Jakarta, (ANTARA News) - Dalam menilai kebijakan ekonomi nasional, memang lebih mudah untuk melihatnya secara hitam-putih, tetapi hal tersebut tidaklah bijaksana dan cenderung hanya menggampangkan masalah yang ada.

Ambil contoh kebijakan impor. Di satu sisi, banyak ditemukan kalangan yang sangat anti-impor yang menganggap bahwa langkah untuk melakukan impor seakan-akan bak barang haram yang tidak boleh disentuh sama sekali.

Namun di ujung spektrum yang lain, ada pula mereka yang melihat bahwa membuka keran impor merupakan langkah strategis yang baik untuk menurunkan harga di dalam negeri sehingga akan membantu konsumen domestik.

Tentu saja, seperti biasanya, kebenaran selalu berada di tengah-tengah. Begitu pula dengan impor, perlu ditilik pula sejumlah aspek yang terkait dengan hal tersebut.

Bila dilihat dari neraca perdagangan Indonesia yang mengalami defisit sepanjang tahun 2018 ini, maka sepertinya sudah jelas mengenai langkah kebijakan impor yang telah diterapkan oleh pemerintah.

Langkah pembatasan impor yang dilakukan secara hati-hati dan ditentukan dengan melibatkan beragam pihak ini, ternyata juga sudah menunjukkan hasilnya.

Misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/10), menilai bahwa pertumbuhan impor sudah turun menyusul berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah namun angkanya masih besar.

Menkeu menyatakan senang perkembangan terkini berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menuju ke arah membaik dari sisi neraca perdagangan, terutama nonmigas.

Sebagaimana diketahui, data BPS menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia surplus 230 juta dolar AS secara bulanan pada September 2018. Realisasi ini membaik dibandingkan bulan lalu yang mencatat defisit mencapai 1,02 miliar dolar AS.

Surplus neraca perdagangan disebabkan karena jumlah ekspor lebih besar dibanding impornya. Tercatat, ekspor di angka 14,83 miliar dolar AS dan impornya di angka 14,60 miliar dolar AS.

Nilai ekspor sebesar 14,83 miliar dolar AS ternyata menurun 6,58 persen dibanding bulan sebelumnya yakni 15,18 miliar dolar AS.

Adapun ekspor migas menurun 15,8 persen dari 1,43 miliar dolar AS ke angka 1,21 miliar dolar AS, dan ekspor nonmigas turun 5,67 persen dari 14,44 miliar dolar AS ke 13,62 miliar dolar AS.

Tidak heran dengan kesuksesan ini, tidak ada tanda-tanda dari pemerintah untuk menghentikan kebijakan pembatasan impor.

Bahkan, Menkeu berharap bahwa dengan ditambah kewajiban penggunaan biofuel atau B20 akan segera menurunkan impor dan konsumsi BBM di dalam negeri sehingga akhir tahun 2018 diharapkan neraca perdagangan migas sudah positif.

Sri Mulyani juga mengutarakan harapannya agar dari sisi industri manufaktur dalam negeri juga dapat meningkatkan kinerjanya lebih melesat lagi agar pertumbuhan ekspor juga dapat ikut melesat pula.

Penguatan industrialisasi nasional

Sementara itu, lembaga Institute for Global Justice (IGJ) mengingatkan kepada pemerintah bahwa kebijakan pembatasan impor jangan hanya dilakukan sekadar jangka pendek tetapi harus dapat digunakan untuk mewujudkan penguatan industrialisasi nasional.

Menurut Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti, kebijakan pembatasan impor harus lebih diproyeksikan secara berkualitas, dan bukan hanya jangka pendek menjaga nilai mata uang rupiah.

Rachmi juga berpendapat, saat ini sejumlah langkah yang diambil pemerintah soal kewajiban TKDN (tingkat komponen dalam negeri), membatasi impor dan meningkatkan penyerapan produksi dalam negeri, kesemuanya dinilai sudah tepat.

Seluruh hal itu perlu dilakukan untuk memperkuat pembangunan fundamental ekonomi salah satunya adalah untuk memperkuat industrialisasi nasional guna meningkatkan daya saing dan nilai tambah.

Selain itu, ujar dia, pembatasan impor impor dan penyerapan produksi dalam negeri harus memiliki skema yang strategis, sehingga perlu dikoneksikan dengan pembangunan desa.

Dengan demikian, lanjutnya, maka penyerapan produksi dalam negeri ke depannya juga bisa menggenjot perekonomian desa dengan memastikan penyerapan produksi desa di berbagai daerah.

Direktur Eksekutif IGJ juga mengingatkan bahwa kewajiban TKDN bukan hanya sekadar kebijakan terkait impor tanpa implementasi pasti, namun harus dilakukan adanya sistem monitoring dan pengawasan yang ketat terhadap penerapannya.

Dari sisi pemerintah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution telah memastikan bahwa efektifitas kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor dapat mulai terlihat untuk menekan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018.

Darmin mengatakan berbagai kebijakan untuk mendorong kinerja investasi dalam bidang pengolahan yang berbasis ekspor dan subtitusi impor serta pemanfaatan biodiesel (B20) untuk mengurangi impor solar belum sepenuhnya tercatat pada defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III-2018.

Namun, Menko Perekonomian menyakini kebijakan tersebut akan memperlihatkan hasil pada akhir tahun, sehingga realisasi defisit neraca transaksi berjalan di triwulan IV-2018 dapat lebih rendah dari triwulan III-2018 yang tercatat sebesar 8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen terhadap PDB.

Darmin juga menjelaskan mengatasi persoalan transaksi berjalan bukan masalah yang mudah, karena hampir selama 40 tahun terakhir, lebih banyak tercatat defisit dibandingkan surplus, akibat terlalu banyak produk bahan baku, setengah jadi maupun modal yang harus diimpor.

Meski demikian, transaksi berjalan ini tidak mengalami defisit terlalu dalam dan menimbulkan persoalan serius, karena pemerintah maupun bank sentral masih bisa mengelola neraca modal dan keuangan agar tercatat surplus dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian.

Selain itu, pelebaran defisit transaksi berjalan dalam neraca perdagangan juga dinilai dapat dicegah dalam periode ini karena adanya ekspor produk manufaktur dan kenaikan surplus jasa perjalanan dari sektor pariwisata.

Karena itu, penting untuk memperhatikan bahwa kebijakan pembatasan impor yang dilakukan pemerintah benar-benar diperhitungkan secara holistik, bukan karena terjebak pertikaian emosional antara yang pro dan anti-impor.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018