pemilih punya peran strategis dalam mendorong lahirnya tembok api pemisah jabatan antara politikus dan pebisnis di parlemen.

Jakarta (ANTARA News) - Demokrasi tak secara definitif mematok persyaratan bahwa warga negara yang berkarier di dunia politik harus dilarang berkarier di jagat bisnis pada saat bersamaan.

Akibat ketiadaan aturan yang bisa dikiaskan sebagai tembok api pemisah antara urusan politik dan bisnis itulah yang melahirkan gejala banyaknya politikus di parlemen saat ini yang juga berstatus alias berkarier sebagai pengusaha.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa pada 2018, dari 500 anggota DPR periode 2014-2019, sebanyak 293 orang atau lebih dari 50 persen berlatar belakang pengusaha.

Politikus yang paling banyak berlatar belakang pengusaha, menurut ICW, adalah mereka yang berkiprah di Partai Gerindra sebanyak 69,9 persen, disusul politkus Partai Demokrat sebanyak 60,7 persen dan Partai Golkar sebanyak 52,8 persen.

Apa dampak negatif yang dirasakan publik bila politikus yang membuat undang-undang itu merangkap sebagai pengusaha? Tentu kepentingan bisnis sang politikus akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap pembuatan keputusan itu.

Kelindan atau tumpang tindih antara tugas-tugas kenegaraan, seperti pembuatan aturan untuk publik, dan kiprah warga negara sebagai pengusaha pada akhirnya membuka peluang terjadinya iklim bisnis yang tak sehat, yang justru bukan target yang dituju oleh sistem demokrasi.

Banyak telaah akademis dari pakar politik yang menguraikan perihal bahaya yang bisa ditimbulkan bila politikus dan pengusaha secara diam-diam melakukan kolaborasi di ruang-ruang yang biasa diformulasikan dengan istilah setengah kamar.

Dalam proses bernegara, Indonesia punya pengalaman traumatis terkait berkelindannya perkara politik dan bisnis, baik di era Orde Lama maupun di masa Orde Baru.

Akademisi Universitas Gadjah Mada Yahya Muhaimin lewat kajiannya antara lain meneliti relasi politik dan bisnis itu dalam distertasinya bertajuk The Politic of Client Businessmen: Indonesian Economic Policy 1950-1980.

Memang problem saat itu lebih ke penekanan pada hubungan politik yang dimainkan oleh penguasa, bukan politikus di parlemen seperti saat ini, dengan dunia bisnis dalam konteks industrialisasi. Campur tangan penguasa yang berlebihan dalam perkara bisnis pun diakui melahirkan jalan buntu, sebelum menuju masyarakat sejahtera, yang menjadi cita-cita demokrasi.

Eratnya hubungan penguasa dan pengusaha, terutama dalam zaman pemerintahan otokratik Orde Baru, pada akhirnya mendatangkan petaka berupa memusatnya kekayaan di lingkungan politikus penguasa yang berkolaborasi dengan pebisnis.

Setelah Reformasi, yang ditandai oleh semakin tersebarnya pusat-pusat kekuasaan yang kini dipegang antara lain oleh politikus di parlemen, hubungan politik-bisnis pun menjadi pola segitiga antara mereka yang memegang kuasa di ranah eksekutif, legislatif dan bisnis.

Masih kuatnya kelindan dan keterikatan politik dan bisnis, yang saat ini ditandai dengan banyaknya politikus yang berlatar belakang sebagai pengusaha memang perlu didekonstruksi dengan perlunya mengeluarkan aturan tentang larangan politikus di parlemen meneruskan kegiatan mereka di dunia bisnis.

Setidaknya, aturan itu akan meminimalkan distorsi dalam penciptaan iklim usaha yang sehat.

Jangankan dalam kondisi seperti sekarang ini, dalam sistem politk yang sudah melarang pengusaha merangkap sebagai anggota legislatif di negara demokrasi yang sudah maju pun, masih ada peluang terjadinya praktik negatif yang dilakukan pebisnis untuk menyuap anggota parlemen agar meloloskan pasal-pasal perundangan yang menguntungkan bisnis si penyuap.

Seruan atas lahirnya aturan yang melarang anggota parlemen melepaskan statusnya sebagai pengusaha atau pengambil kebijakan dalam suatu perusahaan tentu akan mendapat perlawanan keras dari kalangan dalam parlemen itu sendiri.

Dalam dunia politik, tak akan ada pemegang kuasa politik yang melepaskan kuasanya secara gratis. Harus ada tekanan terus-menerus dari kekuatan sipil.

Untungnya, parpol terbesar saat ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bukan termasuk parpol yang menduduki peringkat tiga besar parpol yang politikusnya di Senayan merangkap sebagai pengusaha.

Komitmen untuk menghindarkan terjadinya perangkapan jabatan sebagai anggota parlemen dan pengusaha saat ini sudah digaungkan oleh beberapa pengurus partai politik, seperti Partai Gerindra dan Partai Golkar.

Publik sebagai pemilih sesungguhnya punya peran strategis juga dalam mendorong lahirnya tembok api pemisah jabatan antara politikus dan pebisnis di parlemen. Itu bisa dilakukan oleh warga yang punya hak pilih dalam pemilu legislatif untuk tidak memilih pengusaha yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum.

Pada akhirnya, proses bernegara yang melahirkan demokrasi ideal, dengan munculnya politikus terpilih sebagai anggota legislatif yang bebas dari keterkaitannya dengan dunia bisnis bisa dimulai dari tiap-tiap warga negara.

Masalahnya, sampai saat ini pun mayoritas pemilih belum sepenuhnya menentukan pilihannya saat mencoblos dalam pemilu atas dasar informasi latar belakang politikus yang dipilih. Bahkan, ironisnya, sebagian yang mengetahui latar belakang politikus yang dipilih pun, kurang peduli dengan seruan para aktivis prodemokrasi untuk tidak memilih politikus yang sekaligus pengusaha.

Dengan demikian, aturan pelarangan rangkap jabatan anggota parlemen dan status sebagai pengusaha perlu diwujudkan pertama-tama lewat desakan politis kepada para pimpinan pengambil keputusan strategis di parpol-parpol yang berhasil meraih banyak kursi di parlemen.

Baca juga: Legislator: pemerintah harus berikan sanksi kepada pengusaha
Baca juga: Pengamat: politikus loncat pagar hanya berorientasi kekuasaan

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018