Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers sebagai pembina jajaran pers Indonesia perlu segera melakukan kualifikasi terhadap insan pers, organisasi pers dan media pers, sehingga terwujud standarisasi kompetensi profesi, kata Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tarman Azzam. "Pelaksanaan kualifikasi terhadap unsur pers untuk mewujudkan standarisasi kompetensi, sehingga organisasi, media dan insan pers dapat bekerja secara profesional," katanya dalam Seminar "Pers di Era Reformasi Antara Harapan dan Realita" di Auditorium Adhyana ANTARA Jakarta, Sabtu. Menurut Tarman, belum adanya kualifikasi jajaran pers seperti diamanatkan UU No 40/1999 tentang Pers, maka masyarakat akan sulit membedakan tentang penerbitan pers atau umum, wartawan atau bukan dan organisasi pers yang profesional. "Di negara maju, standar kompetensi, organisasi, media dan insan pers telah ada, sehingga keberadaannya dan sikap profesionalisme mendapat pengakuan masyarakat dan dunia," katanya dalam Seminar yang diadakan Harian Umum Pelita. Menanggapi kondisi pers saat ini, seperti kurang diindahkan nilai-nilai profesionalisme, lemahnya standar kompetensi profesi, tidak jelas standarisasi media dan organisasi pers, Tarman mengajak jajaran pers meningkatkan profesionalisme, menghormati supremasi hukum dan kemerdekaan pers. "Wartawan harus mempunyai indera ke-6 yang ampuh dan tajam, mampu mencium ancaman bahaya akibat pemberitaan dan cara menyiasatinya," ujarnya. Tarman menegaskan, pers harus siap dikontrol oleh masyarakat dan pemerintah, sehingga sudah saatnya pers sendiri harus berani melakukan otokritik dan bersedia memperbaiki kelakukannya yang menyimpang. Dia menyatakan setuju revisi UU Pers No 40/1999 demi dihormatinya supremasi hukum yang menjamin kemerdekaan pers. "Namun untuk merevisi UU Pers tersebut harus berhati-hati agar tidak menjadi bumerang bagi pers sendiri," katanya. Tarman menambahkan, sejak era Reformasi 1998 hingga saat ini tercatat ada sekitar 3.000 penerbitan pers, namun 1000 di antaranya telah tutup, sedang sekitar 70 persen dari 2000 media itu tidak sehat, dana 30 persen dalam kategori sehat. Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal mengatakan, UU No 40/1999 tentang Pers dibuat saat itu oleh DPR dan pemerintah dengan menitikberatkan pada perubahan politik, sehingga masalah ekonomi yang timbul seperti konglomerasi media tidak dapat diselesaikan dengan UU tersebut. "Kendati pemilik modal menguasai media tertentu dapat mempengaruhi kebebasan pers, namun jika insan pers bekerja secara profesional, maka kebebasan pers tetap dapat diselamatkan," katanya. Pembicara lain, Luthfi Hakim dari Perhimpunan Advokat Indonesia, mengatakan, pelanggaran hukum yang dilakukan media dan insan pers seharusnya tidak hanya didasarkan pada UU Pers No 40/1999, tetapi secara umum juga dapat dikenakan tuntutan sesuai KUH Pidana.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007