Dengan menggunakan sistem lubang, para petani di Kupang, NTT, sudah menikmati peningkatan produktivitas yang signifikan hingga 5-10 kali lipat dari produksi jagung mereka selama ini.

Jakarta (ANTARA News) - Sistem lubang dengan diberi pupuk kandang di dalamnya kemudian ditanamkan benih terbukti mampu melipatgandakan produksi jagung petani dari semula hanya 1 ton per hektare menjadi 5 sampai 10 ton per hektare.

Perwakilan FAO Indonesia Ujang Suparman di Jakarta, Senin, mengatakan kunci budidaya jagung di wilayah beriklim kering adalah sistem lubang.

"Lubang yang diisi bahan organik mampu menjebak air di daerah perakaran selaligus menjaganya agar tidak cepat kering," kata Ujang.

Dengan menggunakan sistem lubang, para petani di Kupang, NTT, sudah menikmati peningkatan produktivitas yang signifikan hingga 5-10 kali lipat dari produksi jagung mereka selama ini.

Menurut Ujang, sistem lubang merupakan bagian sistem pertanian konservasi yang sangat penting dalam pengembangan lahan kering beriklim kering.

Sistem lubang yang dikombinasikan dengan pemanfaatan sisa hasil panen sebagai mulsa efektif meningkatkan karbon dan kesuburan tanah sehingga produksi tanaman meningkat.

“Kajian FAO di berbagai lokasi di NTB, NTT, Sulteng, dan Gorontalo menunjukkan bahwa pertanian konservasi secara konsisten meningkatkan produktivitas lahan kering iklim kering,” kata Ujang.

Di samping itu, para petani jagung di Kupang kini juga bisa tanam 2 kali dalam setahun.

Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian sekaligus National Project Coordinator, Prof. Dedi Nursyamsi, mengatakan kendala utama pertanian di lahan kering adalah ketersediaan air rendah.

Dengan demikian maka teknologi panen air, hemat air, dan konservasi air memegang peran yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas lahan.

Menurut Syahroni, dari Indonesia Agroekologi Institut (INAgri), panen air dari air hujan selama musim juga hujan harus dilakukan dengan menampung di embung.

Embung di daerah Kupang harus spesifik karena di daerah ini kehilangan air sangat tinggi, sehingga dasar embung memerlukan bahan kedap air agar infiltrasi dapat dikurangi dan permukaan embung harus ditutup untuk mengurangi evaporasi.

“Sumber air tanah tertekan (artesis) sangat bermanfaat di lokasi seperti ini untuk konsumsi rumah tangga bahkan untuk irigasi pertanian, hanya sayang sumber air seperti ini sangat jarang,” kata Syahroni.

Dengan membuat lubang tanam, maka petani seperti membuat embung mini lokal berukuran 40 x 40 x 40 cm3 dengan jarak 80 x 120 cm2.
“Itu inovasi bagus yang dapat diadopsi di tempat lain," kata Syahroni.

Baca juga: HKTI-Japfa kerja sama beli jagung petani

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2018