saat menghadapi KLB flu burung, Indonesia menanggung beban ekonomi sampai Rp5 triliun,
Jakarta (ANTARA News) - "Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi sudah memiliki undang-undang dan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Kedokteran, sehingga mereka dapat bersinergi dengan Kementerian Kesehatan. Dan karena itu, kami menyusun strategi ke arah tersebut,".
Pernyataan itu dicuatkan Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia (AFKHI) Prof drh Srihadi Agungpriyono, PhD, PVet(K) dalam diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD) yang berlangsung di Bogor, Jawa Barat, selama dua hari pada 6-7 November 2018.
Kegiatan yang dihadiri oleh delegasi 11 Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) se-Indonesia, tim pakar, dan nara sumber terkait lainnya, serta Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) periode 2014-2018 Dr drh Heru Setijanto, PAVet (K) dan periode 2018-2022 drh M Munawaroh, MM, menghasilkan sebuah keputusan.
Keputusannya adalah penegasan bahwa, upaya penguatan Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan Indonesia adalah sebuah keniscayaan, dan sudah menjadi keharusan dan tidak dapat ditunda lagi.
Pada diskusi bertajuk "Review Dokumen Peraturan Perundang-Undangan Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan" itu, Srihadi yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjelaskan dibandingkan dengan Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi, posisi Pendidikan Kedokteran Hewan belum memiliki dasar hukum yang cukup memadai dalam memfasilitasi pemerintah daerah ataupun kementerian lain untuk berpartisipasi.
Ia memberi contoh di pemerintah daerah yang terkategori "kantung ternak" maupun di Kementerian Pertanian RI.
"Padahal akumulasi dokter hewan ada di sana," katanya.
Terkait belum memadainya dasar hukum bagi Pendidikan Kedokteran Hewan, dalam diskusi kelompok terarah itu, secara khusus dilakukan konsultasi dengan pakar hukum untuk merumuskan dasar hukum yang lebih tepat.
Pakar hukum Dr Ni Luh Gede Astariyani, SH, MH diundang dalam kegiatan itu untuk memberikan pencerahan.
Dalam kesempatan tersebut, narasumber menyampaikan makalah dengan judul "Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan: Suatu Analisis Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri".
Setelah dilakukan kajian, Ni Luh Gede Astariyani menyarankan agar AFKHI menjajaki dasar hukum dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
Koordinator mata kuliah Legislasi dan Etika Veteriner FKH Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr drh Bambang Sumiarto dan Dr RP Agus Lelana, SpMP, MSi dari IPB mendukung dengan usul nara sumber tersebut.
Dukungan tersebut, terutama dikaitkan dengan keterlibatan Indonesia dalam Agenda Keamanan Kesehatan Global (Global Health Security Agenda/GHSA).
Baca juga: Dokter seperahu dengan harimau jadi perbincangan netizen
Proaktivitas Keilmuan
"Keterlibatan Indonesia dalam GHSA tentu memerlukan proaktivitas keilmuan, kepakaran dan sumber daya manusia dengan kompetensi kedokteran hewan," kata Agus Lelana.
Selain itu, kata dia, juga dalam mendukung swasembada pangan asal hewan melalui program ketahanan, keamanan, dan kedaulatan pangan nasional.
GHSA, adalah sebuah gerakan kesehatan global yang digagas oleh Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam agenda itu, pemerintah AS bekerja sama dengan negara lain, organisasi internasional beserta pemangku kebijakan publik serta swasta demi menuju dunia yang aman, bebas dari ancaman penyakit menular, sekaligus mempromosikan keamanan kesehatan global sebagai prioritas keamanan internasional.
Indonesia sendiri tergabung di dalam inisiatif GHSA, yang telah diluncurkan sejak Februari 2014 oleh AS dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pada 20-21 Augustus 2014, Indonesia sempat menjadi tuan rumah pertemuan global tentang GHSA terkait penyakit menular dari hewan ke manusia atau "Global Meeting on Managing Zoonotic Infectious Diseases", yang diselenggarakan di Jakarta.
