Pangkalpinang, (ANTARA News) - Pada peringatan Hari Pahlawan 2018 terlintas di benak, tentang kenangan saat masyarakat Pulau Bangka yang secara heroik melawan dan mengusir penjajah.

Mereka mengusir penjajah dari pulau penghasil bijih timah yang menjadi cikal bakal perjuangan mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia.

Di balik pertempuran tersebut, ada sejumlah tokoh pejuang daerah setempat, salah satunya Depati Amir yang tidak pernah lelah berjuang dan memimpin masyarakat melawan, mengusir, dan membebaskan diri dari belengu penjajah, kemiskinan, ketidakadilan pada masa itu. Depati Amir ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2018. Pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini, diluncurkan pula buku berjudul "Depati Amir, Perjuangan dan Pengabdian Lintas Pulau Tahun 1848 - 1869".

Buku itu merupakan asil dari penelitian jejak sejarah Depati Amir juga dilakukan di Kupang, karena di Kupanglah ia diasingkan hingga meninggal dunia pada 28 September 1869. Jasadnya dimakamkan di pemakaman muslim Batu Kadera, Desa Air Mata, Kupang.

Hasil studi literatur riwayat hidup dan biografi perjuangan Depati Amir, sudah diterima oleh TP2GP (Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat) yang terdiri atas 13 pakar, antara lain pakar militer, sejarah, arsip, hingga strategi militer.

Baca juga: Jokowi beri gelar pahlawan kepada enam tokoh

Dalam kajian, tim memuat satu teks terkait dengan Depati Amir, yaitu Patriot Perekat Keindonesiaan. Disebut demikian karena selama berjuang 1848-1851 di Bangka, ia dibantu seluruh rakyat Bangka dan berbagai etnik, termasuk orang-orang Tionghoa.

"Apapun keadaan negara dan bangsa sekarang ini merupakan hasil perjuangan para pahlawan yang telah berkorban mempersatukan setiap orang mengusir penjajahan di bumi pertiwi ini," kata Mochtar Riza Pahlevi, yang juga menjabat Dirut PT Timah Tbk.

Sejarahwan dan budayawan Provinsi Kepulauan Babel, Ahkmad Elvian, mengatakan Depati Amir terkenal karena perjuangannya memimpin rakyat Pulau Bangka mengusir penjajahan Belanda. Daerah itu penghasil bijih timah nomor dua terbesar dunia.

Sepanjang hidupnya, Depati Amir tidak pernah lelah untuk berjuang mengusir kaum penjajah dari "Bumi Serumpun Sebalai" itu.

Ia bersama 30 orang pengikutnya pernah menumpas para perompak yang mengganas di perairan Pulau Bangka dan memulihkan keamanan serta ketenteraman rakyat.

Jabatan depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai ditolaknya, tetapi gelar dan sebutan depati kemudian tetap melekat pada diri Amir karena Amir keturunan seorang depati dan kecintaan rakyat Bangka kepadanya, di samping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan figur pemimpin.

Perjuangan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dimulai sejak penolakan jabatan depati yang diberikan pemerintah Hindia Belanda kepadanya pada 1830.

Perlawanan rakyat Bangka dipimpin Depati Amir dengan melakukan perang terbuka melawan Hindia Belanda, disebabkan penjajah melakukan penindasan terhadap rakyat Bangka dan menyebabkan penderitaan luar biasa bagi rakyat.

Pemerintah Hindia landa menetapkan kebijakan menyatukan administrasi pemerintahan (bestuur) dan administrasi pertambangan. Penyatuan ini menyebabkan kepincangan karena pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda lebih mementingkan urusan pertambangan yang dinilai lebih menguntungkan bagi kepentingan pribadi daripada memperhatikan pemerintahan dan kepentingan rakyat.

Perlawanan rakyat Bangka karena diberlakukannya peraturan tentang monopoli perdagangan timah (Tin Reglement) pada 1819. Peraturan monopoli perdagangan timah menyebabkan terjadinya penyimpangan dan kecurangan dalam tata niaga timah.

Penyelundupan dan penjarahan terhadap parit-parit oleh perompak yang berkeliaran di perairan Pulau Bangka menyebabkan kekacauan di berbagai pelosok pulau dan kesengsaraan rakyat.

Baca juga: Mensos pastikan enam tokoh bergelar Pahlawan Nasional

Perlawanan rakyat Bangka melawan pemerintah Hindia Belanda disebabkan oleh kerja paksa (herendients atau corvee). Kerja paksa yang diwajibkan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat memberatkan dan tanpa dibayar. Perlawanan rakyat Bangka melawan penjajahan Belanda juga disebabkan faktor ekonomi.

