Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono mengharapkan tayangan televisi bukan hanya mengedepankan keindahan, tetapi juga mempunyai pesan moral yang dapat ikut membangun martabat bangsa.
"Kalangan pers, termasuk televisi seharusnya ikut berperan dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa," kata Meutia Hatta, ketika membuka Dialog Publik "Tayangan televisi: Antara Komersialisasi dan Degradasi Moral" di Kantor Meneg PP, Jakarta, Kamis siang.
Meutia Hatta mengemukakan sudah banyak pembicaraan yang mengupas kualitas tayangan televisi saat ini yang disebut sudah mencapai kondisi gawat, meresahkan masyarakat dan cenderung menyuguhkan kekerasan, seks dan pornografi juga mistik.
"Mistik itu memang ada. Dalam masyarakat yang konvensional mistik dipergunakan untuk memuja keagungan Tuhan, memuja dan menjaga alam, tetapi dalam tayangan televisi sekarang justru banyak dimanfaatkan untuk melecehkan perempuan dan anak," katanya.
Media massa menurut Meutia masih menjadi acuan masyarakat, sehingga harus memperhatikan hal-hal yang tidak cocok dengan masyarakat.
Ia mengemukakan perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh tayangan televisi yang tidak mendidik. Citra yang dibangun melalui tayangan televisi saat ini misalnya anak sekolah yang judes, perempuan yang licik.
"Harusnya ada tayangan yang bisa membangkitkan rasa sayang kepada sesama manusia, Tuhan, alam dan mengandung pesan moral yang positif," katanya.
Didi Petet, dosen seni pertunjukan pada Institut Kesenian Jakarta, yang tampil sebagai pembicara pada kesempatan itu mengatakan awal dari keruntuhan seni peran di televisi adalah ketidaksiapan Sumber Daya Manusia (SDM) ketika televisi di Indonesia berkembang pesat dalam waktu singkat.
Para produser dan sutradara menghadapi tuntutan tinggi untuk berkarya, sementara SDM tidak tersedia, akibatnya mereka menjadi asal-asalan dan mencomot orang yang cantik dan cakep yang tidak mempunyai bekal kemampuan seni peran.
Sayangnya masyarakat menerima dan memuji mereka dan para aktris itu dengan bayaran mahal, walau mereka tidak mengerti sama sekali tentang seni peran, katanya.
"Seni peran yang mereka kuasai hanya berteriak, menangis dan marah. Lebih parah lagi "casting` yang dilakukan juga tidak mengikuti kebutuhan peran, sehingga dalam suatu produksi film kita tidak tau siapa berperan apa, mana ibu mana anak, dan mana pembantu," kata Didi Petet.
Dialog publik yang diselenggarakan bersama antara kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Forum Wartawan Peberdayaan Perempuan dan Anak itu juga menghadirkan pembicara Fetty Fajriati dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dr Sri Fatmawati M.Si, psikolog dari Universitas Indonesia. (*)
Copyright © ANTARA 2007