Jakarta (ANTARA News) - Indonesia masih kekurangan Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro) yang terakreditasi dan dapat mengeluarkan sertifikat standar produk di Indonesia. "Itu jumlahnya masih sedikit, ada 19 saja di seluruh Indonesia baik milik pemerintah maupun swasta. Kita sebaiknya punya lebih banyak," kata Kepala Badan Standarisasi Nasional, Iman Sudarwo di sela-sela pertemuan BSN dengan Laboratorium, Lembaga Sertifikasi dan Lembaga Inspeksi Komite Akreditadi Nasional, di Jakarta, Senin. Meski demikian, menurut Iman, Indonesia siap untuk menerapkan Mutual Recognition Agreement (MRA) untuk standar nasional produk, profesi, jasa, sistem manajemen mutu, manajemen lingkungan, keamanan pangan dan lain-lain pada 2010. "MRA sudah mulai tapi diharapkan efektif 2010. Tidak berarti kalau tidak punya LS Pro, kita akan mati tapi kita bisa pakai yang ada di luar negeri tapi kan biaya transaksinya jadi naik. Padahal tarif sudah diturunkan," jelas Iman. Sedangkan untuk laboratorium uji produk, hingga Juni 2007 telah ada 361 lab yang terakreditasi. Namun, pada sektor tertentu seperti sektor Teknologi Informasi (TI), produk elektrik, uji elektromagnetik, belum tersedia. Dalam penerapan SNI, menurut Iman, Indonesia cukup baik dibanding negara ASEAN lainnya meski masih belum sebaik Singapura. "Di bidang tertentu seperti SNI mie instan kita lebih baik dari Malaysia tapi untuk karet dan kelapa sawit standar Malaysia lebih baik," ujarnya. Iman optimistis penerapan SNI di dalam negeri terus meningkat dan membaik. "Tahun lalu orang yang mendownload SNI dari situs BSN itu naik 200 persen. Sekarang ini, rata-rata 3.500 SNI diambil. Padahal itu cuma SNI terakhir. Jadi semakin banyak di download prospek dipakai semakin besar," tambahnya. Sedangkan untuk pembuatan SNI, Iman mengatakan permintaannya pada tahun ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. "Ada sekitar 600 (permintaan) tahun ini, tapi kemampuan kita hanya 200. Paling banyak produk kimia, elektronik, dan makanan," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007