Sejak penguasaan timah oleh pemerintah Belanda, salah satu mata pencaharian rakyat Bangka menjadi hilang. Sebelumnya, rakyat cukup sejahtera ketika Sultan Palembang Darussalam memberikan kebebasan untuk menambang timah dan menjual hasilnya kepada kesultanan dengan kompensasi menyerahkan Timah Tiban setiap tahunnya kepada Sultan Palembang Darussalam sebagai pajak.

Penyebab terakhir perlawanan rakyat Bangka melawan kolonialisme Belanda karena pemerintahan Hindia Belanda tidak mengakui sistem adat dan hukum adat Sindang Mardika yang berlaku di masyarakat pada masa itu.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian berusaha menangkap Depati Amir dengan berbagai tipu muslihat. Cara-cara yang licik dan keji untuk menangkap Depati Amir pada

Pada 17 Desember 1848 penangkapan dilakukan pasukan militer Belanda dipimpin Letnan Campbell, Administratur Distrik Pangkalpinang De Bley dibantu Hoofd Jaksa Abang Arifin.

Upaya penangkapan mengalami kegagalan. Depati Amir berhasil meloloskan diri dari kepungan walaupun makanan dan minumannya sudah dibubuhi racun.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian ibunya, Dakim, putera angkatnya, Baudin, dan saudaranya, Ipah, serta empat orang pengikutnya berhasil ditangkap oleh empat orang batin dari Distrik Pangkalpinang, yaitu Batin Mendobarat, Batin Mendotimur, Batin Merawang, dan Batin Penagan.

Peristiwa penangkapan atas dirinya yang gagal dan penangkapan atas keluarganya serta penjajahan Belanda yang menyengsarakan rakyat Bangka kemudian dijadikan Depati Amir beroleh alasan yang kuat untuk melakukan perlawanan bersenjata melawan pemerintah Hindia Belanda.

Perang Bangka dalam bentuk perlawanan besar rakyat dipimpin oleh Depati Amir dimulai. Peperangan hampir meliputi seluruh Pulau Bangka.

Dibantu
Depati Amir dibantu adiknya, Cing atau Hamzah, sebagai panglima perang yang saat itu masih berusia 19 tahun. Hamzah membangun pasukannya bermarkas di Kampung Tjengal.

Depati Amir kemudian dibantu beberapa panglima perang lainnya, yaitu Awang, Bujang Singkip, Bujang Enggak, Dahan, Ubin, Bangul, Tata, dan Darip.

Perlawanan rakyat semakin meluas karena Depati Amir dibantu para demang dan batin di Pulau Bangka, seperti Demang Suramenggala di Terentang, Batin Ampang, Batin Ketapik, Batin Gerunggang dari Distrik Toboali, Batin Jebus dari Distrik Jebus, batin orang-orang ?Sekak, Batin Nyalau, ?Batin ?Bakung, ?Batin Tjepurak dan BatinPenagan serta atin Maras dari Distrik Merawang dan Sungailiat.

Bantuan terhadap pasukan Depati Amir juga datang dari kepala-kepala parit penambangan timah berupa senjata dan mesiu yang dibeli dari Singapu.

Bantuan senjata dan mesiu terutama datang dari orang-orang Cina, seperti Bun A Tjong kepala parit Kampung Air Duren, Ho Tjing kepala parit Seruk, Tjin Sie kepala parit Singli Bawah, Kai Sam dan Ko Su Sui.

Bantuan kepada pasukan Depati Amir juga berasal dari beberapa orang mualaf, seperti Raman, Aim, dan King Tjoan, para lanun atau perompak laut dari Lanao Mindanao, Kerajaan Lingga, dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Para perompak laut atau bajak laut membantu Depati Amir dalam Perang Bangka dengan memasok persenjataan beserta amunisinya yang dibarter dengan timah.

Untuk mengatasi barter antara timah dan persenjataan, pemerintah Hindia Belanda memblokade perairan laut Pulau Bangka, termasuk sungai-sungai sebagai sarana transportasi pada masa itu dengan menggunakan kapal-kapal perang bertenaga uap yang disewa dan didatangkan dari Batavia.

Bajak laut atau perompak laut yang membantu Depati Amir kebanyakan berasal dari Lanao Mindanao dan dari Lingga.

Perlawanan Depati Amir juga dipengaruhi oleh unsur-unsur religius yang disebut dengan perang suci atau gerakan suci terutama setelah mendapat dukungan, bantuan moral, dan material dari Haji Abubakar. Wujud perjuangan dan perlawanan kemudian diubah dalam skala yang luas meliputi seluruh Pulau Bangka.

