Jakarta (ANTARA News) - Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai pemberian tiket tol gratis untuk anggota DPR RI termasuk pelanggaran etika karena ada dugaan bahwa pemberian itu merupakan suap dan penyalahgunaan wewenang ("abuse of power"). "Itu termasuk pelanggaran etika dan akibat dari pelanggaran itu bisa dilihat dari sikap DPR terhadap tarif tol yang ditetapkan pemerintah," kata Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Ibrahim Fahmi Badoh, seusai dialektika demokrasi bertajuk "Grand Design Gedung DPR: Suatu Kebutuhan?" di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat. ICW melihat ada dua dimensi terkait pemberian fasilitas gratis itu dari PT Jasa Marga kepada anggota DPR. Dimensi pertama, pemberian itu sebagai suap yang diberikan perusahaan pengelola jalan tol untuk mempengaruhi sikap DPR terkait penetapan tarif tol. Dalam kaitan ini, fasilitas itu sengaja diberikan PT Jasa Marga agar DPR memihak kepada perusahaan itu. Dimensi kedua, yaitu ada dugaan pemberian tiket tol gratis sebagai korupsi. Artinya, pemberian tiket gratis itu dilakukan setelah ada permintaan, tekanan atau desakan dari anggota DPR. Tindakan itu sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang dan ICW menganggap sebagai korupsi politik. "Perlu ditelusuri apakah fasilitas ini sengaja diberikan oleh perusahaan pengelola jalan tol atau permintaan dari anggota DPR," katanya yang menambahkan, terlepas dari apakah suap atau korupsi politik, Badan Kehormatan (BK) DPR semestinya menelusurinya. Selain BK DPR, masyarakat dan kelompok-kelompok LSM juga bisa mengadukan persoalan ini ke BK DPR dengan bukti-bukti yang memadai. Mengenai kemungkinan pemberian itu sebagai bentuk gratifikasi, Fahmi mengemukakan bahwa untuk mengategorikan fasilitas itu sebagai gratifikasi harus dilihat nilai rupiah yang digunakan anggota DPR melalui fasilitas tiket tol gratis. Kalau hanya digunakan oleh anggota DPR, mungkin saja nilainya tidak terlalu besar. Namun bila tiket tol gratis yang bisa diperpanjang setiap enam bulan sekali itu juga digunakan keluarga anggota DPR, maka nilainya bisa lebih besar dan bisa dikategorikan gratifikasi. Fahmi berpendapat, fasilitas itu mungkin saja dikatakan gratifikasi karena sudah berjalan lama. "Tetapi terlepas apakah nilainya besar atau kecil, ini sudah merupakan pelanggaran etika," katanya. Fasilitas tol gratis itu, kata dia, tidak etis karena menunjukkan diskriminasi dengan masyarakat lainnya. ICW menilai, perlu ditelusuri siapa saja dan berapa jumlah anggota DPR yang mendapat fasilitas itu serta maksud atau tujuan pemberian fasilitas tersebut, apakah suap atau korupsi.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007