Membicarakan pelayanan publik, khususnya di Indonesia, yang ada dalam benak masyarakat adalah birokrasi pemerintahan yang berbelit-belit, menyusahkan bahkan melelahkan sehingga masyarakat cenderung menghindarinya atau mencari jalan pintas ketika membutuhkan pelayanan publik.

Saat ini telah tumbuh sikap apatisme masyarakat terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Selama ini birokrasi telah mempersulit pelayanan publik yang seharusnya diperoleh masyarakat. Banyak fungsi aparat pemerintah menjadi tidak efektif.

Hasil riset Ombudsman akhir 2017 menunjukkan fakta bahwa sebagian besar instansi pelayanan publik di Indonesia memiliki rapor merah, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Feodalisme yang telah lama merasuk ke dalam struktur birokrasi tak bisa dimungkiri membawa pengaruh terhadap mentalitas priyayi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam memberikan pelayanan publik.

Dilihat dari sejarah panjang perkembangan feodalisme di Indonesia, maka perubahan mentalitas ASN bukan suatu tugas yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Harus ada keberanian dan keinginan politik dari penguasa untuk berubah.

Kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla menunjukkan keberanian dan keinginan politiknya untuk melakukan perubahan, terutama terkait dengan karakter dan mentalitas bangsa, yakni melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Revolusi Mental merupakan gerakan hidup baru membangun karakter bangsa yang dilakukan dengan memunculkan gerakan hidup baru untuk mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku manusia Indonesia dari berbagai kalangan, yang berorientasi pada kemajuan yang bisa membuat Indonesia menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Terkait dengan pelayanan publik, Revolusi Mental merupakan praktik keteladanan dari seluruh level kepemimpinan mulai dari pemimpin keluarga, masyarakat, sekolah, organisasi

kemasyarakatan, kepala daerah, para menteri, hingga kepala negara.

Semua praktik integritas, etos kerja, dan gotong-royong dilakukan pada ranah atau lingkar pengaruh masing-masing pegiat perubahan, baik ASN maupun masyarakat.

Semua pegiatnya dapat disebut sebagai pemimpin perubahan berbasis nilai-nilai Revolusi Mental.

Dalam buku "Revolusi Pelayanan Publik: Praktik Revolusi Mental Dalam Pelayanan Publik", Ahmad Mukhlis Yusuf, selaku penulis mencoba membahas revolusi yang telah terjadi dalam pelayanan publik di sejumlah daerah di Tanah Air.

Buku ini berisi tentang rangkuman praktik perubahan yang dilakukan oleh para pemimpin perubahan pada berbagai ranah kepemimpinan publik.

Selain itu juga merangkum tentang apa dan bagaimana pelayanan publik dilakukan secara sungguh-sungguh.

Sebanyak 29 pemimpin perubahan diangkat dalam buku setebal 251 halaman (di luar kata pengantar) itu. Mereka terdiri atas bupati, wali kota, gubernur, menteri, pimpinan BUMN, maupun pimpinan militer.

Salah satu sosok pemimpin daerah yang sejak awal kepemimpinannya bertekad menjadikan pelayanan publik sebagai visi utamanya, yakni Wali Kota Surabaya Tri Risma Harini yang mampu membawa transformasi perubahan Kota Surabaya.

Salah satu gebrakan Risma yakni menjadikan pemkot sukses mengubah wajah Surabaya menjadi kota yang hijau dan bermartabat. Pemkot juga telah sukses menyulap lingkungan Surabaya menjadi lebih baik (hal 144).

Dalam hal pelayanan publik, Risma juga tak segan melakukan berbagai terobosan, misalnya dengan E-Goverment atau pelayanan masyarakat yang dapat diakses melalui internet.

Pembangunan E-Goverment agar pelayanan masyarakat dapat dilakukan dengan cepat, wujud transparansi antara masyarakat dan pemerintah, serta untuk menghindari terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lapangan.

Tak hanya Wali Kota Surabaya, beberapa kepala daerah lain di Jawa Timur yang dinilai mampu membawa perubahan dalam pelayanan publik, yakni Bupati Pasuruhan Irsyad Yusuf, Bupati Trenggalek Emil Dardak, Bupati Bojonegoro Suyoto, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Di daerah-daerah lain di Tanah Air juga bermunculan kepala daerah-kepala daerah yang memiliki visi dan program untuk membangun daerahnya dan kesejahteraan warganya dengan peningkatan pelayanan publik, seperti Bima Arya (Wali Kota Bogor), Ridwan Kamil

(Wali Kota Bandung, sekarang Gubernur Jawa Barat), Yoyok Riyo Sudibyo (Bupati Batang periode 2012-2017), Nikson Nababan (Bupati Tapanuli Utara), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), Hasto Wardoyo (Bupati Kulon Progo).

Salah satunya di tanah Papua, yakni Willem Wandik Bupati Puncak (2013-sekarang), yang sukses membuka daerah terisolasi di kabupaten yang baru terbentuk pada 2008 itu.(hal 119-121).

