"Cukai itu prinsipnya pengendalian konsumen untuk tidak mengonsumsi barang tersebut. Saat ini cukai rokok di Indonesia tidak sampai 40 persen, belum sesuai dengan peraturan yang pemeritah buat yaitu 57 persen," kata Tulus saat konferensi pers di Jakarta, Selasa.
YLKI kecewa dengan keputusan pemerintah untuk menunda menaikkan cukai rokok pada 2019, padahal menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menyebutkan cukai hasil tembakau adalah 57 persen.
Dia mengatakan, biaya cukai dibebankan kepada pembeli, bukan dibebankan kepada industri rokok. Jadi jika tarif cukai tembakau dinaikkan maka industri rokok tidak merugi.
Naiknya tarif cukai tembakau juga tidak berdampak berupa pengurangan tenaga kerja di industri rokok, ujarnya.
"Yang menyebabkan berkurangnya tenaga kerja adalah mekanisasi, satu mesin saja bisa menggantikan 900 pekerja di pabrik rokok," kata dia.
Dengan diundurnya tarif cukai tembakau, maka negara telah abai dengan kesehatan masyarakat Indonesia.
"Pemerintah telah abai terhadap kesehatan publik dengan mengutamakan kepentingan jangka pendek," kata dia,
Padahal rokok menjadi salah satu penyebab terjadi penyakit tidak menular seperti stroke, jantung koroner dan lainnya.
Hal tersebut juga berdampak buruk terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Pembatalan itu, lanjut dia, akan mengakibatkan kinerja BPJS Kesehatan akan semakin kesulitan dari sisi finansial.
Menurut Tulus, data menunjukkan konsumsi rokok di tengah masyarakat lebih dari 35 persen total populasi. Ini menjadi salah satu pemicu utama berbagai penyakit katastropik. Katastropik merupakan jenis penyakit yang paling memberatkan kinerja keuangan BPJS Kesehatan.
Baca juga: Rokok alternatif hindari 6,6 JUTA orang dari kematian dini
Baca juga: YLKI duga industri rokok intervensi kebijakan cukai
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018