Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Indonesia dikejutkan oleh musibah kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 rute Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, menuju Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, pada Senin (29/10) pagi.
Pesawat jenis Boeing 737 Max 8 itu membawa 189 orang, termasuk tujuh awak pesawat berangkat pukul 06.10 WIB kemudian diperkirakan tiba di Pangkal Pilang pukul 07.10 WIB, namun kemudian dilaporkan hilang kontak pada pukul 06.33 WIB.
Terakhir pesawat beregistrasi PK-LQP yang baru beroperasi pada Agustus 2018 itu tertangkap radar pada koordinat 05 46.15 S-107 07.16 E, selanjutnya diketahui jatuh di sekitar perairan Tanjungpakis Karawang Jawa Barat.
Berdasarkan laporan, seluruh penumpang, termasuk balita dan tujuh awak pesawat meninggal dunia pada musibah tersebut.
Direktur Operasional Basarnas Brigadir Jenderal Marinir Bambang Suryo Aji memperkirakan kecil kemungkinan korban selamat dari musibah tersebut karena pesawat diduga jatuh pada ketinggian 3.000 kaki yang menghantam keras permukaan air laut.
"Prediksi saya sudah tidak ada yang selamat karena korbannya yang ditemukan itu beberapa potongan (tubuh) saja sudah tidak utuh. Jumlah 189 (orang) itu bisa dinyatakan meninggal," kata Bambang.
Bambang mengatakan pesawat yang jatuh dari ketinggian 3.000 kaki menyebabkan badan pesawat menghantam permukaan laut cukup keras sehingga membentur penumpang.
Jangankan menemukan penumpang selamat, petugas cukup kesulitan untuk mencari bagian tubuh korban di perairan Karawang.
Saat pihak Basarnas memastikan pesawat jatuh, pimpinan Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto Jakarta Timur menyiapkan sekitar 130 ahli forensik dan petugas gabungan lain dari Mabes Polri, Polda Metro Jaya, Kedokteran Universitas Indonesia, dan beberapa rumah sakit.
Kepala Instalasi Kedokteran Forensik Kombes Polisi Edi Purnomo menyatakan tim forensik dari berbagai keahlian tersebut akan mengautopsi penumpang Lion Air JT 610 dan menyiapkan posko pengambilan data antemortem (data fisik khas korban sebelum meninggal) korban pesawat Lion Air JT 610 dam postmortem (seudah meninggal).
Kepala Rumah Sakit RS Polri Sukanto Jakarta Timur Kombes Polisi Musyafak menegaskan Tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri dan gabungan bekerja keras mengidentifikasi penumpang Lion Air, meskipun minim data, untuk mencocokkan jenazah korban.
Musyafak menuturkan tim forensik membutuhkan data rekam medis penumpang Lion Air saat masih hidup, seperti struktur gigi, tanda fisik, maupun DNA dari satu jaringan keluarga.
Penumpang Lion Air yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh, menurut Musyafak, menjadi salah satu kendala mengidentifikasi korban.
"Ada bagian-bagian tubuh yang cukup banyak, sehingga nanti kita akan melaksanakan pemeriksaan DNA juga cukup banyak," ujar Musyafak.
Musyafak melanjutkan, seluruh bagian tubuh yang diterima RS Polri Kramatjati akan diperiksa DNA-nya secara terpisah dengan bagian yang lain.
Selain itu, Musyafak mengungkapkan identifikasi para korban dengan mencocokkan DNA akan memakan waktu paling cepat empat-delapan hari.
Mukjizat
Saat ini, tim Disaster Victim Investigation (DVI) RS Polri Raden Said Sukanto dan gabungan telah mengidentifikasi tujuh penumpang Lion Air JT 610 dari total 189 korban.
Ketujuh penumpang yang teridentifikasi, yakni Jannatun Cintya Dewi, Candra Kirana, Monni, Hizkia Jorry Saroinsong, Endang Sri Bagusnita, Wahyu Susilo, dan Fauzan Azima.
Berdasarkan keterangan kepolisian, korban Lion Air JT 610 yang berhasil teridentifikasi melalui hasil sidang rekonsiliasi pencocokan data postmortem dari jenazah korban yaitu data primer sidik jari, data antemortem dari keluarga dan pihak lainnya sebagai data sekunder seperti tanda medis dan properti yang dibawa.
Sila Fenita yang merupakan orang tua penumpang Lion Air yang teridentifikasi atas nama Hizkia Jorry Saroinsong, menyatakan proses identifikasi putranya merupakan mukjizat dari Tuhan.
"Buat saya itu suatu mukjizat di antara sekian banyak, hanya satu tangan saja yang teridentifikasi. Itu menyatakan Tuhan baik buat saya, buat keluarga saya. Jadi terpuji nama Tuhan Yesus, itu saja," tutur Sila Fenita.
Sila menyatakan hal itu lantaran jenazah putranya hanya menyisakan beberapa bagian tubuh, seperti lengan kanan dengan tiga jarinya yakni ibu jari, telunjuk, dan kelingling.
Namun melalui kerja keras tim DVI RS Polri Raden Said Sukanto mampu mengidentifikasi korban melalui sidik jari yang memiliki kecocokan 14 titik dengan data antemortem.
Tim DVI menggunakan beberapa data primer untuk mengidentifikasi penumpang Lion Air, seperti sidik jari, susunan gigi dan DNA, kemudian data sekunder yakni tanda medis berupa tato dan bekas operasi, serta properti yang dibawa dan data pendukung lainnya.
Hizkia yang berusia 23 tahun berjenis kelamin laki-laki, berhasil teridentifikasi melalui sidik ibu jari, telunjuk dan kelingking tangan kanan yang dicocokkan dengan sistem KTP Elektronik melalui mesin "Mambis dan INAFIS portable".
Saat ini, tim DVI Polri telah mengambil 255 sampel fisik khas korban sebelum meninggal (antemortem) dari keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 dan 183 di antaranya untuk pemeriksaan DNA.
Wakil Kepala Rumah Sakit Polri Said Sukanto Kombes Polisi Haryanto menyebutkan dari 255 antemortem yang didapat dari Pangkal Pinang sebanyak 43 dan dari RS Polri mencapai 212 telah dikerucutkan menjadi 189 antemortem.
"Dari 189 antemortem yang diambil DNA, terkumpul 183. Jadi, sepertinya sudah semua diambil. Ada selisih karena ada penumpang satu keluarga. Jadi, antemortem hanya satu. Jadi, sudah komplet sebenarnya," kata Haryanto.
Tim forensik RS Polri telah menerima 105 kantong jenazah penumpang Lion Air JT 610 dan tengah mengidentifikasi 32 kantong yang tiba pada Sabtu (3/11) malam.
Semoga kerja keras Tim DVI Polri bisa mengurai dan mengindentifikasi semua korban sehingga keluarga yang ditinggal dapat menerimanya dengan hati lapang.*
Baca juga: Yang perlu dibawa ke "dapur" tim DVI
Baca juga: Pendampingan psikososial ringankan beban keluarga korban
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018