Para pemimpin lain yang dinilai sukses mambawa perubahan melalui Revolusi Pelayanan Publik, antara lain Muhammad Zainul Majdi (mantan Gubernur NTB), Dahlan Iskan (Menteri BUMN era Presiden SBY), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), dan Rini Sumarno (Menteri BUMN).

Para pembawa perubahan dalam pelayanan publik tersebut tak hanya dari kalangan sipil, namun juga pemimpin dari militer, yakni Mayjen TNI Doni Monardo (Pangdam XVI/Pattimura, sekarang Pangdam III/Siliwangi).

Doni Monardo dinilai sukses membawa perubahan di Maluku yang saat itu dilanda konflik antara Maluku Utara dengan Maluku Selatan yang akhirnya membawa kesejahteraan bagi warganya.

Kesuksesannya dalam menyelesaikan konflik yang mengakar di Maluku dengan cara yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Latar belakang militer tidak menjadikan Doni Monardo menggunakan cara-cara ala tentara dan senjata.

Namun, dia memilih menyelesaikan konflik melalui pendekatan cara damai dan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat (hal: 11).

Selain dari instansi pemerintah, pembawa perubahan di bidang pelayanan publik di tanah air juga muncul dari kalangan BUMN seperti Ignatius Jonan, saat menjabat Dirut PT KAI bersama Direktur PT KAI SulityoWimbo yang berhasil membawa transformasi di perusahaan milik negara itu, yang terlihat dari sarana dan prasarana transportasi kereta api lebih aman, nyaman dan memberikan kepuasan pada pelanggan (hal:207).

BUMN lainpun kemudian juga melakukan berbagai terobosan dalam upaya meningkatkan pelayanannya pada masyarakat, seperti PT Pelindo II yang mampu memangkas waktu "dueling time" atau waktu tunggu bagi kapal yang melakuan ekspor impor, sehingga lebih efisien. (hal: 171).

Di tingkat Kementerian BUMN, sosok sang menteri Rini Sumarno dengan slogan "BUMN Hadir Untuk Negeri" ingin mewujudkan secara nyata program Revolusi Mental dalam bidang Indonesia melayani.

Sebagai akutalisasi slogan tersebut, Rini selalu menekankan agar semua jajaran Kementerian BUMN dan para direksi BUMN dalam bekerja senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat yang paling membutuhkan dan rakyat yang paling banyak (hal: 212-213).

Beberapa bentuk program BUMN Hadir Untuk Negeri seperti bedah rumah veteran, BUMN mengajar siswa nusantara, siswa mengenal nusantara, kapal teras BRI untuk kepulauan nusantara, BBM satu harga, serta program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera.

Etos pelayanan itu belum sepenuhnya terjadi pada semua sektor publik dan daerah seluruh Indonesia. Namun, semangat pelayanan semakin terlihat di berbagai institusi negara dan sentra-sentra pelayanan publik pada kementerian dan lembaga, BUMN, pemerintah provinsi, pemerintah kabuptan dan kota, serta BUMD.

Melalui buku yang diterbitkan PT Gramedia bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tahun 2018 itu, penulis yang juga mantan Pemimpin Umum LKBN Antara dan saat ini sebagai Presiden Asosiasi Profesional Coach Loop Indonesia (2018-2020) itu, mengajak pembaca semakin optimistis terhadap berbagai praktik pelayanan publik yang dimotori para pemimpin perubahan.

Sebagaimana praktik-praktik perubahan yang sering terjadi, tiga karakter perubahan yang dapat dilihat dalam buku ini adalah komitmen peningkatan, keberlanjutan, dan pembaruan atau inovasi pelayanan publik.

Merangkum 29 pemimpin yang dinilai sebagai pembawa perubahan dalam pelayanan publik, sepertinya masih banyak tokoh lain yang sukses membawa pembaruan layak dimunculkan kiprahnya untuk dapat diteladani.

Tak hanya di tingkat kementerian, pemeritah provinsi, ataupun kabupaten namun patut diangkat juga pemimpin di tingkat paling rendah dalam pemerintahan, yakni kepala desa atau kelurahan, karena mereka yang langsung berhubungan dengan masyarakat.

Selain itu paradigma pembangunan saat ini yang dimulai dari desa telah memunculkan pemimpin-pemimpin di pemerintahan desa yang mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran warganya melalui revolusi pelayanan publik.

Oleh karena itu penulisan buku ini diharapkan dapat dilanjutkan dengan serial praktik berbagai revolusi pelayan lainnya, baik pada pelayanan publik lainnya maupun pada sektor pemerintahan, bisnis dan masyarakat

Selain itu, diharapkan muncul berbagai tulisan atau karya yang lebih kaya sehingga pelayanan publik dapat menjadi gerakan perubahan yang mengubah bangsa ini sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Mukhlis Yusuf : revolusi mental perlu keterlibatan semua pihak
Baca juga: Pemimpin inspiratif

Pewarta: Rz Subagyo
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018