Jakarta (ANTARA News) - Pasal 42 ayat (2) Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang mengatur permintaan rekaman percakapan melalui sambungan telekomunikasi diuji ke Mahkamah Konstitusi oleh Sadikin Arifin, terdakwa kasus Narkotika.

Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tidak memuka kesempatan pemohon untuk meminta kepada penyelenggara telekomunikasi rekaman percakapan untuk pembuktian di persidangan, kata salah satu kuasa hukum pemohon, Ma'ruf SH, dalam permohonannya yang diajukan ke MK, Selasa.

Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi berbunyi: "Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku".

Sadikin Arifin yang saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ini meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) ini menuntut pemohon atas dugaan tindak pidana peredaran gelap narkotika dengan menghadirkan rekapan percakapan ke hadapan persidangan.

"Upaya pemohon tersebut berdasarkan fakta persidangan yang menunjukkan tidak satupun saksi yang melihat, mendengar dan mengalami secara langsung adanya komunikasi pemohon dengan seorang pelaku lain yang telah meninggal dunia karena ditembak mati petgas BNN saat penangkapan," ungkap Ma'ruf.

Ma'ruf mengungkapkan pihak JPU telah menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan bukti rekaman percakapan dan transkip yang pemohon mintakan dalam persidangan.

Pemohon bermaksud untuk meminta sendiri bukti percakapan dirinya dengan pelaku lain yang telah meninggal dunia, namun terhalang oleh aturan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi.

"Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tersebut jelas merugikan hak konstitusional pemohon untuk mendapat perlindungan hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," kata Ma'ruf.

Untuk itu, pemohon meminta Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-
undang yang berlaku" sepanjang tidak dimaknai, termasuk "permintaan informassi percakapan dapat juga diajukan tersangka danlatau terdakwa, baik secara pribadi maupun melalui penasihat hukumnya guna kepentingan pembelaan ketika tengah menjalani peradilan pidana".

"Apabila majelis hakim konstitusi yang mulia berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," kata Ma'ruf.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018