Manila (ANTARA News) - Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo, memberikan amnesti kepada para pemeberontak komunis termasuk mereka yang ditahan karena melakukan kejahatan politik, dalam usaha mengakhiri pemberontakan hampir 40 tahun di wilayah selatan kepulauan itu. Tapi, Tentara Rakyat Baru (NPA) yang komunis menolak tawaran itu dengan mengatakan bahwa hal itu adalah satu tipu muslihat politik. Amnesti itu tidak akan termasuk mereka yang terbukti bersalah melakukan perampokan, perkosaan, penculikan dan perdagangan obat bius, senjata dan orang, kata satu pengumuman kepresiden. "Amnesti itu akan mulai berlaku segera setelah Kongres mengeluarkan satu resolusi yang menyetujui pengumuman itu," kata Jesu Dureza, penasehat perdamaian pemerintah, Jumat. Arroyo menyisihkan lebih dari 10 juta dolar untuk membujuk para anggota NPA menghentikan pemberontakan mereka dan menganjurkan mereka melakukan bisnis-bisnis kecil atau bertani. Gregorio Rozal, alias Kawan Roger, seorang jurubicara pemberontak NPA mengecam program amnesti itu sebagai satu "tipu muslihat politik". "Tawaran itu sama sakali diabaikan dan ditolak mentah-mentah oleh pasukan revolusioner," kata Rozal dalam sebuah pernyataan. Sejak akhir tahun 1960-an , Filipina dilanda aksi perlawanan kelompok Islam di selatan dan pemberontakan yang dipimpin Maois di seluruh kepulauan itu. Pemberontakan itu menewaskan lebih dari 160.000 orang dan menghambat pembangunan di negara itu. Tiga presiden sebelumnya telah berusaha mengakhiri konflik itu dengan menawarkan amnesti kepada semua pembangkang termasuk tentara yang nakal, yang dituduh melakukan kejahatan politik . Arroyo tidak melanjutkan program amnesti itu ketika ia mulai berkuasa tahun 2001. NPA yang memiiki 7.000 anggota mendapat dukungan akibat jurnag pemisah yang lebar antara elite kaya negara itu dan jutaan penduduk desa yang miskin. Kelompok itu menyerang satuan-satuan tentara dan polisi di tempat terpencil dan memeras uang perusahaan yang bergerak dalam sektor-sektor perkayuan, pertambangan, konstruksi dan telekomunikasi. Sebelum amnesti terakhir berakhir Agustus 2001, sekitar 2.600 pemberontak termasuk 1.500 gerilyawan Maois menantikan permohonan amnesti, demikian laporan AFP. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007