Timbul energi baru bahwa perjuangan sebagai suatu kewajiban karena misi suci. Perlawanan-perlawanan rakyat dan peperangan terjadi hampir di seluruh pelosok Pulau Bangka, dan orang-Sekak Lepar dan Belitung berperang sampai ke pesisir utara Pulau Jawa.

Pertempuran besar terjadi sejak 19 Desember 1848 di daerah Lukok, Cepurak, Mendara, Mentadai, Ampang, Tadjaubelah, Ketiping, Titi Puwak, dan Titi Medang.

Pertempan terbesar antara Depati Amir beserta pasukannya dengan pasukan Belanda terjadi di daerah Tadjaubelah.

Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka, Pemerintah Hindia Belanda sejak 26 April 1850 hingga 26 September 1850 sedikitnya mengerahkan 245 perwira dan bintara bangsa Eropa serta 339 bintara orang Indonesia beserta anak buahnya dari Palembang dan Batavia.

Di samping itu, polisi dan pemerintah Belanda juga menggunakan beberapa tentara bayaran serta para penjahat dalam peperangan, termasuk mendatangkan pasukan Afrikaansche flank-kompagnie dari Bataljon ke-12, mendatangkan juga kapal uap untuk perang, yaitu kapal uap "Bromo" dan "Tjipanas".

Perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amangat mendapat perhatian serius dari Batavia karena penghasilan negara dari pertambangan timah menjadi merosot.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen yang memerintah pada 1845-1851 secara khusus mengirimkan seorang komisaris bernama H.J. Severijn Haesebroek untuk menjajaki berbagai perundingan dengan Depati Amir dan menyusun langkah-langkah mendasar guna penyelesaian peperangan di Pulau Bangka.

Severijn Haesebroek dalam upayanya menyelesaikan perlawanan rakyat Bangka, menawarkan janji-janji kepada Depati Amir, seperti akan membebaskan keluarganya yang ditahan, memberikan tunjangan gaji sebesar f 50 sebulan serta mendirikan kampung untuk kediamannya bila Depati Amir menyerah kepada pemerintah. Semua tawaran dan janji tersebut kemudian ditolak dengan tegas oleh Depati Amir.

Kegagalan penumpasan perlawanan yang dilakukan kekuatan sipil dengan polisi, opas, dan Hoofd Jaksa Abang Arifin menyebabkan pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Deir dengan kekuatan militer, melalui operasi militer.

Karena dianggap lemah dan gagal dalam mengatasi perlawanan rakyat, Residen Bangka F. van Olden diberhentikan dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 17 September 1850, sedangkan jabatan residen Bangka selanjutnya H.J. Severijn Haesebroek.

Kemampuan Depati Amir dalam menyusun strategi perang dan mengoordinasi pasukannya menunjukkan keahlian dan kecerdasan luar biasa.

Kemampuan ini menunjukkan bahwa Depati Amir pejuang yang tangguh. Ia mengkoordinasi dan membentuk pasukan dari berbagai etnis yang berasal dari orang pribumi Bangka, petani peladang, pekerja-pekerja tambang, orang laut, etnis Tionghoa, termasuk perempuan dan anak-anak, bahkan menghimpun para bjak laut dan para tahanan sebagai pekerjaan yang memerlukan waktu dan kemampuan khusus.

Depati Amir beserta pasukannya membangun markas besar di daerah Tampui dan Belah di kaki Gunung Maras, namun secara pasti pasukannya terus berpindah dan bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindari pertempuran frontal dan terbuka dengan pasukan Belanda.

Wilayah pergerakan pasukan Depati Amir umumnya hampir meliputi seluruh distrik di Pulau Bangka dan khususnya di beberapa distrik di pantai timur dan barat Pulau Bangka, seperti Distrik Merawang dan Sungailiat, Distrik Pangkalpinang, Distrik Jebus, Distrik Muntok, Distrik Belinyu, Distrik Sungaiselan, Distrik Koba, Distrik Toboali, bahkan pertempuran sampai pesisir utara Pulau Jawa.

Kecintaan terhadap keluarga yang ditahan Belanda menyebabkan timbulnya upaya pembebasan melalui perundingan dengan Belanda di Kampung Layang pada 4 Agustus 1850. Depati Amir beserta sekitar 300 pengikutnya turun dari markas di Gunung Maras untuk berunding dengan Lettu Dekker, komandan militer Belanda di Kampung Layang.

