"Majelis hakim yang mulia, sejak saya ditahan 23 Maret 2018 untuk menjalani proses hukum sampai sekarang, kok saya merasa sendirian dalam pusaran kasus yang membelit saya ini," kata Fayakhun dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Fayakhun dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan ditambah pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani pidana pokok karena dinilai terbukti menerima suap 911.480 dolar AS dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah untuk mengurus pengadaan satelit monitoring dan "drone" dalam anggaran Bakamla APBN Perubahan 2016.
"Belum ada rekan DPR yang menjalani ditahan seperti saya, belum ada pengusaha yang ditahan dalam kasus ini, belum ada birokrat yang ditahan seperti saya. Saya merasa sendirian," kata Fayakhun.
Fayakhun pun berusaha membalikkan logika penerimaan tersebut.
"Apa iya saya sendirian bisa melakukan penambahan anggaran? Saya cuma anggota DPR biasa, anggota Badan Anggaran biasa, saya tidak punya kewenangan untuk mengatur rapat, memimpin rapat dan memutuskan hasil rapat," katanya.
Bahkan saya tidak berwenang menandatangani dokumen apapun mengenai penambahan anggaran Bakamla. Saya bukan siapa-siapa dalam konteks penambahan anggaran Bakamla APBNP 2016," ungkap Fayakhun.
Ia mengaku bahwa seniornya di Komisi I DPR TB Hasanudin yang mengenalkannya dengan Kepala Bakamla Arie Soedewo dan staf ahli Bakamla Ali Fahmi Habsyi. Kemudian ada juga Erwin Arief, seorang pengusaha yang merupakan kawan karib Fayakhun yang mengenalkannya dengan Fahmi Darmawasyah.
"Erwin yang berkepentingan dengan karir politik saya menawarkan membantu biaya logistik saya. 'Itulah gunanya teman' kata Erwin. Saat itu tidak ada terbesit sedikitpun niat jahat hati, saya bukan orang jahat, saya tidak mau mengambil yang bukan hak saya apalagi merugikan negara sama sekali tidak pernah ada niat," kata Fayakhun.
Baca juga: Fayakhun dituntut 10 tahun penjara
Kesalahan yang diakui Fayakhun hanyalah menerima uang dari Erwin.
"Uang yang saya terima dari Erwin ternyata diminta Erwin dari Fahmi Darmawansyah, tidak ada yang saya berikan ke teman DPR, juga tidak ada yang digunakan untuk keperluan pribadi saya. Uang itu sepenuhnya saya gunakan sesuatu tujuan awal, yaitu kegiatan politik di partai, tidak ada untuk menggerakkan penambahan anggaran Bakamla seperti yang dituhduhkan ke saya," tegas Fayakhun.
Ia juga berharap permohonannya sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum atau "justice collaborator" (JC) dapat dikabulkan.
"Sejak saya mengajukan JC dengan segala risiko yang saya dan keluarga hadapi. Saya kehilangan teman, saya dimusuhi dan bahkan keluarga saya ikut dijauhi teman. Saya mengakui perbuatan saya, saya bukanlah pelaku utama, saya kooperatif memberikan keterangan kepada penyidik dan penuntut umum, saya mengungkap pelaku-pelaku lain yang memiliki peran lebih besar dan saya beritikad baik mengembalikan sebagian bantuan yang saya terima dari Erwin Arief," kata Fayakhun.
Mantan Ketua DPD Golkar DKI Jakarta itu juga berharap agar hakim dapat memerintahkan jaksa untuk mengusut keterlibatan Ali Fahmi.
"Saya mohon majelis hakim juga mmpertimbangkan keterlibatan Ali Fahmi Habsyi beserta pihak lain di belakangnya agar bisa diperiksa tuntas agar membuat terang seluruhnya kasus ini. Mohon majelis memerintahkan untuk menangkap dan mengadili Ali Fahmi Habsyi yang hingga kini tidak jelas keberadaan dan proses hukumnya," kata Fayakhun.
Fayakhun dituntut berdasarkan dakwaan pertama pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Baca juga: Fayakhun ungkap aliran uang untuk petinggi Golkar
Baca juga: Fayakhun akui dibantu Rp12 miliar jadi petinggi Golkar
Baca juga: TB Hasanuddin jelaskan perkenalan Fayakhun-Fahmi Habsyi
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018