.

Deddy menilai, TV rating masih diperlukan sebagai alat ukur yang konkret dan mendorong dinamika bisnis, oleh karena itu satu lembaga tunggal yang sangat mendominasi tidaklah sehat dalam sebuah iklim industri media dan pertelevisian.

"Aturan main bisnis yang menghindari adanya monopoli tetap diselenggarakan selama dalam koridor yang tidak melanggar aturan-aturan KPI," ujar mantan gubernur Jawa Barat itu.

CEO Intare, sebuah lembaga pemeringkat anak usaha PT Telkom, Hartana menyatakan pihaknya menyiapkan inovasi untuk merambah dunia digital guna memasuki industri pemeringkat.

"Inrate merasa sangat siap untuk memanfaatkan big data agar memberikan insight yang lebih mendalam dalam mengukur rating televisi," katanya.

Baca juga: Pemerintah diharapkan mewajibkan televisi tayangkan animasi lokal

Baca juga: Luncurkan televisi android, TCL yakin raih hati pasar Indonesia

Baca juga: CSOT siap memproduksi modul panel televisi berkapasitas tinggi

Baca juga: Coocaa hadirkan smart TV di Indonesia

Baca juga: Televisi OLED 4K bakal jadi tren

Pewarta: Subagyo
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018