Akan tetapi, pertemuan dan perundingan tersebut menemui kegagalan karena pasukan Belanda dipimpin Lettu Dekker ingin menjadikan perundingan itu sebagai siasat n beberapa upaya untuk menangkap Depati Amir.

Kharisma atau pengaruh yang besar Depati Amir adalah dapat memobilisasi rakyat Bangka dan terutama mengajak orang-orang Cina bersatu ikut dalam peperangan.

Persatuan antara penduduk pribumi Bangka dengan orang Cina adalah sesuatu yang luar biasa karena sangat bertentangan dengan karakter orang pribumi Bangka dan orang-orang Cina. Salah satu fenomena menarik dalam perang di Pulau Bangka adalah bersatunya orang Cina dengan pribumi Bangka dalam menghadapi kolonial Belanda.

Kekurangan akan logistik karena pasokan dari penduduk yang terputus dan blokade laut yang ketat serta kondisi pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus-menerus dalam rimba Pulau Bangka yang sangat luas disertai musim hujan yang sangat lebat, melemahkan kekuatan pasukan Depati Amir.

Persediaan logistik yang menipis menjadi pemikiran Depati Amir. Ketika sebagian pasukannya kembali ke kampung-kampung dalam kelompok peladang untuk menggarap ladang ume, justru menjadi hal yang dianjurkannya, karena mengingat kepentingan yang lebih besar, yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan.

Di samping kekurangan pangan dan logistik perang, dalam beberapa pertempuran seperti di daerah Ketiping digunakan peralatan tradisional yang disebut pidung, racun, dan sumpitan sebagai senjata.

Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas, membuat pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti disertai penyergapan-penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin lemah.

Dalam dua kali penyergapan dipimpin Lettu Dekker di Cempurak pada 27 November 1850 dan pada Desember 1850, Depati Amir beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri dari hutan Titi Puwa dan Titi Medang.

Dalam kondisi kurus, lemah, sakit, dan pengkhianatan serta pengepungan oleh pasukan Belanda, Depati Amir ditangkap ketika berupaya meloloskan diri ke Distrik Sungaiselan pada 7 Januari 1851. Pemerintah Belanda kemudian memberikan hadiah kepada pengkhianat dengan jumlah uang yang cukup besar, yaitu 1.000 gulden.

Depati Amir dibawa ke markas militer Belanda di Bakam dengan diikat tali, kemudian dibawa ke Distrik Belinyu pada 16 Januari 1851, selanjutnya dibawa ke Ibu Kota Keresidenan Bangka di Kota Muntok.

Berdasarkan Keputusan (besluit) Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 11 Februari 1851 Nomor 3, Depati Amir dihukum tanpa proses verbal dengan pembuangan atau pengasingan selamanya ke Pulau Timor. Pada 28 Februari 1851, Depati Amir diberangkatkan menuju pengasingan di Pulau Timor.

Beberapa pengikutnya, seperti Haji Abubakar dipenjara di Batavia dan beberapa pengikutnya dibuang menjadi pekerja paksa di Banyuwangi, orang-orang Cina dibuang ke Kupang, Ambon, dan Banda.

Pengaruh perlawanan rakyat Bangka begitu luas meliputi seluruh Pulau Bangka, Belitung, Keresidenan Palembang, Riau Lingga, Pantai Utara Jawa, Batavia, Kupang, Nusa Tenggara Timur, bahkan sampai Singapura dan Eropa.

Khusus di Pulau Bangka, pengaruh perang ini membawa perubahan yang besar dan mendasar, terutama terhadap kondisi penduduk pribumi dan Pulau Bangka.

Banyak kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang kemudian lebih diarahkan pada perhatian dan kesejahteraan penduduk.

Pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa kondisi penduduk pribumi Bangka yang secara keseluruhan miskin dan menderita adalah salah satu penyebab utama perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda setelah Perang Bangka menyebabkan perubahan mendasar pagi penduduk Pulau Bangka, yaitu terjadinya proses interaksi, sosialisasi, asimilasi, dan akulturasi antaretnik dan kemudian melebur dalam satu identitas dengan pembentukan perkampungan-perkampunagn baru, serta membentuk orang Bangka seperti yang dikenal sekarang.

Pemerintah kolonial Belanda merasa berhasil dalam penataan Pulau Bangka setelah perang itu.

Residen Bangka dalam laporannya pada 1853 bahkan dengan bangga menyebutkan Pulau Bangka sebagai salah satu keresidenan paling teratur di koloni Belanda.

Pewarta: Aprionis
Editor: Budi Setiawanto
Copyright © ANTARA 2018