Bank Indonesia sudah menyampaikan komitmen untuk menjaga kondisi likudiitas. Memang Dana Pihak Ketiga melambat, namun hingga saat ini tidak ada itu perang suku bunga
Jakarta (ANTARA News) - Otoritas Jasa Keuangan menjanjikan tidak akan terjadi perang suku bunga dana antara perbankan yang dapat mengerek naik suku bunga kredit, namun diakui sebagian kelompok bank sudah menaikkan suku bunga simpanan depositonya hingga di atas bunga penjaminan.
"Bank Indonesia sudah menyampaikan komitmen untuk menjaga kondisi likudiitas. Memang Dana Pihak Ketiga melambat, namun hingga saat ini tidak ada itu perang suku bunga," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana usai jumpa pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis.
Menurut data yang dipaparkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Selasa (30/10), kenaikan suku bunga simpanan deposito terus terjadi, terutama di kelompok bank menengah (BUKU III) dengan rata-rata bunga spesial (special rate) deposito sebesar 7,17 persen.
Sementara itu, Heru mengatakan kenaikan suku bunga simpanan sulit dihindari karena perbankan menyesuaikan dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang sejak Mei 2018 naik 150 basis poin.
Ke depan, dengan perkiraan masih adanya potensi kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve, Bank Sentral AS dan juga suku bunga acuan Bank Indonesia, Heru mengatakan tidak tertutup kemungkinan suku bunga simpanan masih akan meningkat.
Namun Heru yakin, kenaikan suku bunga simpanan itu tidak akan signifikan. Selain itu, Heru memegang komitmen Bank Indonesia untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang antarbank, agar perbankan leluasa untuk memperoleh pendanaan.
"Saya tidak akan mengatakan kalau (suku bunga) tidak akan naik. Namun secara historis (merujuk pada pengaruh dari kenaikan suku bunga acuan BI) tidak akan besar juga," ujar Heru.
"Siapa yang bilang ada perang suku bunga, tidak ada itu," tambahnya.
Selain kenaikan suku bunga acuan BI, Heru menjelaskan, salah satu sumber pendanaan bank, yakni Dana Pihak Ketiga (DPK) juga memang sedang seret. Hingga September, DPK hanya tumbuh 6,6 persen (yoy), sementara kredit dua kali lipatnya yakni mencapai 12,6 persen.
DPK memang bukan satu-satunya indikator yang digunakan untuk mengukur likuiditas perbankan. Heru mengatakan masih terdapat ekses likuiditas atau "buffer" perbankan yang dapat digunakan untuk berjaga-jaga.
"Kami lihat industri perbankan, cadangan (buffer) masih oke. Ya memang kita juga harus cermati masing-masing usahnya. Tapi bank BUKU I dan II, juga masih oke 'buffer'nya," ujarnya.
Adapun perlambatan DPK ini juga membuat indikator rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) meningkat mencapai 93 persen. Padahal, jika merujuk ketentuan yang dibuat Bank Indonesia, level kehati-hatian LDR adalah 78-92 persen.
Heru memperkirakan kondisi LDR pada akhir tahun akan berada di 93 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berjanji akan menjaga kecukupan likuiditas agar tidak terjadi perang suku bunga dana perbankan. Perry berjanji akan membuat likuiditas tidak kurang maupun tidak berlebihan.
"Untuk melihat likuiditas, jangan dibanding pertumbuhan DPK dan juga pertumbuhan kredit ya. Ada indikator alat likuid per DPK (AL-DPK), itu masih dalam keadaan baik. Kita pastikan likuiditas cukup," ujar dia.
Baca juga: OJK Janji Maksimalkan Pengawasan Asuransi Setara Perbankan
Baca juga: OJK yakin pertumbuhan kredit 2018 lampaui target
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018