Kami akan menjadikan Pantai Ulee Lheue sebagai pusat kuliner halal. Rencananya pembangunan dilakukan pada 2019. Dan salah satu menunya, yakni ikan `keumamah` warisan pejuang di Aceh.
Bagi anda pecinta kuliner Nusantara, jika berkunjung provinsi paling barat di Indonesia ini, jangan lupa untuk mencicipi ikan "keumamah", yang merupakan salah satu ciri khas Aceh,
Anda juga bisa dengan mudah menikmati salah satu masakan berbahan baku ikan, dan lazimnya berasal dari ikan tongkol, baik di rumah makan atau restoran di Banda Aceh.
Jenis ikan ini bisa juga diperoleh di toko-toko penjual suvenir dalam bentuk kotak atau lainnya, yang merupakan ciri khas dari provinsi berjuluk "Bumi Serambi Mekkah" itu.
"Pada dasarnya ikan `keumamah` ini merupakan ikan yang sudah dikeringkan. Setelah di iris dalam bentuk tipis-tipis, kemudian direndam air panas beberapa menit, sebelum di masak dengan bumbu dan dicampur dengan rempah-rempah," ucap Muhammad Nur Usman (65), pemilik salah satu pengolahan ikan di Lampulo, Kota Banda Aceh.
Kelezatan dan kegurihan ikan ini, membuatnya semakin banyak digemari. Apalagi jika makanan itu disajikan dalam menu masakan bersantan, dan disantap dengan nasi putih yang masih hangat.
Banyangkan saja, satu resep makanan ikan "keumamah" yang dicampur dengan asam sunti atau asam terbuat dari belimbing wuluh dikeringkan, bawang putih, bawang merah, cabai rawit, cabai merah, cabai hijau, kunyit, jahe, lengkuas, batang serai, dan air putih secukupnya.
Kalau anda pecinta kuliner, sudah pasti air liur anda menetes begitu membayangkan masakan ini.
Cara Mengolah
Tahukah anda bagaimana mengolah ikan "keumamah" yang bagi orang luar di Aceh sering menyebutnya dengan ikan kayu, karena memiliki tekstur daging yang keras ini?.
Muhammad Nur Usman (65), pemilik industri rumahan ikan keimanan yang telah digelutinya sejak tahun 1970-an mengaku, dibutuhkan waktu sedikitnya tiga hari untuk menghasilkan ikan yang memiliki kualitas baik.
Ia melanjutkan, mulai dari bahan baku ikan tongkol yang masih segar, kemudian ikan itu dibuang bagian kepala, dan isi dalam perut, lalu direbus ke dalam air yang telah ditaburi garam, sampai dalam kondisi setengah masak.
Kemudian, ikan diangkat dari proses perebusan menggunakan keranjang bambu, dan dikeringkan dalam keranjang di bawah teriknya sinar matahari.
Setelah kering, lanjutnya, ikan dibelah menjadi dua bagian untuk dibuang tulang belulangnya, dan baru dijemur kembali menggunakan kawat jemuran agar kandungan airnya menetes keluar.
"Pengeringan itu, paling cepat selama dua hari. Penggunaan garam saat proses perebusan, dan penjemuran membuat ikan kayu tahan hingga dua tahun lamanya," kata dia, menjelaskan.
Meskipun demikian, kata dia, serangkaian proses ikan `keumamah` ini sama sekali tidak mengurangi cita rasa asli dari ikan tongkol, yakni lemak dan gurih.
Sementara itu Teuku Arizal (45), pemilik salah satu sentra pengolahan ikan rumahan di Lamdingin, Banda Aceh, mengatakan, proses awal tongkol segar menjadi "keumamah" mengurangi volume ikan sekitar 700 gram dalam setiap satu kilogram.
"Rata-rata berat ikan yang kami olah, termasuk ikan kayu berkurang dengan perbandingan satu ton ikan segar, menjadi 300 kilogram ikan siap dipasarkan," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa usaha pengolahan ikan miliknya setiap hari mampu memproduksi sekitar 200 kilogram ikan "keumamah" yang dipasarkan di pasar tradisional, seperti Banda Aceh dan Aceh Besar.
Tidak jarang, dia juga melayani permintaan pedangang, seperti dari Aceh Jaya, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, dan sebagainya, meski hingga kini ikan ini masih digemari penduduk lokal.
"Kami masih dapat untung, untuk membayar gaji empat orang karyawan. Ikan `keumamah` ini kami lepas seharga Rp35 ribu hingga Rp40 ribu per kilogram, sedangkan tongkol segar saat ini cuma Rp13 ribu per kilogram," tutur Ari, panggilan akrab Teuku Arizal.
Ikan "keumamah" merupakan warisan dari pejuang-pejuang Aceh di zaman perang. Namun kini, telah berubah menjadi kuliner yang memiliki cita rasa istimewa, dan cuma ada di Aceh.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman akan menjadikan ikan "keumamah" sebagai salah satu hidangan favorit pusat kuliner halal di kawasan Pantai Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa.
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pemerintah daerah, guna menunjang pengembangan pariwisata di Ibu Kota Provinsi Aceh tersebut.
"Kami akan menjadikan Pantai Ulee Lheue sebagai pusat kuliner halal. Rencananya pembangunan dilakukan pada 2019. Dan salah satu menunya, yakni ikan `keumamah` warisan pejuang di Aceh," katanya.
Apalagi dewasa ini Kota Banda Aceh semakin dikenal dengan kuliner, dan cita rasa khas Aceh semakin diminati wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara.
"Kuliner Banda Aceh enak-enak. Kami menjuluki kuliner Banda Aceh dengan 3E, enak, enak sekali, dan enaaak sekali," ujar Aminullah Usman yang juga mantan Direktur Utama PT Bank Aceh tersebut.
Melalui industri tanpa asap, pariwisata kini menjadi sektor andalan Kota Banda Aceh. Sebab, sektor pariwisata memberi banyak dampak dan mampu mendongkrak perekonomian masyarakat.
"Karena itu, kami terus mengembangkan dan mempromosikan pariwisata Kota Banda Aceh. Sebab, Banda Aceh bukan daerah yang memiliki sumber daya alam," kata Aminullah Usman.*
Baca juga: Ikan keumamah Aceh segera tiba di Palu
Pewarta: Muhammad Said
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018