Indonesia pada 2016 kembali menjadi tuan rumah pertemuan GHSA yang diikuti 53 negara anggota, WHO dan Bank Dunia. Pertemuan tersebut diharapkan memberi kontribusi terhadap kemajuan dunia yang lebih aman dari ancaman kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI melaporkan bahwa sejak kejadian luar biasa (KLB) wabah Severe Acute Respiratory Sindrome (SARS) di kawasan Asia pada tahun 2003, ancaman keamanan kesehatan global terus menunjukkan kecenderungan peningkatan.
Di antaranya adalah terjadinya outbreak flu burung/avian influenza (H5N1) tahun 2004, flu babi/swine influenza (H1N1) tahun 2009 --yang dideklarasikan WHO sebagai pandemi pertama kalinya di abad ke-21 --, Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV) tahun 2012-2013, Ebola tahun 2014, dan Zika tahun 2015.
Selain aspek kesehatan, juga berdampak pada kerugian ekonomi akibat KLB di kawasan Afrika yang secara keseluruhan mencapai 30 miliar Dolar AS.
Bahkan, Indonesia pun pernah mengalaminya saat menghadapi KLB flu burung yang menanggung beban ekonomi sampai Rp5 triliun, serta penurunan perdagangan dan pariwisata.
Baca juga: Dokter hewan Asia gelar kongres di Bali
Simfoni Nasional
Srihadi Agungpriyono menegaskan bahwa Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan Indonesia yang dimaksud adalah suatu program yang disebut "simfoni nasional".
Artinya, program itu melibatkan seluruh kelembagaan pendidikan tinggi dalam menghasilkan lulusan S1, S2 dan S3 Kedokteran Hewan (Sains Veteriner), lulusan dokter hewan dan/atau dokter hewan spesialis, serta lulusan pendidikan vokasi diploma kesehatan hewan.
Program "simfoni nasional" itu diharapkan berdampak dan memberikan nilai tambah yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyakat.
Mereka sepakat bahwa penguatan pendidikan kedokteran hewan ini harus memiliki landasan hukum.
Dengan pendekatan itu pelibatan kementerian lain ataupun organisasi profesi dalam penguatan pendidikan tersebut dapat dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif.
Ketua tim manajemen lokakarya drh Teguh Budi Pitojo, PhD menjelaskan kegiatan FGD itu merupakan salah satu program peningkatan mutu Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan yang didukung oleh Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti.
Pada tahun 2017 telah dihasilkan naskah akademik Pendidikan Tinggi Kedokteran Hewan Indonesia. Sedangkan pada 2018 diharapkan kerangka dasar hukum sudah tersusun.
Selain menetapkan dasar hukum, AFKHI secara pararel telah membahas penyempurnaan sistem ujian nasional kompetensi dokter hewan maupun sistem akreditasi program studi/perguruan tinggi.
Ia menyebut kehadiran Ketua Umum PB-PDHI 2014-2018 Dr drh Heru Setijanto, PAVet (K) dan periode 2018-2022 drh M Munawaroh, MM dalam FGD memiliki arti tersendiri.
Karena, selain dalam rangka mengenalkan ketua umum baru melalui Kongres PDHI 2018 yang baru diadakan 1-3 November 2018 di Bali, pihaknya juga mendukung upaya AFKHI untuk mendapatkan dasar hukum dalam pendidikan dokter hewan tersebut.
Dukungan penguatan Pendidikan Dokter Hewan ini dituangkan dalam salah satu Ketetapan Kongres 2018 di Bali, sehingga diharapkan dapat mewujudkan sekaligus keniscayaan lahirnya landasan hukum yang kuat bagi lingkup kedokteran hewan.
Baca juga: Indonesia pamerkan peralatan dokter hewan terbesar
Baca juga: 100 dokter hewan pantau hewan kurban di Jabodetabek
Pewarta: Andi Jauhari
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018